“Ups, sori, sori. Jangan sensi gitu, ah.” Abdul menundukkan kepalanya, mencoba menghindari seranganku. Tapi tangannya kulihat tetap sibuk mengaduk-aduk sendok dalam sebuah cangkir.
“Hm, btw, itu lu lagi bikin apaan, sih?” tunjukku, mengalihkan pembicaraan. Karena dari tadi kulihat Abdul begitu hati-hati sekali dalam meramu minuman yang ada di hadapannya.
“Eh, oh, ini... ini pesanannya Miss Diana.” Entah kenapa Abdul terlihat grogi saat mendengar pertanyaanku tadi. Aku pun curiga.
“Miss Diana yang news anchor itu?” selidikku. Ya, walaupun baru dua hari–sama hari ini–aku bekerja di sini, setidaknya aku sudah mendengar gosip-gosip seputaran kantor ini, termasuk soal Miss Diana. Dan Abdul hanya mengangguk malu-malu.
“Ayo, ada apa nih dengan news anchor cantik itu? Lu naksir dia, ya?” tembakku langsung. Wajah Abdul pun berubah warna.
Melihat rona wajah Abdul yang bagai kepiting rebus, sontak saja membuatku tertawa keras. “Huahahaha... ternyata sohib gue ini lagi kasmaran ama news anchor idola nan cantik jelita itu. Hahaha....” Aku menepuk-nepuk pundak laki-laki berperawakan tinggi besar itu, yang segera ditepiskannya.
Rasain lu, Dul. Kartu lu sekarang ada di tangan gue.
Tawaku masih saja menggema saat terdengar pintu pantry dibuka dari luar. Sesosok perempuan cantik-blasteran Arab Jawa katanya-dengan tinggi semampai, kulit hitam manis, wajah bulat telur dan hidung yang agak mancung, tiba-tiba saja masuk. Ia tampak heran mendapati pantry yang tampak meriah.
“Wah, lagi ngomongin apa, nih? Seru amat kelihatannya.”
Melihat siapa yang datang, wajah Abdul kembali merona merah. “Eh, Miss Diana. Ada apa, ya? Ini minumannya baru aja mau saya antarkan ke mejanya Miss.”
“Oya, makasih, Dul,” ucap Miss Diana saat menerima cangkir dari tangan Abdul. Kemudian ditariknya sebuah kursi dan langsung duduk di atasnya. “Hm... saya boleh ngadem sebentar nggak di sini? Lagi suntuk nih di ruang pemberitaan.”