Maafkan gue, ya, Rel.
Kemudian kulepaskan pelukan Karel dan beralih kepada sesosok pria yang berdiri di sebelahnya. Pria itu tampak kaget dan hanya bergeming saat kuulurkan tangan untuk menyalaminya.
“Selamat, ya, Zar. Semoga kalian berdua menjadi keluarga yang samara dan langgeng hingga maut memisahkan,” ucapku dengan nada bergetar.
Nizar hanya menatapku, kikuk. Karel pun tak kalah kagetnya.
“Jadi, kalian berdua udah saling kenal rupanya. Kok... kok gue nggak pernah tahu, ya?”
“Dia itu–” Aku dan Nizar serempak menjawab. Kemudian saling pandang sesaat, sebelum akhirnya saling membuang muka.
Dan sebelum Nizar buka suara lagi, buru-buru saja aku memotong, “Oh, Nizar itu teman gue saat SMP dulu, Rel. Kami juga udah lama kok nggak pernah ketemu. Dan gue... gue juga baru tahu ka... kalo Nizar itu... yang menjadi suami lu.” Kugenggam tangan Karel, mencoba untuk meyakinkannya.
Namun tiba-tiba...
“Bukan. Alya itu cinta pertamaku.” Nizar menggumam, lirih.
“Hah? Apa?” Karel menatapku dan Nizar dengan penuh amarah. “Ke... kenapa elu nggak pernah cerita ke gue, Al?” Cairan bening pun perlahan mulai bergulir di sudut matanya. Dan sesaat kemudian...
“Rel, Karel...,” jeritku, panik. Karena tiba-tiba saja kudapati Karel yang terjatuh dan pingsan di tempat.