“Makanya... kalo mau cegat orang itu lihat-lihat dulu. Masa iya hantu gentayangan kayak gue diajak ngomong, di tempat umum lagi. Hahaha,” ujarku sambil geleng-geleng kepala, geli.
Dan usai berkata itu, aku pun melengos dan menubrukkan diriku ke tubuh Rizal. Tapi sayang, karena saat ini aku telah berubah menjadi makhluk kasat mata, maka yang dirasakan oleh laki-laki di hadapanku itu hanyalah embusan angin sesaat.
“Hei, mau ke mana?” tanya Rizal, mencoba menghentikan langkahku. Tapi aku tak peduli.
“Mau balik ke ruang ICU, tempat tubuh kasar gue terbaring lemah,” jawabku sambil terus melangkah dan meninggalkan Rizal seorang diri di lorong panjang rumah sakit ini.
***
Saat ini aku telah mendekati ruang ICU. Namun tiba-tiba saja langkahku terhenti. Dari arah bangku panjang yang terletak di seberang sana, terdengar suara perempuan yang sangat akrab di telingaku–suara Fera.
“Kenapa Mas Aldo nggak melarang Bang Faisal?”
Eh? Melarang apa?
Kudekatkan tubuhku ke arah bangku panjang untuk menyimak lebih jauh obrolan antara Fera dan Aldo.
“Udah aku coba, Fer. Tapi kamu tahu sendiri kan gimana Faisal? Dia tetap saja keukeh memesan bir kalengan itu, tiga biji lagi,” ujar Aldo sambil mengangkat tiga jari kanannya.
“Apa? Pesan tiga bir kalengan dalam semalam? Dan itu hanya untuk Bang Faisal sendiri?” Fera memiringkan badannya menghadap ke arah Aldo. Mata yang terbingkai kacamata minus itu pun terbelalak kaget.