Sebelumnya
***
Lima
Ada Apa dengan Karmila?
Suasana depan ruang ICU tampak lengang malam ini. Jam dinding super besar yang terpasang di depan ruangan itu kini telah menunjukkan pukul sebelas. Dan Fera yang kulihat masih setia duduk di bangku panjang seberang ditemani Aldo, tampak telah memejamkan kedua matanya. Mungkin ia terlalu letih memikirkan nasibku–abang semata wayangnya–yang masih juga tak sadarkan diri dan malah asyik asyik gentayangan tak jelas. Bahkan kini pikiranku terpusat ke satu nama yang tadi sempat disebutkan Aldo.
Karmila Sudarmanto. Entah kenapa malam ini tiba-tiba saja aku sangat merindukannya. Rindu pada senyumnya yang menawan dengan lesung pipit di kedua pipi chubby-nya. Rindu pada sapaan khasnya di pagi hari–yang selalu membangunkanku lewat telepon sambil berteriak, “Bangun, Abang pemalas.”
Ah, telah berapa lama aku kehilangan semua itu? Kehilangan kebersamaan dengan wanita yang telah hampir tiga tahun ini menemani dan mewarnai hari-hariku?
Oh my God, tiga bulan lebih.
Mulutku sampai menganga saat menyadarinya. Ke mana saja aku selama itu? Apakah tender resort hotel di Kepulauan Seribu itukah penyebabnya?
“Plis, Bang. Sekali ini saja aku minta tolong ke Abang. Masa nggak bisa, sih?”
Ya, itulah terakhir kalinya Lala–panggilan sayangku ke Karmila–menghubungiku. Saat itu, di food court sebuah mal dimana kantor Lala berada... ya, aku ingat betul kejadiannya. Saat itu, ia memintaku untuk menemaninya ke resepsi pernikahan sepupunya di Bogor. Tapi apa jawabanku?
“La, cobalah kamu sedikit saja ngertiin Abang.” Kugenggam erat tangannya seraya menatapnya. “Saat ini Abang tengah sibuk mempersiapkan proposal sebuah tender pendirian resort hotel yang diadakan oleh Kementerian Pariwisata. Dan kamu tahu apa artinya itu, andai kami berhasil memenangkan tender itu?” Mataku sampai berbinar saat mengatakan hal itu. “Kemajuan karier Abang di Triguna Jaya, La. Karierku, La. Kamu bisa ngerti kan?”
Terdengar helaan napas Lala, berat. Kemudian ditariknya tangan yang ada dalam genggamanku. “Masih belum cukupkah pengertianku selama ini, Bang? Berapa kali lagi aku harus menelan kekecewaan saat Abang selalu membatalkan janji kita hanya karena tender itu?” Nada suaranya meninggi saat mengucapkan kata-kata itu.
Aku hanya diam seraya menatapnya.
“Oke, kalo memang Abang nggak bisa menemani. Nggak apa-apa. Aku masih bisa kok pergi sendiri.” Napas Lala terdengar turun-naik. Sepertinya ia mencoba menahan amarahnya. “Asal Abang tahu saja. Ini terakhir kalinya aku minta tolong ke Abang. Dan mulai besok, aku berjanji, aku nggak akan pernah lagi mengganggu Abang. Permisi.
Dan usai mengucapkan hal itu, Lala pun berdiri dari tempat duduknya dan bergegas meninggalkanku tanpa bisa kucegah.
Fuih. Kuhembuskan napas berulang kali. Ya, benar. Sejak malam itu, Lala benar-benar pergi dan tak pernah lagi 'menggangguku' dalam bentuk apapun juga.
Maafkan Abang, ya, La.
Ah. Penyesalan itu memang selalu datang kemudian. Dedikasi total pada karier ternyata harus mengorbankan seorang wanita yang begitu setia mendampingiku. Dan kini, setelah aku sekarat tak berdaya begini, barulah aku menyadari betapa pentingnya arti seorang Lala dalam kehidupanku.
Karmila Sudarmanto. Wanita itulah yang senantiasa memberiku semangat dalam usahaku menaklukkan kerasnya ibukota. Aku, si anak kampung seberang lautan, mencoba mengadu peruntungan dalam mengais rezeki di ibukota. Aku yang sarjana arsitektur dari sebuah perguruan tinggi negeri di Sumatera–yang sudah dianggap keren di kota kelahiranku, ternyata tidak ada apa-apanya di sini. Sering kali aku malah dianggap remeh dan dipandang sebelah mata oleh rekan-rekan kerja di awal karirku di Triguna Jaya. Dianggap tak penting dan hanya anak kampung biasa yang baru mengenal ibukota. Beragam bully-an aku terima dan itu sempat membuatku down dan ingin segera angkat kaki pulang ke kampung halaman.
Tapi berkat Lala, aku berani tampil percaya diri untuk membuktikan kemampuanku. Perlahan, aku pun mulai menapaki sayap di salah satu perusahaan developer properti ternama di kota ini. Hingga puncaknya, aku akhirnya dipercaya oleh perusahaan untuk masuk ke dalam Tim Five Star untuk pengajuan proposal tender pendirian resort hotel yang diadakan oleh Kementerian Pariwisata.
Dan setelah tender tersebut aku menangkan, apakah aku bisa menikmatinya? Tidak. Sama sekali tidak. Buktinya, kini aku sekarat. Terbelenggu dalam ruang ICU rumah sakit dalam keadaan tak sadarkan diri dan menjadi makhluk kasat mata yang berkeliaran tak jelas dan memakai tubuh orang lain yang mirip denganku hanya untuk menyamar sebagai OB di sebuah stasiun televisi swasta. Ah!
Kuhembuskan napas berulang kali. Berharap apa yang terjadi padaku saat ini hanyalah mimpi belaka. Sehingga aku bisa segera bangun dan mengejar banyak hal yang telah aku korbankan hanya demi sebuah tender dan prestise karier semata. Termasuk meminta maaf kepada Lala.
La, apa kabarmu kini, Sayang? Masih bisakah kita kembali seperti dulu lagi? Semoga Abang belum terlambat, ya.
Akhirnya kuputuskan untuk menemui Lala besok pagi di kantornya. Meski dalam kondisi sebagai makhluk kasat mata sekalipun.
***
“Oh, syukurlah elu masih ada di sini rupanya.”
Pagi-pagi sekali aku sudah dikejutkan oleh sapaan yang telah akrab denganku beberapa hari ini. Sapaan yang kembali muncul di hadapanku tanpa permisi, seperti waktu itu. Sapaan yang berasal dari seorang laki-laki yang memiliki wajah mirip denganku. Laki-laki yang begitu marahnya saat aku tanpa seizinnya memakai tubuhnya untuk menjadi OB di Paramount TV. Laki-laki yang.... Well, laki-laki bernama Rizal itu kini berdiri tepat di hadapanku.
“Ngapain lagi lu cari-cari gue? Kan kemarin elu sendiri yang menyuruh gue jangan lagi dekat-dekat ke elu, apalagi sampai nekat pakai tubuh lu. Lha, sudah lupa, Bung? Terus sekarang, ngapain elu ke sini lagi temui gue?” kataku sinis seraya menatapnya.
“Ups, segitu marahnya, ya, elu ke gue?” Rizal mencoba sabar menghadapiku. Tapi aku malah mendelik.
“Ya iyalah, marah. Siapa juga yang nggak bakal emosi bila harga dirinya diinjak-injak begitu?”
“Eh? Harga diri kata lu?” Rizal mendengus, kesal. “Sekarang, coba deh lu pikir sendiri. Harga diri siapa sebenarnya yang diinjak-injak? Gue atau elu?” Dengan penuh emosi, ia pun menunjuk dadanya sendiri dan juga aku.
“Oke. Fine. Gue yang salah,” kataku akhirnya. “Sekarang, lu mau apa?”
Rizal menjentikkan jarinya dan tersenyum. “Nah, gitu dong. Gue mau minta tolong nih sama lu.”
“Eh?” Alisku terangkat sedikit. “Minta tolong apa?”
“Oke, begini ceritanya...”
Rizal pun akhirnya menceritakan masalah yang dihadapinya kemarin di Paramount TV. Terutama soal keinginan Abdul, si OB Betawi itu.
“Oh. Jadi, besok itu ultahnya Miss Diana, ya? Hm...”
Rizal mengangguk.
Kesempatan bagus, nih. Jadi gue bisa sekalian datang ke kantor Lala dengan wujud nyata. Ya, walaupun itu bukan tubuh gue, sih. Ah, semoga saja Lala sama sekali nggak menyadari akan hal itu.
“Hei, gimana? Bisa nggak lu?” tanya Rizal, mengagetkanku.
“Oke, deal. Gue bisa kok melakukannya. Soal Abdul dan Miss Diana itu beres, deh. Pokoknya lu tenang saja.”
“Tapi, ingat. Cuma sehari. Dan tak ada perpanjangan waktu,” ancam Rizal seraya melotot dan mengangkat telunjuk kanannya ke depan wajahku.
“Hahaha. Takut amat sih, lu.” Sengaja kusenggol tubuh laki-laki yang berdiri di hadapanku itu. Tapi ya, lagi-lagi hanya bias. Huh!
“Hahaha, hantu kok berani senggol-senggol gue, sih? Emang bisa, ya?” Rizal tergelak sambil menutupi mulutnya, takut orang-orang pada curiga. Dan dari ekspresinya, tampak sekali kalau ia itu puas melihatku nelangsa begitu.
Terserah lu, deh. Yang penting gue besok bisa ketemu sama Lala.
Dan aku pun hanya tersenyum menanggapi akting Rizal itu.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H