***
DUA
Serba-serbi di Pantry
“Jadi, pegimane ceritanya elo bisa ade dimari, Sal?”
Abdul–rekan sesama OB di kantor ini–menjadi penasaran saat mengetahui ada seorang OB baru yang sama sekali tak paham kenapa ia bisa ada di sini.
“Yaelah, Dul. Kalo gue tau juga gue nggak bakal sepanik ini keules,” ujarku, memberengut.
“Oh, ya udah kalo gitu. Lu nikmati aje posisi lu sekarang sebagai OB. Pan jarang-jarang arsitek menyamar jadi OB.” Habis bicara begitu, sontak OB Betawi itu pun ngakak keras, menertawai nasibku yang apes–tentu saja. Sehingga membuat toples berisi gula yang tengah dipegangnya nyaris jatuh ke lantai.
Aku yang dongkol langsung mendengus, “Puas amat lu ngetawain gue, ye?”
“Hahaha.... Lagian elu nya lucu amat, sih?” katanya masih sambil tertawa.
Aku yang kesal hampir saja melemparkan pot bunga yang ada di atas meja di dalam pantry ini ke kepala OB berkepala plontos itu.
“Ups, sori, sori. Jangan sensi gitu, ah.” Abdul menundukkan kepalanya, mencoba menghindari seranganku. Tapi tangannya kulihat tetap sibuk mengaduk-aduk sendok dalam sebuah cangkir.
“Hm, btw, itu lu lagi bikin apaan, sih?” tunjukku, mengalihkan pembicaraan. Karena dari tadi kulihat Abdul begitu hati-hati sekali dalam meramu minuman yang ada di hadapannya.
“Eh, oh, ini... ini pesanannya Miss Diana.” Entah kenapa Abdul terlihat grogi saat mendengar pertanyaanku tadi. Aku pun curiga.
“Miss Diana yang news anchor itu?” selidikku. Ya, walaupun baru dua hari–sama hari ini–aku bekerja di sini, setidaknya aku sudah mendengar gosip-gosip seputaran kantor ini, termasuk soal Miss Diana. Dan Abdul hanya mengangguk malu-malu.
“Ayo, ada apa nih dengan news anchor cantik itu? Lu naksir dia, ya?” tembakku langsung. Wajah Abdul pun berubah warna.
Melihat rona wajah Abdul yang bagai kepiting rebus, sontak saja membuatku tertawa keras. “Huahahaha... ternyata sohib gue ini lagi kasmaran ama news anchor idola nan cantik jelita itu. Hahaha....” Aku menepuk-nepuk pundak laki-laki berperawakan tinggi besar itu, yang segera ditepiskannya.
Rasain lu, Dul. Kartu lu sekarang ada di tangan gue.
Tawaku masih saja menggema saat terdengar pintu pantry dibuka dari luar. Sesosok perempuan cantik-blasteran Arab Jawa katanya-dengan tinggi semampai, kulit hitam manis, wajah bulat telur dan hidung yang agak mancung, tiba-tiba saja masuk. Ia tampak heran mendapati pantry yang tampak meriah.
“Wah, lagi ngomongin apa, nih? Seru amat kelihatannya.”
Melihat siapa yang datang, wajah Abdul kembali merona merah. “Eh, Miss Diana. Ada apa, ya? Ini minumannya baru aja mau saya antarkan ke mejanya Miss.”
“Oya, makasih, Dul,” ucap Miss Diana saat menerima cangkir dari tangan Abdul. Kemudian ditariknya sebuah kursi dan langsung duduk di atasnya. “Hm... saya boleh ngadem sebentar nggak di sini? Lagi suntuk nih di ruang pemberitaan.”
“Wah, dengan senang hati, Miss,” jawabku, nyengir. Siku tanganku iseng menyenggol perut Abdul dan segera dibalasnya dengan mata melotot.
“Materi berita akhir-akhir ini benar-benar membuat saya stress,” Miss Diana memulai curhatannya. Setelah menyesap teh dalam cangkirnya, ia pun menyandarkan punggung ke belakang kursi.
“Kesempatan langka, nih, Dul,” bisikku ke telinga Abdul. “temanin gih, gue mo keluar dulu. Mo ngecengin mbak-mbak resepsionis.”
Belum sempat Abdul protes, aku sudah berpamitan kepada Miss Diana.
“Miss, saya keluar sebentar, ya.”
“Lho, mo ke mana?” tanya Miss Diana, agak terkejut juga.
“Biasalah, mo ngontrol dulu. Kali aja ada yang butuh bantuan saya.” Kemudian aku melirik ke arah Abdul. “Miss Diana kalo mo ngadem di sini, monggo. Tuh ada Abdul yang nemenin.”
Miss Diana hanya mengangguk dan tersenyum.
Semenit kemudian aku pun mulai membuka engsel pintu dan keluar dari pantry.
***
Tapi baru saja beberapa langkah meninggalkan pantry, terdengar langkah tergesa dan seruan tertahan.
“Hei, hei. Tunggu sebentar!”
Aku pun segera membalikkan badan. Tapi setelah mengetahui siapa yang memanggilku, rasa dongkol pun muncul di permukaan.
Yaelah, dia lagi. Dia lagi. Apes dah gue.
“Mo ke mana?” tanya orang yang tak lain adalah Lidya, staf HRD yang judes plus jutek itu.
“Lho, saya mo ke mana juga nggak ada urusannya dengan Mbak Lidya, kan?” sahutku dengan nada kesal.
Lidya tampak tersinggung. “Oh, begitu, ya, cara ngomong kamu ke saya?”
“Ehm...” aku mencoba bersabar. “Ada apa, ya, Mbak Lidya yang terhormat memanggil saya?” tanyaku dengan senyum yang dipaksakan.
“Kamu mo nolongin saya nggak?”
Melihat map biru yang dipegang Lidya, aku sudah bisa menebak bantuan apa yang diinginkannya.
“Fotokopi file yang di map, ya, Mbak?”
Mata Lidya langsung berbinar. “Wah, pintar. Ternyata kamu cepat tanggap juga, ya.” Segera diserahkannya map biru itu ke tanganku. “Oya, makasih sebelumnya,” ucapnya sambil tersenyum. Kemudian berlalu dari hadapanku.
Lidya itu kalo senyum, manis juga ternyata.
Tapi segera kugelengkan kepala.
Tidak, tidak. Jangan sampai gue terbuai oleh senyum si staf HRD jutek itu.
Dengan setengah berlari, aku pun bergegas menuju ke ruangan arsip.
***
Usai menyerahkan kembali map biru itu ke tangan Lidya, aku pun segera melangkah menuju ruang kerjaku, ya apalagi kalau bukan pantry.
“Lho, kok udah balik aja lu, Sal? Katanya tadi mo cuci mata ama mbak-mbak di resepsionis,” sambut Abdul saat dilihatnya aku masuk ke pantry dengan tampang kusut.
“Kesal gue, Dul. Baru aja mo turun ke bawah, eh, malah ketemu ama Si Jutek di luar.”
“Si Jutek? Siapa?” potong Miss Diana seraya menatapku.
Ups! Segera ditutup mulutku.
Ya, Tuhan. Tololnya gue. Di pantry kan masih ada Miss Diana?
“Eh, anu, Miss. Itu tadi ada OG nyebelin di luar sana. Saya mo ke bawah aja dia ngikutin mulu.” Aku terpaksa berbohong. Sedangkan Abdul kulihat tengah mencoba menahan tawanya.
Sialan. Awas lu, ye!
Aku mengumpat lewat sudut mataku. Tapi Abdul pura-pura tak melihat.
“Oh, kirain siapa.”
Untunglah Miss Diana tak terlalu menaruh curiga.
Aku terpaksa tersenyum. Kemudian pura-pura sibuk membuat minuman.
“Oya, makasih, ya, udah memperbolehkan saya ngadem di sini,” Miss Diana kemudian bangkit dari duduknya, disusul dengan Abdul. “Dan makasih juga atas saran-sarannya tadi, Dul. Ternyata kamu asyik juga buat diajak diskusi.”
Aku melirik ke arah Abdul, tapi ia terlihat tak acuh begitu.
“Kapan-kapan saya masih boleh kan nongkrong di sini?” ucap Miss Diana seraya menyalami Abdul dan juga aku.
“Ya, tentu bolehlah, Miss. Asal Miss Diana nggak malu aja gaul ama para OB di sini. Hehehe,” sahutku sambil nyengir.
Miss Diana pun kemudian melangkah menuju pintu pantry diantar oleh Abdul yang–sok–bertindak sebagai bodyguard.
Sepeninggal Miss Diana...
“Cie cie. Sukses nih pedekatenya.”
Dan Abdul hanya menanggapinya dengan senyum malu-malu.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H