“Apa, Mbak? Mbak ngomong apa tadi?”
Si Mbak rambut pirang itu balik menatapku. “Kamu OB baru kan, di sini?” Ia sengaja menekankan kata “kan” dalam kata-katanya itu, sehingga membuatku kaget dan tercengang.
“Apa, Mbak? OB... Office Boy, maksudnya?”
“Ya iyalah. Ngapain juga kamu pake seragam begitu kalo bukan OB?”
Kuperhatikan lagi pakaian yang kukenakan. Oh, God! Ini mimpi, kan? Aku, aku cuma mimpi, kan? Kucubit keras tanganku. Aw!
“Ngapain kamu pake cubit tangan segala? Nggak terima jadi OB?” Si Mbak Pirang tampak sinis kepadaku. Rupanya diam-diam ia memperhatikan gerak-gerikku.
Ya iyalah, nggak terima. Gue ini kan konsultan di sebuah perusahaan developer properti ternama di kota ini.
Tapi yang tampak hanyalah dengusan kesal.
“Udahlah, terima aja nasibmu,” tukas Si Mbak Pirang, akhirnya. “Oya. Tolong buatkan saya secangkir white coffee hangat. Ingat, ya, haa-ngat, bukan paa-nas. Trus, antarkan langsung ke lantai dua. Di ruang HRD. Atas nama Lidya. Ingat, ya! Awas kalo salah.”
Fuih! Aku hanya bergeming. Dan Si Mbak Pirang lagi-lagi memperhatikannya.
“Kenapa masih diam mematung di situ? Nggak tau letak pantry? Tuh, tanya aja ke mbak-mbak resepsionis, mereka semua udah pada tau kok.”