“Oya, nama saya Jelita,” diulurkannya tangan kanannya ke arah perempuan yang ada di sebelahnya itu. Namun tak ada sambutan. Jelita tersenyum kecut sambil menarik tangannya kembali. “Oya, saya punya jagung bakar, nih. Ibu mau?” Kali ini dikeluarkannya jurus kedua. Berharap perempuan itu bersedia mengobrol dengannya. Atau setidaknya melirik sedikit padanya.
“Saya tak suka jagung bakar!" Perempuan itu akhirnya menjawab.
Yes! Akhirnya ia buka suara juga, batin Jelita bersorak.
“Loh, mengapa tak suka, Bu? Enak lho, jagungnya.” Jelita kembali memancing respons perempuan itu dengan menggigit butir-butir jagung bakarnya, mencoba untuk menikmatinya. Namun, perempuan itu malah membentaknya.
“Saya bilang saya tak suka jagung bakar. Karena akan mengingatkan saya pada Upi,” bentak perempuan itu lagi. Matanya seakan keluar dan siap menerkam Jelita yang berada di sebelahnya. Astaghfirullah, Jelita pun mundur selangkah.
“Maaf, Bu. Saya tidak tahu.” Jelita mencoba meminta maaf kepada perempuan itu. Tapi perempuan itu kembali mematung. Dan Jelita pun mencoba memberanikan dirinya lagi. “Ngomong-ngomong, Upi itu siapa, ya? Anak Ibu?”
Perempuan itu menatap tajam Jelita. “Iya. Upi itu anak saya. Tuh, sekarang dia tengah bermain bersama teman-temannya di sana.” Perempuan itu lalu menunjuk ke arah kerimbunan pohon pinus yang merapat seperti hutan di seberang situ ini.
Hah? Kini, mata Jelita yang terbelalak. “Di... di hutan itu, Bu?” tanya Jelita sangsi. Telunjuknya mengarah ke kerimbunan hutan pohon pinus di seberang sana.
“Ya, Upi tengah asyik bermain bersama teman-temannya. Saya dapat mendengar gelak tawanya dari sini. Hahaha....” Tiba-tiba saja perempuan itu tertawa keras, membuat beberapa pengunjung taman rekreasi ini menatap aneh padanya. Tak terkecuali Jelita.
Ya, Tuhan....
Jelita sampai memegang dadanya saking takutnya.