Mohon tunggu...
Alin You
Alin You Mohon Tunggu... Insinyur - Penyuka fiksi, khususnya cerpen dan novel.

PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) • Penulis Amatir • Penyuka Fiksi • Penikmat Kuliner • Red Lover Forever • Pecinta Kucing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Permintaan Hendra

12 November 2019   15:58 Diperbarui: 13 November 2019   05:05 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: pixabay.com

"Ayo dong, Cha. Artikan lirik lagu ini. Kemaren aku dengar di radio dan sepertinya asyik. Andai aku jago bahasa Inggris sepertimu, pasti nggak perlu repot-repot gini deh minta tolong ke kamu."

Begitulah rengekanmu setiap kali aku enggan menuruti keinginanmu. Kamu itu terlalu, Ndra. Selalu saja bisa memanfaatkan kelemahanku.

"Iya, dong. Hendra geto lho! Aku tahu kok kalo kamu itu sayang banget ke aku. Makanya kamu tak pernah bisa menolak permintaanku. Iya kan, Cha?" Lirikan matamu itu selalu membuatku tak tahan.

"Huek! Plastik, mana plastik...," ujarku heboh sambil tanganku sibuk mencari-cari sesuatu. "Rasa-rasanya aku benaran ingin muntah nih mendengar kege-eranmu itu, Ndra."

Kamu hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalamu. "Hahaha.... Icha, Icha."

Deg! Aku terdiam melihat reaksimu. Apakah kamu benar-benar bisa merasakan apa yang kini tengah berkecamuk di dalam hatiku, Ndra? Ah!

"Oke, oke. Aku transletin tuh lagu buat kamu. Awas aja kalo kamu minta yang macam-macam lagi padaku. Huh!" Segera kusambar kertas yang tengah kamu pegang itu dan lagi-lagi hanya senyum manis yang kamu hadiahkan padaku.

***

Ujian Tengah Semester (UTS) sebentar lagi akan dilaksanakan. Tapi kulihat kamu lebih banyak absen daripada mengikuti jadwal perkulihan.

"Mamaku lagi sakit-sakitan, Neng Geulis. Jadinya ya... aku yang mesti nganterin beliau berobat ke sana kemari. Sebenarnya, aku juga pengen rajin kuliah kayak kamu. Tapi ya, mau gimana lagi?"

Ah! Aku hanya menghela napas panjang mendengar semua penjelasanmu itu. Entahlah, aku pun tak yakin apakah semua yang kamu katakan itu benar adanya atau sekedar alasan belaka. Tapi, masa seorang Hendra yang bercita-cita ingin menjadi ahli lingkungan itu sampai tega mengorbankan kuliahnya?

"Itu cita-cita lama, Icha sayang. Aku nggak yakin bisa mewujudkannya sekarang ini." Terdengar nada putus asa dalam kalimat yang kamu ucapkan.

"Cita-cita lama? Maksudmu?" Aku sampai mengerutkan dahi saat mendengar perkataanmu itu. Tapi, kamu hanya menggeleng.

"Sudahlah. Lupakan saja! Yang pasti saat ini aku hanya ingin temanku Icha ini tetap bisa melanjutkan hidupnya hingga menjadi ahli lingkungan seperti impiannya, walaupun tanpa ada aku di sisinya."

Hei! Apa maksudmu berkata seperti itu, Ndra? Aku tak paham. Apa kamu akan pergi meninggalkanku? Kenapa? Apa kamu bosan berteman denganku karena sikap childish-ku yang sering membuatmu jengkel? Atau apa?

Teman? Tiba-tiba aku terlonjak dibuatnya. Sungguh, kata itu semakin membuat batinku perih. Begitu ingin aku mengungkapkannya, tapi selalu saja tertahan. Dan kamu, Ndra, kurasakan perlahan kamu mulai menjauh dariku. Sikap tertutup dirimu membuatku serba salah. Apa yang sesungguhnya kamu sembunyikan dariku? Mengapa kamu enggan berbagi kepedihanmu denganku?

***

Senja nan temaram. Bias lembayung di kejauhan tampak redup dan tak cemerlang. Awan tersapu kabut tipis. Padahal hari masih menunjukkan pukul empat sore. Tapi entahlah, senja kali ini kurasakan begitu sendu dan mencekam.

Dari luar pagar rumahku terdengar suara motor sport yang berhenti tepat di depan rumah. Dan dalam pantulan keremangan senja, aku bisa menebak siapa dua sosok yang baru saja turun dari motor.

"Hei, Ndra. Masukin aja motornya. Kompleks ini lagi nggak aman soalnya," teriakku pada sosok yang masih setia di luar.

"Wah, wah, Kakak ipar curang nih. Masa cuma Bang Hendra aja yang disuruh masuk. Aku, adeknya yang ganteng dan calon adik iparmu ini malah dicuekin aja." Terdengar suara serak-serak basah khas laki-laki yang baru saja memasuki masa pubertas. Huek, pede amat tuh ABG (Anak Baru Gede), ngaku-ngaku sebagai calon adik iparku. Bukan, bukan karena dia mengetahui perasaanku terhadap abangnya. Tapi karena Hari--cowok ABG itu--tengah mengincar Tiwi, adik bungsuku.

"Iya, Hari ganteng. Silakan masuuukkk.... Rumah ini selalu terbuka lebar untukmu dan juga abangmu."

"Cie cie.... Romantis juga Kakak iparku ini. Oke deh, Kakak Icha yang cantik, Adik iparmu yang ganteng ini akan segera memasuki istana indah tempat...."

Belum sempat Hari menyelesaikan kalimatnya, segera saja kupotong sambil berteriak, "Jangan lupa motornya sekalian. Kak Icha nggak tanggung lho kalo motornya entar hilang."

"Aduh, bawel amat yah tuan rumahnya," gerutu sebuah suara yang tak lain adalah kamu, Ndra. Aku tersenyum mendengarnya.

Selang beberapa menit, dua sosok kakak-beradik beserta motor sportinya pun akhirnya memasuki halaman rumahku yang tak begitu luas.

"Beres kan, Bang, tugasku. Aku tuh ke sini sebenarnya mau ngapelin Yayang Tiwi. Adakah dia di dalam, Kakak iparku?" Kerlingan mata Hari jelas-jelas membuatku melongo. Aduh, dasar ABG narsis! Aku sampai menepuk jidatku saking geram melihat tingkahnya. Tapi bukan Hari namanya, kalau takkan cuek bebek seperti itu.

Selepas Hari masuk ke dalam rumah, kupersilakan kamu duduk.

"Tumben nih, seorang Hendra bersedia bertandang main ke rumahku yang tampak sederhana ini. Ada apakah gerangan sebabnya?" Namun kulihat kamu malah tertawa terbahak-bahak.

"Huahahaha.... Virusnya Hari ternyata udah nyebar ke Icha. Aduuuhhh... sejak kapan ya Icha jadi sok berpuitis-ria kayak gini?"

Ups! Segera kusadari kebodohanku itu. Aduh, gara-gara Hari si pujangga narsis nih! Aku pun jadi ikut tertawa bersamamu.

"Well, to the point aja deh! Tumbenan kamu main ke rumahku, Ndra. Ada yang bisa kubantu?"

"Yeyeye... sekarang Icha berubah menjadi seorang resepsionis." Kembali kulihat kamu nyengir dan memamerkan gigi putihmu yang rapi. Aku hanya cemberut memandangmu. Sebal!

"Wah, wah, Icha ngambek nih! Bisa-bisa aku nggak diizinkannya meminjam catatan kuliah buat persiapan UTS yang tinggal seminggu lagi."

Hm... sadar juga kamu akhirnya, Ndra.

"Oke. Mau minjam catatan apa nih? Biar bisa kuambilkan ke dalam," tawarku yang entah mengapa ingin segera mengakhiri pertemuan sore ini. Jantungku berdegup kencang manakala berserobok pandang dengan matamu. Apalagi melihatmu tersenyum, oh Tuhan, apakah debaran hatiku ini terdengar jelas olehmu? Tapi, tunggu! Mengapa matamu tampak sayu, Ndra? Apa yang tengah terjadi padamu?

"Aku pinjam semua catatanmu deh. Kan kamu tahu sendiri, Cha. Udah sebulan ini aku bolos kuliah. Entar takutnya, kalo aku nggak minjam catatanmu, aku nggak bisa jawab soal-soal UTS lagi."

"Oh, begitu!" aku hanya menjawab singkat. Sedang pikiranku entah melayang kemana-mana.

"Hallooo... Icha! Yah, dia melamun. Lagi mikirin siapa sih? Oh, jangan-jangan lagi ngelamunin si Robin, ya. Hm... dengar-dengar katanya Robin akan mengajakmu tunangan setelah wisuda nanti ya. Wow, selamat atuh!" Kamu mencoba menjabat tanganku, namun segera kutepis kasar.

"Sejak kapan seorang Hendra berubah menjadi biang gosip, hey!" teriakku sambil melotot ke arahmu. Kulihat kamu hanya menatapku nanar dan tampak bingung. "Tahu apa sih kamu tentang hubunganku dengan Robin? Hah!" Napasku sampai terengah-engah menahan gejolak emosi yang hendak meledak. Lagi, kamu hanya diam sambil tetap menatapku dengan pandangan bingung dan sukar kupahami. Aaarrrgghh! Mengapa kamu harus membahas nama orang lain di hadapanku sih, Ndra? Huh!

"Maaf!" Hanya itu yang akhirnya keluar dari mulutmu. Dan aku? Aku terlanjur berlari masuk ke dalam rumah dan membiarkanmu seorang diri di luar sana.

***

UTS hari pertama berlangsung hari ini. Ruangan kelas yang biasanya sepi, pagi ini tampak penuh oleh mahasiswa yang mengambil mata kuliah Bioekologi. Keriuhan kecil terjadi di mana-mana. Masing-masing mahasiswa sibuk membentuk kelompok-kelompok kecil sambil mendiskusikan bahan kuliah yang akan diuji nanti.

Kulirik Casio Watch yang melingkar manis di pergelangan tangan kiriku. Arloji ini merupakan pemberian darimu, Ndra, sebagai hadiah ulang tahunku yang ke 20 setahun silam.

"Usiamu kini udah menginjak kepala dua lho, Cha. Ingat! Itu tandanya kamu mesti lebih dewasa lagi. Jangan suka ngambek dan judes atuh, terutama ke aku...," belum sempat kamu menyelesaikan kalimat, mataku sudah melotot tajam ke arahmu. "Hehe, sori, Cha. Tapi yang aku katakan ini semata-mata demi kebaikan kamu juga kok. Mana ada nanti cowok yang mau dekat-dekat ama cewek judes dan ngambekan kayak kamu itu. Iya kan?"

Aku menghela napas panjang sambil tak henti-hentinya menatap arloji pemberianmu ini. Buku catatan Bioekologi yang sedianya tadi hendak kubaca ulang, hanya tergeletak lunglai di atas meja dudukku. Sedang aku sendiri lebih fokus ke arloji dan pintu masuk kelas.

Kini, waktu telah menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Dan itu berarti setengah jam lagi ujian Bioekologi akan segera dimulai. Tapi kamu belum juga menampakkan batang hidung. Ah, Hendra. Kamu di mana?

"Hei, galau amat Neng Geulis. Lagi nungguin siapa sih? Dari tadi kulihat kamu asyik bolak-balik melirik arloji dan pintu masuk aja," sapaan seseorang mau tak mau membuatku menghentikan aksiku dan menatap lawan bicaraku.

"Oh, kamu, Rob!" Entah mengapa, saat mengetahui siapa yang menyapaku barusan, tiba-tiba rasa ilfil itu muncul di permukaan. Aku jadi teringat ucapanmu terakhir kalinya saat berada di rumahku dua pekan silam.

"Iya, kenapa? Nggak suka ya aku sapa?" orang yang menyapaku tadi, yang ternyata Robin, balik bertanya kepadaku. "Btw, Hendra mana? Kok belum datang juga? Kalo gak salah, dia ngambil mata kuliah ini juga kan?" Mata Robin sibuk berkeliling mencari sosokmu, Ndra.

"Iya, Hendra belum datang," jawabku singkat sambil mencoba fokus kepada buku catatan yang ada di atas meja. Namun entah mengapa, pikiranku malah melayang kepadamu. Ah!

Jelang kedatangan Bu Selvi, dosen Bioekologi yang akan mengadakan ujian terhadap para mahasiswanya pagi ini, tiba-tiba saja gawaiku pun berbunyi. Sebuah chat WhatsApp (WA) dari nomer gawaimu muncul di situ.

"Kak Icha, ini Hari. Kita sekarang lagi ada di RS Singapura, Kak. Mohon doanya ya, Kak, Bang Hendra koma sejak kemaren. Udah dua tahun ini sebenarnya Abang menderita leukemia. Oya, ada pesan Abang untuk Kakak sebelum koma. Menikahlah dengan Mas Robin, Kak. Mas Robin itu sahabat Abang sejak kecil. Maaf, kalo Abang belum sempat cerita soal ini ke Kakak. Abang sangat mencintai Kakak dan ingin sekali melihat Kakak bahagia. Udah dulu, ya, Kak."

Usai membaca pesan WA itu, kurasakan tubuhku menjadi limbung. Pandanganku mengabur. Mataku berkunang-kunang. Sayup-sayup masih terdengar teriakan Robin dan beberapa teman yang panik melihatku. Sesaat kemudian, aku pun tak ingat apa-apa lagi.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun