“Kamu yakin akan datang sendiri, Al? Apa perlu Kakak temani?”
Kak Rose begitu mencemaskan keadaanku saat kuputuskan untuk tetap hadir di pernikahan Karel dan Nizar. Walaupun aku hanya hadir pada resepsinya saja, bukan saat akad seperti keinginan Karel.
Dengan mengucapkan basmalah, akhirnya kulangkahkan juga kakiku menuju ruangan pesta.
Sesampaiku di dalam, tatapanku langsung mengarah pada panggung utama yang berhiaskan pelaminan bagonjong berwarna merah keemasan yang merupakan kekhasan adat Minangkabau. Dari kejauhan tampak sepasang pengantin duduk di bagian tengah dan diapit oleh orangtua dari masing-masing anak daro dan marapulai. Beberapa tamu pun tampak tengah memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai.
Dan sebelum setetes cairan bening membasahi pipi dan merusak riasan wajahku, segera saja kuseret kakiku menuju panggung utama.
Kembali terdengar gemuruh detak jantungku saat menginjakkan kaki di atas panggung. Di depanku masih berdiri beberapa orang yang memberikan ucapan selamat kepada kedua pengantin beserta orangtuanya sambil berjabat tangan dan cipika-cipiki. Dan saat sampai pada giliranku...
“Alya.... Syukurlah akhirnya elu datang juga. Gue kirain lu nggak jadi datang, Al. Abis gue tungguin dari akad tadi nggak kelihatan batang hidung lu.”
Karel langsung memelukku erat layaknya seorang sahabat lama yang telah puluhan tahun tak bersua.
“Iya, maaf, ya, Rel. Tadi pagi tiba-tiba aja perut gue bermasalah. Kak Rose pun tadinya sempat tak mengizinkan gue pergi. Tapi gue ngotot. Masa udah jauh-jauh terbang dari pulau Jawa ke sini, nggak jadi datang?” Aku terpaksa berbohong kepada Karel.