"Mohon maaf, Mas Andrio. 90% dari uang depositnya sebagai bagian yang bisa diambil kembali jika terjadi pembatalan sudah diambil semuanya oleh Mbak Liani kemarin. Dan karena pemesanan ini atas nama kalian berdua, maka penarikan uang muka bisa dilakukan oleh salah satu dari kalian."
Langit di atas kepalaku rasanya runtuh menjadi kepingan yang berserakan seperti hatiku. Uang muka yang sudah aku bayar sebesar Rp.50 juta telah menguap dalam sekejap, seperti asap rokok yang lenyap oleh kibasan tangan. Uang yang aku kumpulkan dengan susah payah dari setiap tetesan keringatku. Hanya demi meluluskan keinginannya untuk sebuah pesta perkawinan mewah kami, yang tak akan pernah terjadi.
Arin
"Menikahlah denganku."
"Tidak! Aku bisa membunuhmu."
Penolakan, itu yang aku dapat dari sekitarku, termasuk keluargaku. Setelah aku positif mengidap HIV, keluargaku membuat ruang tersendiri untukku. Lalu, di mana salahku? Bahkan aku sendiri tidak tahu bagaimana virus mematikan dan menjijikkan bagi sebagian orang itu bisa bersarang di tubuhku.
"Kamu jujur sama kami, kamu pakai narkoba? Atau pernah tidur sama temen cowokmu?" Kakak sulungku menatap tajam ke arahku, memecah keheningan di ruang tamu. Diikuti tatapan ibu, juga kedua kakak laki-lakiku yang lain.
Aku hanya menggeleng, karena aku benar-benar tidak pernah menyentuh narkoba, juga menyentuh lelaki. Orang tua kami membekali dengan ilmu agama sejak kami kecil. Aku si bungsu, dengan tiga kakak laki-laki. Aku sudah memakai hijab sejak aku belum menginjak bangku sekolah dasar.
"Di keluarga kita tidak ada riwayat HIV. Ibu bersih, aku bersih, Rayyan dan Fathir juga bersih. Aku yakin Ayah juga bersih, meskipun beliau tidak lagi ada di sini." Kak Alif melanjutkan bicaranya lagi.
Aku tetap menggeleng dan menangis. Aku tidak tahu harus menjelaskan bagaimana lagi. Tetapi bagi kakak-kakakku, kebungkaman tidak akan menyelesaikan apa-apa, aku tetap terlihat seperti terdakwa di depan mereka. Perlahan, keluargaku mulai membuat garis batas di antara kami.
"Menikahlah denganku."