“Eh, anu, Mbak...”
“Apalagi?” Mata yang dihiasi eyeshadow warna abu-abu terang dan eyeliner hitam itu tampak melotot, sehingga nyaris membuat kedua bola matanya keluar. Ih, seram. Aku saja sampai bergidik.
“Anu, Mbak. Saya ini...”
“Udah, ah. Saya lagi banyak kerjaan hari ini. Pokoknya saya tunggu pesanan saya itu di ruangan atas. Nggak pake lama, ingat!”
Dan usai mengucapkan hal ini, Si Mbak pirang pun meninggalkanku dan melangkah menuju lift yang berada tak jauh dari meja resepsionis. Sedang aku? Ya, aku hanya melongo bingung, tak paham dengan semua kejadian pagi ini.
***
Fuih! Benar-benar hari yang melelahkan. Tanpa melepaskan terlebih dahulu pajikaian yang melekat seharian ini, kuhempaskan tubuh ke kasur busa yang ada di kamar kontrakanku.
Gila. Ternyata jadi OB itu benar-benar melelahkan. Tugasnya bukan hanya sekadar membersihkan ruangan kantor yang terdiri dari empat lantai. Ah, untung saja yang ada di lantai tiga dan empat itu adalah studio, ruang editing, ruang wardrobe dan make up artis yang bukan lagi merupakan job desk dari OB sepertiku. Jadi, aku masih bisa sedikit bernapas hingga jam pulang kantor.
Selain membersihkan ruangan, tugas OB yang kurasa sangat menyebalkan itu adalah ketika harus siap sedia disuruh ini itu oleh para pegawai stasiun televisi swasta tempat aku berada tadi. Apalagi bila orang itu adalah staf HRD yang bernama Lidya. Wah, banyak kali lagaknya yang membuatku harus terus-terusan menahan emosi berkepanjangan.
“Kamu ke mana aja, sih? Baru nganterin kopi pesanan saya jam segini?”
Itulah omelan pertama yang kuterima hari ini. Omelan itu berasal dari orang pertama yang menegur sekaligus menyuruhku saat berada di lobi bawah ruangan resepsionis pagi tadi.
“Maaf, Mbak. Saya tadi bingung. Saat saya ke pantry, kebetulan pantry sedang kosong.”
“Lantas?” potong Lidya, menatapku garang.
“Ya, saya bingung aja dimana letak cangkir, kopi, gula. Apalagi tadi Mbak Lidya kan mintanya white coffee. Nah, saya kan nggak tau dimana letaknya itu. Akhirnya saya bongkar-bongkar aja deh tuh pantry, sampai akhirnya....”
“Cukup! Saya nggak butuh penjelasan kamu tentang dimana letak cangkir, kopi, gula. Yang saya butuhkan itu cuma secangkir white coffee hangat yang sudah saya tunggu dari tadi.” Dengan sadisnya Lidya menghentikan ocehanku dan segera mengambil cangkir yang kubawa dengan nampan kayu berbentuk bundar.
Aku masih bergeming di tempatku saat Lidya kembali menatapku.
“Ngapain lagi kamu di sini?”
“Oh, eh, iya, Mbak.” Aku yang tergeragap segera membalikkan badan. Tapi sesaat kemudian....
“Eh, tunggu. Bisa kamu kopikan file-file ini dulu?” Lidya menyerahkan sebuah map biru berisi beberapa lembar kertas yang harus aku fotokopi. “Cepat, ya. Nggak pake lama kayak tadi,” pungkasnya seraya kembali menatap layar komputer yang ada di hadapannya.
Duh. Sekarang malah disuruh fotokopi lagi. Aku kan tidak tahu dimana tempat fotokopi di kantor ini?
"Tempat fotokopi itu ada di ruangan arsip. Letaknya ada di ujung lorong ini."
Aha. Ternyata ia dapat mendengar suara hatiku juga. Hehehe.
Aku tersenyum sesaat. Kemudian kulangkahkan kaki menuju ke ruangan tempat mesin fotokopi itu berada.
Fuih! Kuhembuskan napas berkali-kali sambil menatap langit-langit kamar. Rasa tak percaya masih terus melekat di benakku. Ya, bagaimana mungkin aku bisa ada di kantor itu? Bermimpi pun rasanya tidak. Jadi sebenarnya, apakah yang telah terjadi pada diriku ini? Apakah aku telah bertukar tempat dengan seseorang? Tapi siapa?