Hari semakin senja. Sinar mentari perlahan mulai bergerak ke peraduannya. Telah seharian ini perempuan itu hanya terpaku di tempatnya. Duduk termenung menatap jauh ke depan. Ke arah kerimbunan pinus yang merapat seperti hutan di seberang situ(1) yang tampak agak beriak.
Entah apa yang ia pandangi. Tatapannya kosong. Wajahnya mengeras. Sesekali terdengar desisan dari mulutnya. Kemudian ia pun tertawa. Apakah yang ia tertawakan? Tak ada yang berani bertanya langsung padanya. Jangankan bertanya, mendekatinya pun enggan.
“Dasar perempuan gila!” Itulah jawaban yang Jelita terima dari seorang penjual jagung bakar di areal taman rekreasi ini.
“Maksud Bapak? Tidak waras, gitu?” Jelita balik bertanya.
“Ya, apa coba namanya atuh, Neng. Duduk mematung seorang diri dari pagi hingga sore seperti ini. Hampir setiap hari lagi,” cerita si penjual jagung bakar sambil mengoleskan mentega ke atas jagung bakar pesanan Jelita. Kemudian lanjutnya, “Tingkahnya juga aneh. Kadang ia hanya diam mematung. Namun tak jarang sesekali ia pasti tertawa ataupun menangis. Pokokna mah aneh pisan lah (2).”
Kini pesanan jagung bakar Jelita telah matang. Sambil menunggu si penjual memasukkan pesanannya ke dalam kantong keresek putih, Jelita pun bertanya.
“Sudah lama perempuan itu di sini, Mang?” Dikeluarkannya selembar dua puluhan dari dompet untuk membayar empat jagung bakar pesanannya.
“Tos lami pisan atuh, Neng (3). Ada kali dua atau tiga bulanan mah. Teuing ah, Neng. Mamang mah teu ngurus soal itu (4).”
Jelita hanya tersenyum tipis. Setelah mengucapkan terima kasih, ia pun kembali ke rombongannya. Namun didorong oleh rasa penasaran, Jelita akhirnya membelokkan langkahnya menuju ke tempat perempuan itu berada.
“Permisi.... Boleh saya duduk di sini?” sapa Jelita hati-hati sekali. Diliriknya perempuan yang duduk di sebelah sana. Tapi dilihatnya perempuan itu hanya bergeming.
“Ibu.... Teteh.... Boleh, ya, saya duduk di sini?” Akhirnya Jelita mengambil keputusan sendiri. Diselonjorkannya kedua kakinya ke depan dan mulai duduk di atas gundukan tanah yang mengeras, di sebelah perempuan itu. Tapi reaksi perempuan itu tetap sama.
“Oya, nama saya Jelita,” diulurkannya tangan kanannya ke arah perempuan yang ada di sebelahnya itu. Namun tak ada sambutan. Jelita tersenyum kecut sambil menarik tangannya kembali. “Oya, saya punya jagung bakar, nih. Ibu mau?” Kali ini dikeluarkannya jurus kedua. Berharap perempuan itu bersedia mengobrol dengannya. Atau setidaknya melirik sedikit padanya.
“Saya tak suka jagung bakar!" Perempuan itu akhirnya menjawab.
Yes! Akhirnya ia buka suara juga, batin Jelita bersorak.
“Loh, mengapa tak suka, Bu? Enak lho, jagungnya.” Jelita kembali memancing respons perempuan itu dengan menggigit butir-butir jagung bakarnya, mencoba untuk menikmatinya. Namun, perempuan itu malah membentaknya.
“Saya bilang saya tak suka jagung bakar. Karena akan mengingatkan saya pada Upi,” bentak perempuan itu lagi. Matanya seakan keluar dan siap menerkam Jelita yang berada di sebelahnya. Astaghfirullah, Jelita pun mundur selangkah.
“Maaf, Bu. Saya tidak tahu.” Jelita mencoba meminta maaf kepada perempuan itu. Tapi perempuan itu kembali mematung. Dan Jelita pun mencoba memberanikan dirinya lagi. “Ngomong-ngomong, Upi itu siapa, ya? Anak Ibu?”
Perempuan itu menatap tajam Jelita. “Iya. Upi itu anak saya. Tuh, sekarang dia tengah bermain bersama teman-temannya di sana.” Perempuan itu lalu menunjuk ke arah kerimbunan pohon pinus yang merapat seperti hutan di seberang situ ini.
Hah? Kini, mata Jelita yang terbelalak. “Di... di hutan itu, Bu?” tanya Jelita sangsi. Telunjuknya mengarah ke kerimbunan hutan pohon pinus di seberang sana.
“Ya, Upi tengah asyik bermain bersama teman-temannya. Saya dapat mendengar gelak tawanya dari sini. Hahaha....” Tiba-tiba saja perempuan itu tertawa keras, membuat beberapa pengunjung taman rekreasi ini menatap aneh padanya. Tak terkecuali Jelita.
Ya, Tuhan....
Jelita sampai memegang dadanya saking takutnya.
“Hiks. Kasihan Upi. Hingga jam segini ia belum juga balik. Pasti dia sangat kelaparan di sana.” Kini terdengar gumaman dari mulut perempuan itu, disusul oleh isak tangisnya. Membuat Jelita makin mengernyitkan keningnya, heran.
“Tapi, Bu. Kalau memang Upi belum pulang juga, kenapa Ibu tidak mencoba meminta tolong ke orang untuk mencari Upi?” Jelita kini lebih berhati-hati lagi terhadap perempuan itu.
Perempuan itu menatap Jelita. “Apa? Siapa? Mereka? Ah, saya tak percaya lagi pada mereka,” jerit perempuan itu lantang. Jelita pun kembali mundur selangkah.
“Ya, tapi kan tidak ada salahnya juga, Bu? Mungkin saja Ibu benar. Upi tengah bermain bersama teman-temannya di sana.”
“Saya bilang saya tak percaya lagi pada mereka,” ulang perempuan itu dengan keras. “Mereka semua itu tukang bohong. Mereka bilang Upi telah hilang. Mereka bilang Upi dimakan binatang buas. Katanya Upi telah meninggal dunia. Bohong.... Semua itu pasti bohong.... Upi masih hidup. Dia akan kembali sebentar lagi. Dan saya akan tetap menantinya pulang di sini.”
Makin lama suara perempuan itu semakin lantang dan keras. Kini suaranya itu telah bercampur antara kemarahan dengan kesedihan yang mendalam akibat kehilangan anak tersayangnya. Membuat ngeri orang-orang yang melihatnya, termasuk juga Jelita. Lihatlah, gadis itu sampai mundur menjauh dari perempuan itu.
Tapi perempuan itu tak tinggal diam. Secara mengejutkan ia pun berdiri. Menatap garang ke arah Jelita dan perlahan menghampiri gadis itu seperti hendak menerkamnya hidup-hidup.
“Hai kau, anak muda. Jangan sok tahu kau. Saya tak butuh kau. Saya hanya ingin Upi kembali dan saya akan selalu menantinya di sini. Menanti Upi pulang. Dengar olehmu, hai anak muda!”
Dengan beringas, perempuan itu benar-benar hendak mencekik leher Jelita, andai saja tak segera dilerai oleh orang-orang yang berada di sekelilingnya.
***
Oleh-oleh dari Situ Wanayasa, Purwakarta.
Pertama kali dibuat: Karawang, 27 September 2011
Mengalami proses pengeditan: Karawang, 10 Maret 2017.
CATATAN KAKI :
(1) Danau buatan.
(2) Pokoknya aneh sekali deh.
(3) Sudah lama sekali, Neng.
(4) Bodo ah, Neng. Mamang tak mengurusi soal itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H