“La, cobalah kamu sedikit saja ngertiin Abang.” Kugenggam erat tangannya seraya menatapnya. “Saat ini Abang tengah sibuk mempersiapkan proposal sebuah tender pendirian resort hotel yang diadakan oleh Kementerian Pariwisata. Dan kamu tahu apa artinya itu, andai kami berhasil memenangkan tender itu?” Mataku sampai berbinar saat mengatakan hal itu. “Kemajuan karier Abang di Triguna Jaya, La. Karierku, La. Kamu bisa ngerti kan?”
Terdengar helaan napas Lala, berat. Kemudian ditariknya tangan yang ada dalam genggamanku. “Masih belum cukupkah pengertianku selama ini, Bang? Berapa kali lagi aku harus menelan kekecewaan saat Abang selalu membatalkan janji kita hanya karena tender itu?” Nada suaranya meninggi saat mengucapkan kata-kata itu.
Aku hanya diam seraya menatapnya.
“Oke, kalo memang Abang nggak bisa menemani. Nggak apa-apa. Aku masih bisa kok pergi sendiri.” Napas Lala terdengar turun-naik. Sepertinya ia mencoba menahan amarahnya. “Asal Abang tahu saja. Ini terakhir kalinya aku minta tolong ke Abang. Dan mulai besok, aku berjanji, aku nggak akan pernah lagi mengganggu Abang. Permisi.
Dan usai mengucapkan hal itu, Lala pun berdiri dari tempat duduknya dan bergegas meninggalkanku tanpa bisa kucegah.
Fuih. Kuhembuskan napas berulang kali. Ya, benar. Sejak malam itu, Lala benar-benar pergi dan tak pernah lagi 'menggangguku' dalam bentuk apapun juga.
Maafkan Abang, ya, La.
Ah. Penyesalan itu memang selalu datang kemudian. Dedikasi total pada karier ternyata harus mengorbankan seorang wanita yang begitu setia mendampingiku. Dan kini, setelah aku sekarat tak berdaya begini, barulah aku menyadari betapa pentingnya arti seorang Lala dalam kehidupanku.
Karmila Sudarmanto. Wanita itulah yang senantiasa memberiku semangat dalam usahaku menaklukkan kerasnya ibukota. Aku, si anak kampung seberang lautan, mencoba mengadu peruntungan dalam mengais rezeki di ibukota. Aku yang sarjana arsitektur dari sebuah perguruan tinggi negeri di Sumatera–yang sudah dianggap keren di kota kelahiranku, ternyata tidak ada apa-apanya di sini. Sering kali aku malah dianggap remeh dan dipandang sebelah mata oleh rekan-rekan kerja di awal karirku di Triguna Jaya. Dianggap tak penting dan hanya anak kampung biasa yang baru mengenal ibukota. Beragam bully-an aku terima dan itu sempat membuatku down dan ingin segera angkat kaki pulang ke kampung halaman.
Tapi berkat Lala, aku berani tampil percaya diri untuk membuktikan kemampuanku. Perlahan, aku pun mulai menapaki sayap di salah satu perusahaan developer properti ternama di kota ini. Hingga puncaknya, aku akhirnya dipercaya oleh perusahaan untuk masuk ke dalam Tim Five Star untuk pengajuan proposal tender pendirian resort hotel yang diadakan oleh Kementerian Pariwisata.
Dan setelah tender tersebut aku menangkan, apakah aku bisa menikmatinya? Tidak. Sama sekali tidak. Buktinya, kini aku sekarat. Terbelenggu dalam ruang ICU rumah sakit dalam keadaan tak sadarkan diri dan menjadi makhluk kasat mata yang berkeliaran tak jelas dan memakai tubuh orang lain yang mirip denganku hanya untuk menyamar sebagai OB di sebuah stasiun televisi swasta. Ah!