Alhamdulillah, I'm still alive. Thank, God. Thank, Allah. Engkau masih memberiku kesempatan hidup setelah apa yang terjadi padaku ini.
Sepertinya kata-kata di atas itu takkan henti-hentinya kuucapkan atas anugerah terindah yang terjadi padaku di akhir November tahun lalu. Suatu kejadian yang... entahlah, apakah ini kejadian terbaik atau sebaliknya, yang pasti selalu ada hikmah di balik setiap kejadian.
***
Kamis yang manis. Matahari pagi itu terlihat cerah dan bersahabat. Tak tampak tanda-tanda akan terjadi sesuatu pada diriku. Pun perasaanku kala itu tampak enjoy untuk memulai rutinitas harianku.
Pukul sembilan pagi. Semua tampak biasa saja. Hari ini pakaian yang kukenakan ke kantor adalah seragam batik, seperti yang telah diinstruksikan mengenai seragam harian pegawai yang bekerja di instansi pemerintah. Si Fira--motor metik baruku yang masih nyicil angsurannya--yang telah dipanasi mesinnya pun masih teronggok manis di garasi rumahku. Setelah berpamitan sama Ayah, si Fira kustater dan mulai kulajukan di jalan raya menuju kantorku.
Tak ada firasat apapun saat itu. Hatiku tampak riang, karena akan banyak agenda dan janji dengan rekan kantor yang menantiku hari itu. Setengah perjalanan semua tampak normal, hingga tiba di daerah Klari. Ya, jelang mendekati Pasar Kosambi itulah malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Saat melalui sebuah lobang yang lumayan besar di jalan, entah pikiranku yang tengah blank atau apa, tiba-tiba saja.... Jeger! Aku terseret bersama Fira dan akhirnya jatuh terduduk dengan stang Fira tepat berada di dada kananku.
Aw! Kucoba untuk berdiri, tapi entah kenapa rasanya badan dan kakiku susah untuk digerakkan. Tak berapa lama, mulailah berkerumun orang-orang di sekitarku.
"Gimana, Bu? Bisa jalan nggak?"
"Sini, Bu. Saya kasih betadine dulu luka-lukanya."
Aw, baru kusadari. Ternyata lutut kiriku, pergelangan kaki kanan, telunjuk kiri, wajah dan daguku, semuanya terluka. Seperti apa lukanya, aku belum tahu pasti. Karena aku seperti baru tersadar dari tidur panjang atau pingsan.
Pun saat aku ingin melihat kondisi terkini pada diriku.... Eh, kacamata, kacamataku mana?
"Ini, Bu, kacamatanya." Seorang bapak menyodorkan kacamataku yang gagangnya telah melebar sehingga tak mungkin lagi kukenakan.
Melihat kondisiku yang--mungkin--agak parah, seorang bapak akhirnya menawariku sesuatu. "Ayo, Bu. Saya antar saja ke Puskesmas terdekat." Segera distarternya si Fira dan beberapa orang membantuku naik di boncengan Fira.
***
Sampai di UGD (Unit Gawat Darurat) Puskesmas terdekat.
"Dok, tolong, Dok! Korban kecelakaan," teriak Si Bapak yang membawaku ke Puskesmas saat dilihatnya ruang UGD yang tertutup.
Mendengar teriakan dari luar, segera pintu ruangan itu pun terbuka dan keluarlah seorang perawat laki-laki berusia sekitar empat puluhan. Dan dengan dibantu perawat laki-laki itu, Si Bapak Penolongku berusaha memapahku masuk ke ruang UGD dan segera menaikkanku ke atas pembaringan yang ada di ruang itu.
"Bapak yang menabraknya, ya?" tuduh Perawat Laki-laki, yang langsung dibantah oleh Si Bapak.
"Ih, bukan saya. Ibu itu jatuh sendiri. Saya hanyalah seorang penjual buah yang kebetulan ada di sana." Si Bapak Penolongku tak terima dituduh seperti itu oleh Perawat Laki-laki. Dan aku hanya mengangguk, membenarkan perkataan Si Bapak Penolongku itu.
"Sudah ya, Bu. Saya tinggal dulu. Takut gerobak saya hilang. Ibu tinggal telepon keluarga ke sini dan ini kunci motornya." Si Bapak Penolongku kemudian memberikan kunci Si Fira dan segera berlalu dari ruang UGD. Kini tinggallah aku bersama seorang dokter UGD dan perawat laki-laki di ruang itu.
Dengan sigap Si Perawat membersihkan luka-luka yang ada di tubuhku. Aw, ternyata perih sekali luka-luka itu. Dan aku hanya bisa meringis menahan sakit.
"Sebentar, Bu, saya periksa dulu." Kini giliran dokter UGD yang mengambil alih penangananku.
"Hm... untunglah nggak papa," ujar Sang Dokter usai memeriksaku.
Tapi tiba-tiba...
"Aw, Dokter! Ini kenapa dengan dada kanan saya?" teriakku saat mencoba menggeser tubuh agak ke kanan.
Dokter UGD itu pun kembali mendekatiku. Memeriksa bagian dada kananku.
"Coba Ibu ambil napas, kemudian keluarkan!" perintah Sang Dokter yang kemudian kupatuhi. "Gimana?"
"Agak sakit, Dok," ujarku setelah melakukan apa yang diperintahkannya.
"Nggak papa kok. Cuma memar saja. Entar juga sembuh, cuma memang agak lama," sahut Dokter UGD yang kemudian kembali ke tempat duduknya dan mulai meracik obat untukku.
Ya, Allah. Ada apa ini denganku? Ratapku sambil mencoba meraba-raba seluruh badanku, kalau-kalau terdapat keluhan lagi.
Sambil menunggu dokter meracik obat, segera kuhubungi adik bungsuku dan menceritakan secara singkat kondisiku terkini dan memintanya untuk segera menjemputku di Puskesmas.
Tak berapa lama obat untukku pun selesai diracik.
"Ayo, Bu, diminum dulu obatnya." Perawat Laki-laki menyodorkan tiga macam obat untuk segera kuminum. Obat apa itu, aku tak menanyakannya. Hanya menuruti perintah Perawat Laki-laki saja.
"Saya benar nggak papa nih, Dok?" Aku masih sangsi yang dengan kondisiku saat itu. Tapi kulihat dokter hanya mengangguk seraya tersenyum meyakinkan.
***
Usai pulang dari Puskesmas, mulailah aku benar-benar memperhatikan kondisiku. Dan... ya Tuhan, ternyata kondisiku tidaklah sebaik yang dikatakan dokter UGD Puskesmas.
Butuh waktu dua pekan pemulihan. Tapi itu pun belum bisa dikatakan sembuh total. Luka di lutut kiriku ternyata cukup parah, sehingga menyebabkan aku susah berjalan. Pun saat kuperhatikan wajahku.... Masya Allah, daguku kini membentuk benjolan kecil pasca kejadian itu. Dan yang terparah itu ternyata terletak pada dada kananku. Yang kata dokter UGD Puskesmas hanya memar, ternyata membuatku susah tidur dan bergerak.
Akhirnya berkali-kali aku diurut untuk menghilangkan memar di dadaku. Minum jamu, tidur kudu telentang, dan berhati-hati dalam bergerak, semua saran tersebut kuturuti. Pintaku hanya satu, aku ingin segera sembuh dan bisa beraktivitas normal kembali.
Dua pekan pasca kejadian, kucoba kembali bekerja. Tentunya tetap naik motor--kali ini aku kembali ke cinta pertamaku, Si Varah--karena letak kantor dan wilayah kerjaku yang berada di tengah-tengah areal persawahan tak memungkinkan buatku naik kendaraan selain motor. Dan bagaimana hasilnya? Dada kananku ternyata masih senat-senut sehingga kuputuskan untuk istirahat lagi sekitar dua pekan di rumah.
Beruntung aku ini seorang pekerja lapangan. Dan pimpinanku pun tak terlalu mempersoalkan tentang kehadiran yang setiap hari di kantor, sehingga aku benar-benar memiliki waktu cukup untuk memulihkan kondisiku lagi.
***
Kini, pasca dua bulan Insiden Klari, aku sudah bisa beraktifitas normal kembali. Bekerja, mengendarai motor, tidur tengkurap, berjalan normal, semua kembali dapat kulakukan dengan baik.
Alhamdulillah, I'm still alive. Thank, God. Thank, Allah. Engkau masih memberiku kesempatan hidup setelah apa yang terjadi padaku ini.
***
Tulisan ini diikutsertakan dalam event "Best Moment 2016" yang diselenggarakan oleh Grup Fiksiana Community.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H