Mohon tunggu...
Alin You
Alin You Mohon Tunggu... Insinyur - Penyuka fiksi, khususnya cerpen dan novel.

PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) • Penulis Amatir • Penyuka Fiksi • Penikmat Kuliner • Red Lover Forever • Pecinta Kucing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rendezvous

18 Februari 2017   20:16 Diperbarui: 18 Februari 2017   22:19 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

'Al, elu besok jadi kan ke Padang? Naik pesawat jam berapa? Gue jemput, ya?'

Begitulah isi WA (Whatapp) yang dikirim oleh Karel–sahabatku sejak zaman SMA–saat aku tengah sibuk membereskan barang-barang pribadiku yang tergeletak di meja kantor di dalam cubicle-ku. Ya, ini hari terakhirku di kantor, sebelum besok aku mengambil cuti kerja selama sepekan. Permintaan khusus dari Karel lah yang membuatku akhirnya berbuat seperti ini. Padahal bila aku memperturutkan ego dan emosiku, ingin sekali rasanya aku menolak mentah-mentah permintaan sahabatku itu.

Masih lekat dalam ingatanku obrolan via WA dengan Karel yang terjadi tiga bulan silam.

'Al, doain, ya. Gue udah dilamar Nizar nih dua pekan lalu. Dan kini tengah mempersiapkan pernikahan kami. Lu bisa datang kan nanti pas gue merit, Al?'

Ah, Nizar. Aku mendesah lirih. Dunia ini memang sempit ternyata. Entah bagaimana ceritanya cowok tengil yang jago matematika itu bisa dekat dengan sahabatku sendiri, bahkan tiga hari lagi akan resmi menjadi suaminya. Dan andai Karel tahu kisah masa laluku bersama Nizar, masih bersediakah ia menerima laki-laki itu menjadi suaminya?

Tidak. Jangan sampai pernikahan ini batal hanya karena aku.

Kugelengkan kepala berkali-kali, kemudian kuhela napas panjang. Ya, aku ini masa lalunya Nizar dan Karel itu adalah masa depannya. Dan aku harus bisa benar-benar ikhlas menerima takdir ini. Termasuk bersedia hadir di hari pernikahan mereka.

'Besok gue naik pesawat yang jam tiga sore, Rel. Dan lu nggak perlu repot-repot jemput gue. Fokus aja di hari H lu, ya. Gue ntar dijemput Kak Rose dan Bang Raul, kok.'

Send.

Pesan itu pun akhirnya terkirim ke nomor WA Karel.

***

Pukul lima lebih lima belas menit petang. Akhirnya aku berhasil landing di Bandara Internasional Minangkabau (BIM). Memang sempat terkena delay sekitar setengah jam, tapi syukurlah perjalananku dari Jakarta ke Padang tak mengalami kendala berarti. Dan saat kulangkahkan kaki keluar dari ruangan kedatangan domestik...

“Tante Alyaaa....”

Seorang bocah perempuan berusia lima tahun berteriak keras seraya melambaikan tangannya ke arahku. Di sebelahnya berdiri seorang perempuan muda berhijab dan laki-laki berkumis tipis yang tengah tersenyum padaku.

Senyumku pun merekah. Segera saja kuhampiri mereka. Kucium punggung perempuan berhijab biru muda dan laki-laki yang berdiri di sebelahnya. Kemudian punggung tanganku pun dicium bocah perempuan yang menatapku penuh takjub.

“Tante Alya bawa oleh-oleh apa untuk Jasmine?” tanya bocah perempuan yang tak lain adalah Jasmine–keponakanku, sekaligus anak dari Kak Rose dan Bang Raul–dengan wajah polos.

“Jasmine?” Mata perempuan berhijab itu melotot ke arah si bocah. Kemudian perlahan menatapku. “Gimana tadi penerbangannya, Al? Lancar?” tanya perempuan berhijab itu yang tak lain adalah Kak Rose–kakak sulungku. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.

“Alhamdulillah lancar, Kak. Yaaa... walaupun sempat kena delay setengah jam.”

Laki-laki di sebelah Kak Rose–Bang Raul, suami Kak Rose–kemudian mengambil alih koperku dan mendorongnya menyeberangi terminal kedatangan domestik menuju tempat parkiran mobil.

Setelah meletakkan koperku ke dalam bagasi sebuah mini bus abu-abu, kami pun meluncur meninggalkan kawasan BIM.

Dalam perjalanan menuju rumah Kak Rose, aku memang lebih banyak diam. Pandangan sengaja kuarahkan ke luar jendela, menikmati suasana kota Padang yang telah lebih dari satu dekade kutinggalkan.

“Tante Alya udah berapa lama nggak pernah ke Padang?” Jasmine mulai mengusik keasyikanku. Segera saja kualihkan pandangan menatap bocah perempuan yang duduk manis di sampingku ini.

“Hm... berapa lama, ya?” Mataku mengarah ke langit-langit mobil sambil telunjukku menepuk-nepuk pipiku, pura-pura mengingat sesuatu. “Lebih dari sepuluh tahun deh kayaknya.”

“Hah? Lama amat....” Mulut Jasmine sampai menganga saking terkejutnya.

“Hahaha....” Aku akhirnya tak kuasa lagi menahan tawa. Segera kuacak-acak rambut lurus Jasmine yang dipotong bob pendek dengan poni yang menjuntai keningnya.

“Ih, Tante. Rambut Jasmine kan jadi kusut,” protesnya seraya menjauhkan tangan usilku dari rambutnya. Aku pun pura-pura ngambek.

By the way, Al. Calonnya Karel itu siapa?” Tiba-tiba saja Kak Rose yang duduk di depan bertanya padaku. “Terus, kamu kapan menyusul?”

Mendengar pertanyaan terakhir Kak Rose, aku hanya bisa mendesah.

Lagi-lagi pertanyaan yang sama. Sampai bosan telingaku mendengarnya.

“Ya, doain aja semoga tahun ini Alya ketemu jodoh dan menikah,” pungkasku akhirnya.

“Karel masih tinggal di Sawahan, Al? Oya, tadi Kakak tanya calonnya Karel, kok belum dijawab?”

Fuih. Bisa nggak sih kita nggak usah ngebahas soal ini, Kak?

Tapi yang keluar dari mulutku, “Calonnya Karel itu Nizar.” Nada suaraku dibikin sedatar mungkin. Namun reaksi Kak Rose malah berbeda.

“Nizar? Mantanmu itu?” Kak Rose terbelalak.

“Mi, nama Nizar itu kan banyak,” potong Bang Raul cepat. “Belum tentu juga itu mantannya Alya.”

Kembali aku mendesah, lirih. “Tapi kenyataannya itu emang Nizar, teman SMP Alya dulu, Bang.” Sekalian saja kuperjelas, biar mereka tahu.

“Duh, Al. Tahu begini, kenapa pula kamu capek-capek datang ke Padang? Malah pake ambil cuti segala lagi.” Tampaknya Kak Rose menyesali keputusanku itu.

“Hm... Karel yang minta, Kak. Nggak enak juga kalo menolak.”

“Terus, kok kamu yakin banget kalo itu Nizar-mu?”

Kak Rose..., plis deh.

Akhirnya obrolan di dalam mobil hanya terpusat pada Nizar dan pernikahan.

***

Kuhembuskan napas berkali-kali. Mencoba mengatur napasku agar tampak tenang sebelum memutuskan untuk masuk ke dalam gedung tempat Karel dan Nizar melangsungkan pernikahan.

 

“Kamu yakin akan datang sendiri, Al? Apa perlu Kakak temani?”

Kak Rose begitu mencemaskan keadaanku saat kuputuskan untuk tetap hadir di pernikahan Karel dan Nizar. Walaupun aku hanya hadir pada resepsinya saja, bukan saat akad seperti keinginan Karel.

 

Dengan mengucapkan basmalah, akhirnya kulangkahkan juga kakiku menuju ruangan pesta.

Sesampaiku di dalam, tatapanku langsung mengarah pada panggung utama yang berhiaskan pelaminan bagonjong berwarna merah keemasan yang merupakan kekhasan adat Minangkabau. Dari kejauhan tampak sepasang pengantin duduk di bagian tengah dan diapit oleh orangtua dari masing-masing anak daro dan marapulai. Beberapa tamu pun tampak tengah memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai.

Sumber Gambar: audyfadekor.blogspot.co.id
Sumber Gambar: audyfadekor.blogspot.co.id
Ya Tuhan, berilah aku kekuatan saat bertemu mereka di atas sana.

Dan sebelum setetes cairan bening membasahi pipi dan merusak riasan wajahku, segera saja kuseret kakiku menuju panggung utama.

Kembali terdengar gemuruh detak jantungku saat menginjakkan kaki di atas panggung. Di depanku masih berdiri beberapa orang yang memberikan ucapan selamat kepada kedua pengantin beserta orangtuanya sambil berjabat tangan dan cipika-cipiki. Dan saat sampai pada giliranku...

“Alya.... Syukurlah akhirnya elu datang juga. Gue kirain lu nggak jadi datang, Al. Abis gue tungguin dari akad tadi nggak kelihatan batang hidung lu.”

Karel langsung memelukku erat layaknya seorang sahabat lama yang telah puluhan tahun tak bersua.

“Iya, maaf, ya, Rel. Tadi pagi tiba-tiba aja perut gue bermasalah. Kak Rose pun tadinya sempat tak mengizinkan gue pergi. Tapi gue ngotot. Masa udah jauh-jauh terbang dari pulau Jawa ke sini, nggak jadi datang?” Aku terpaksa berbohong kepada Karel.

Maafkan gue, ya, Rel.

Kemudian kulepaskan pelukan Karel dan beralih kepada sesosok pria yang berdiri di sebelahnya. Pria itu tampak kaget dan hanya bergeming saat kuulurkan tangan untuk menyalaminya.

“Selamat, ya, Zar. Semoga kalian berdua menjadi keluarga yang samara dan langgeng hingga maut memisahkan,” ucapku dengan nada bergetar.

Nizar hanya menatapku, kikuk. Karel pun tak kalah kagetnya.

“Jadi, kalian berdua udah saling kenal rupanya. Kok... kok gue nggak pernah tahu, ya?”

“Dia itu–” Aku dan Nizar serempak menjawab. Kemudian saling pandang sesaat, sebelum akhirnya saling membuang muka.

Dan sebelum Nizar buka suara lagi, buru-buru saja aku memotong, “Oh, Nizar itu teman gue saat SMP dulu, Rel. Kami juga udah lama kok nggak pernah ketemu. Dan gue... gue juga baru tahu ka... kalo Nizar itu... yang menjadi suami lu.” Kugenggam tangan Karel, mencoba untuk meyakinkannya.

Namun tiba-tiba...

“Bukan. Alya itu cinta pertamaku.” Nizar menggumam, lirih.

“Hah? Apa?” Karel menatapku dan Nizar dengan penuh amarah. “Ke... kenapa elu nggak pernah cerita ke gue, Al?” Cairan bening pun perlahan mulai bergulir di sudut matanya. Dan sesaat kemudian...

“Rel, Karel...,” jeritku, panik. Karena tiba-tiba saja kudapati Karel yang terjatuh dan pingsan di tempat.

***

Karawang, 18 Februari 2017.

Diikutsertakan dalam Event "[Sayembara Menulis Cerpen] Valentine di Fiksiana".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun