“Hiks. Kasihan Upi. Hingga jam segini ia belum juga balik. Pasti dia sangat kelaparan di sana.” Kini terdengar gumaman dari mulut perempuan itu, disusul oleh isak tangisnya. Membuat Jelita makin mengernyitkan keningnya, heran.
“Tapi, Bu. Kalau memang Upi belum pulang juga, kenapa Ibu tidak mencoba meminta tolong ke orang untuk mencari Upi?” Jelita kini lebih berhati-hati lagi terhadap perempuan itu.
Perempuan itu menatap Jelita. “Apa? Siapa? Mereka? Ah, saya tak percaya lagi pada mereka,” jerit perempuan itu lantang. Jelita pun kembali mundur selangkah.
“Ya, tapi kan tidak ada salahnya juga, Bu? Mungkin saja Ibu benar. Upi tengah bermain bersama teman-temannya di sana.”
“Saya bilang saya tak percaya lagi pada mereka,” ulang perempuan itu dengan keras. “Mereka semua itu tukang bohong. Mereka bilang Upi telah hilang. Mereka bilang Upi dimakan binatang buas. Katanya Upi telah meninggal dunia. Bohong.... Semua itu pasti bohong.... Upi masih hidup. Dia akan kembali sebentar lagi. Dan saya akan tetap menantinya pulang di sini.”
Makin lama suara perempuan itu semakin lantang dan keras. Kini suaranya itu telah bercampur antara kemarahan dengan kesedihan yang mendalam akibat kehilangan anak tersayangnya. Membuat ngeri orang-orang yang melihatnya, termasuk juga Jelita. Lihatlah, gadis itu sampai mundur menjauh dari perempuan itu.
Tapi perempuan itu tak tinggal diam. Secara mengejutkan ia pun berdiri. Menatap garang ke arah Jelita dan perlahan menghampiri gadis itu seperti hendak menerkamnya hidup-hidup.
“Hai kau, anak muda. Jangan sok tahu kau. Saya tak butuh kau. Saya hanya ingin Upi kembali dan saya akan selalu menantinya di sini. Menanti Upi pulang. Dengar olehmu, hai anak muda!”
Dengan beringas, perempuan itu benar-benar hendak mencekik leher Jelita, andai saja tak segera dilerai oleh orang-orang yang berada di sekelilingnya.
***
Oleh-oleh dari Situ Wanayasa, Purwakarta.
Pertama kali dibuat: Karawang, 27 September 2011
Mengalami proses pengeditan: Karawang, 10 Maret 2017.