Mohon tunggu...
Alin You
Alin You Mohon Tunggu... Insinyur - Penyuka fiksi, khususnya cerpen dan novel.

PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) • Penulis Amatir • Penyuka Fiksi • Penikmat Kuliner • Red Lover Forever • Pecinta Kucing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Bulan Motivasi RTC] 3 in 1: Atiga

21 Mei 2016   23:49 Diperbarui: 22 Mei 2016   07:12 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: pesonawafa.wordpress.com"][/caption]

Cerpen kolaborasi dari Tim JAW9


Manusia dilahirkan seperti sebuah kertas A3 yang putih bersih. Terkadang kita sendiri bingung, harus memulai dari mana? Membuat pola apa? Menggambar apa? Atau menulis saja, barang satu-dua kata?

Anita

Pagi yang cerah. Secerah hatiku dalam mengawali hari ini. Bayangan masa lalu yang kelam tak lagi aku gubris. Hidup sendiri pun bukan lagi hal yang ditakuti. Keluarga? Ah, peduli amat! Aku telah kehilangan semua itu bahkan sejak aku berusia dua puluh dua tahun. Sejak begitu seriusnya aku memikirkan masa depanku. Sejak aku disibukkan dengan Tugas Akhir (TA) kuliahku.

"Pokoknya aku minta cerai!"

Teriakan Mama di pagi buta itu membuatku tersentak. Ada apa ini? Tak ada hujan, tak ada badai, tiba-tiba saja Mama berteriak seperti itu. Dan saat keluar kamar, kulihat Mama telah menjinjing sebuah koper dengan raut muka sembab--sepertinya habis menangis.

"Mama hendak ke mana?" aku bertanya dengan ekspresi bingung. Sungguh, aku sama sekali tak tahu apa yang saat itu terjadi dengan orangtuaku.

"Kamu tanya aja sendiri sama laki-laki yang kamu panggil Papa itu."

Kembali terdengar teriakan Mama, dikuti dengan langkah kakinya yang terburu meninggalkan rumah untuk selamanya. Dan saat aku menatap Papa, tampak beliau bagai seorang terdakwa yang terbukti melakukan tindak kejahatan keji. Sehingga hukuman penjara dunia kurasa tak mampu menghapus kesalahan yang telah diperbuatnya terhadap istri dan anaknya.

"Oke, sekarang terserah kamu, Anita. Mau tetap tinggal bersama Papa... tapi dengan syarat, harus bisa menerima Om Juned untuk tinggal bersama kita juga."

Rasanya mual mendengar penjelasan Papa itu. Bagaimana mungkin aku bisa hidup tenang di tengah-tengah pasangan yang... ah, sudahlah. Aku tak ingin banyak berdebat. Papa tentunya lebih tahu apa konsekuensi dari keputusan yang telah diambilnya itu. Dengan berat hati, aku pun akhirnya mengikuti jejak Mama hengkang dari rumah ini.

Aku hanya mampu menghela napas panjang kala terkenang masa itu. Masa yang seharusnya bisa kulalui dengan tenang, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Hidupku hancur. Kuliahku terbengkalai. Skripsi entah apa kabarnya. Dan yang pasti karierku sebagai top model sebuah agensi ternama di kota ini pun harus pupus di tengah jalan.

"Maaf, Anita. Christie Agensi tak lagi bisa memakaimu."

Itulah kata-kata yang keluar dari mulut Mbak Agnes--pemilik Christie Agensi--yang membuatku makin terpukul. Aku cukup paham alasan Christie Agensi memecatku. Ya, pil setan dan coke (kokain) itulah penyebabnya. Aku geram. Tapi anehnya, saat itu aku bukannya langsung tersadar, melainkan makin tenggelam dalam dunia semu barang-barang laknat tersebut.

"Peduli amat. Papa dan Mama aja udah nggak acuh lagi dengan nasib anak semata wayangnya ini. Jadi, buat apalagi aku hidup?" ujarku sambil menyuntikkan bubuk coke itu ke lengan kiriku.

Dua tahun lamanya aku terpuruk dalam jurang nestapa hingga penggerebekan polisi akhirnya menyadarkanku. Dinginnya jeruji besi dan sakitnya proses rehabilitasi yang harus kulalui itulah yang membuatku harus bangkit dan ingin kembali menata hidupku, termasuk dengan kuliahku yang hampir saja mengalami drop out (DO) bila hingga tahun lalu belum juga selesai.

Tapi ternyata Tuhan Maha Baik padaku. Bulan Oktober tahun lalu akhirnya aku bisa diwisuda juga, walaupun tanpa dihadiri oleh kedua orangtuaku.

Andrio

Awan hitam yang menggantung di langit sejak tadi akhirnya tumpah ruah menjadi hujan lebat, mengencingi segala sesuatu di bawahnya, termasuk tubuhku, yang baru saja turun dari angkot (angkutan kota). Aku segera berlari menuju pelataran pusat perbelanjaan untuk berlindung dari guyuran hujan yang tak kenal ampun. Pada hari Sabtu di penghujung bulan Juni itu, alam seperti ikut murung, serupa hatiku yang sedang bermuram. Matahari sudah beberapa hari ini tidak menampakkan diri, seolah tengah berkabung atas kesedihan yang menimpaku. Langit sudah mendung sedari pagi, hingga akhirnya hujan lebat tak tertahankan jatuh siang ini, serupa menangisi kepedihan hati yang sedang kualami.

Aku bermaksud mendatangi kantor wedding organizer yang berada di dalam pusat perbelanjaan itu. Bukan mau melanjutkan rencana pesta pernikahan yang sudah dirancang sejak tiga bulan lalu dengan wedding organizer tersebut. Namun sebaliknya, aku hendak membatalkan segala konsep acara pesta pernikahan yang sudah disusun rapi. Begitu juga dengan segala pemesanan yang sudah dilakukan, mulai dari gedung, catering makanan dan pengisi acara, harus aku batalkan, sekaligus menarik kembali uang deposit yang sudah kubayarkan. Pesta pernikahan yang harusnya digelar sebulan lagi, tidak akan pernah terjadi. Karena Liani--calonku, telah melarikan diri dari rumah dan tak satu orang pun tahu ke mana ia pergi. Hanya selembar kertas yang ia tinggalkan di atas tempat tidurnya, bertuliskan pesan bahwa ia harus pergi demi menghindari pernikahan yang tidak ia inginkan dan ia tak akan kembali lagi.

Selentingan kabar beredar bahwa Liani pergi melarikan diri dengan mantan pacarnya. Begitu desas-desus para pemuda di sekitar rumahnya yang melihat kedua anak muda tersebut meninggalkan rumah secara mencurigakan pada tengah malam buta beberapa hari lalu. Aku yang diperkenalkan dengan Liani setahun lalu oleh rekan kerjaku, terperanjat begitu mendengar kabar buruk tersebut tadi malam, dan segera mendatangi wedding organizer siang ini untuk membatalkan segala rencana pernikahan.

"Mohon maaf, Mas Andrio. 90% dari uang depositnya sebagai bagian yang bisa diambil kembali jika terjadi pembatalan sudah diambil semuanya oleh Mbak Liani kemarin. Dan karena pemesanan ini atas nama kalian berdua, maka penarikan uang muka bisa dilakukan oleh salah satu dari kalian."

Langit di atas kepalaku rasanya runtuh menjadi kepingan yang berserakan seperti hatiku. Uang muka yang sudah aku bayar sebesar Rp.50 juta telah menguap dalam sekejap, seperti asap rokok yang lenyap oleh kibasan tangan. Uang yang aku kumpulkan dengan susah payah dari setiap tetesan keringatku. Hanya demi meluluskan keinginannya untuk sebuah pesta perkawinan mewah kami, yang tak akan pernah terjadi.

Arin

"Menikahlah denganku."

"Tidak! Aku bisa membunuhmu."

Penolakan, itu yang aku dapat dari sekitarku, termasuk keluargaku. Setelah aku positif mengidap HIV, keluargaku membuat ruang tersendiri untukku. Lalu, di mana salahku? Bahkan aku sendiri tidak tahu bagaimana virus mematikan dan menjijikkan bagi sebagian orang itu bisa bersarang di tubuhku.

"Kamu jujur sama kami, kamu pakai narkoba? Atau pernah tidur sama temen cowokmu?" Kakak sulungku menatap tajam ke arahku, memecah keheningan di ruang tamu. Diikuti tatapan ibu, juga kedua kakak laki-lakiku yang lain.

Aku hanya menggeleng, karena aku benar-benar tidak pernah menyentuh narkoba, juga menyentuh lelaki. Orang tua kami membekali dengan ilmu agama sejak kami kecil. Aku si bungsu, dengan tiga kakak laki-laki. Aku sudah memakai hijab sejak aku belum menginjak bangku sekolah dasar.

"Di keluarga kita tidak ada riwayat HIV. Ibu bersih, aku bersih, Rayyan dan Fathir juga bersih. Aku yakin Ayah juga bersih, meskipun beliau tidak lagi ada di sini." Kak Alif melanjutkan bicaranya lagi.

Aku tetap menggeleng dan menangis. Aku tidak tahu harus menjelaskan bagaimana lagi. Tetapi bagi kakak-kakakku, kebungkaman tidak akan menyelesaikan apa-apa, aku tetap terlihat seperti terdakwa di depan mereka. Perlahan, keluargaku mulai membuat garis batas di antara kami.

"Menikahlah denganku."

"Aku bisa membunuhmu, Pandu."

"Tidak, hidup-mati itu adalah urusan Tuhan. Menikahlah denganku, kita akan hidup bersama."

Aku menangis di pelukan Pandu, satu-satunya orang yang membuatku masih merasa hidup dan diinginkan. Pandu, lebih dari antiretroviral yang harus aku telan setiap hari.

***

Hari ini Arin merasa sangat senang dan bahagia, karena hari ini adalah hari reuni akbar kampus. Arin senang karena akan bertemu dengan kedua sahabatnya, Anita dan Andrio, yang sudah lama tidak bersua. Ya, mereka adalah tiga sahabat karib yang selalu bersama sejak masa awal kuliah hingga lulus. Dan mereka menamakan genk mereka itu sebagai Atiga, karena nama ketiganya sama-sama berawalan A.

Sejak lulus kuliah mereka memang jarang ketemu disebabkan kesibukan masing-masing. Makanya, reuni merupakan hari yang sangat mereka tunggu-tunggu untuk dapat berkumpul kembali. Meskipun Atiga itu jarang bersua, tapi mereka selalu saling berbagi kabar, sehingga hubungan di antara mereka tak pernah terputus. Mereka saling mengetahui apa yang terjadi, namun tatap muka dan berbagi cerita secara langsung tetap tak ada gantinya.

Pada acara reuni itu, Arin datang ditemani oleh Pandu--yang kini telah resmi menjadi suaminya. Sedangkan Anita dan Andrio, mereka datang sendiri-sendiri karena memang masih belum memiliki pendamping. Saat Arin dan Pandu datang, ternyata Anita dan Andrio telah duduk berdua di pojok ruang pertemuan. Sengaja memang mereka memilih duduk di tempat yang agak jauh dari keramaian teman-teman alumni kampus, agar dapat mengobrol lebih banyak tanpa ada gangguan.

"Hei Arin, Pandu! Sini...," sapa Anita dan Andrio secara bersamaan. Arin dan Pandu yang mendengar paggilan itu segera mendekat.

"Selamat, ya, akhirnya kalian benar-benar bisa bersatu." Anita memeluk erat Arin, melepas kerinduan sekian lama berpisah. Sedangkan Andrio menjabat tangan Arin dan Pandu secara bergantian.

Usai melepas rindu, mereka pun larut berbagi cerita masing-masing, tentang kisah hidup yang telah mereka alami saat berpisah. Anita berbagi kisah tentang hidupnya yang jatuh sampai sempat mendekam dalam penjara karena narkoba. Andrio menceritakan bagaimana rencana pernikahan yang sudah ia siapkan tiba-tiba kandas.

"Tapi kamu nggak trauma kan, Yo?" tanya Anita yang sempat takut kalau Andrio--satu-satunya cowok dalam Atiga--menjadi trauma terhadap cewek dan mengganti orientasi seksnya seperti yang dilakukan oleh Papa Anita.

"Ya, nggaklah, An. Cewek di dunia ini kan bukan cuma Liani aja. Kan masih ada kamu...," goda Andrio yang seketika membuat wajah Anita berubah bak kepiting rebus.

"Wah, wah. Ternyata kalian itu diam-diam...," Arin tak lagi melanjutkan ucapannya. Tapi ekor matanya seolah menggoda Anita dan Andrio.

"Jangan bikin gosip, deh!" sergah Anita cepat, yang kemudian disusul ledakan tawa dari Arin, Pandu dan Andrio.

Ya, kami Atiga. Kami bertiga bersahabat dan kami pun pernah merasa jatuh. Tapi itu semua tak membuat kami terpuruk. Malah makin tegak berdiri, karena kami masih memiliki harapan hidup dan juga Tuhan.

***

Arin

Aku menggenggam tangan Pandu, seperti ia pernah menggenggamku saat aku putus asa, saat aku tidak diinginkan siapa-siapa. Meski aku masih belum menggenggam jawaban yang tepat untuk keluargaku, dari mana virus itu berasal. Aku hanya menduga, virus itu ada dalam darah salah satu teman yang menyelamatkan nyawaku saat kami ada kegiatan kampus di daerah terpencil. Tetapi, pantaskah aku menduga demikian kepada orang yang menyelamatkanku?

Hidup itu seperti kertas A3, Tuhan sudah membuat polanya. Hanya kita yang terkadang tak melihatnya, tidak menyadari, bahkan ingin menjadi tuhan dari setiap lembar hidup ini. Aku melirik Anita dan Andrio, bahasa tubuh mereka pun menegaskan bahwa mereka serupa keping puzzle yang saling menemukan dan melengkapi.

***

Tim JAW9:

Je Zee, Alin You, Willy Akhdes Agusmayandra.

Sumber: Grup FB RTC
Sumber: Grup FB RTC

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun