Rasanya mual mendengar penjelasan Papa itu. Bagaimana mungkin aku bisa hidup tenang di tengah-tengah pasangan yang... ah, sudahlah. Aku tak ingin banyak berdebat. Papa tentunya lebih tahu apa konsekuensi dari keputusan yang telah diambilnya itu. Dengan berat hati, aku pun akhirnya mengikuti jejak Mama hengkang dari rumah ini.
Aku hanya mampu menghela napas panjang kala terkenang masa itu. Masa yang seharusnya bisa kulalui dengan tenang, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Hidupku hancur. Kuliahku terbengkalai. Skripsi entah apa kabarnya. Dan yang pasti karierku sebagai top model sebuah agensi ternama di kota ini pun harus pupus di tengah jalan.
"Maaf, Anita. Christie Agensi tak lagi bisa memakaimu."
Itulah kata-kata yang keluar dari mulut Mbak Agnes--pemilik Christie Agensi--yang membuatku makin terpukul. Aku cukup paham alasan Christie Agensi memecatku. Ya, pil setan dan coke (kokain) itulah penyebabnya. Aku geram. Tapi anehnya, saat itu aku bukannya langsung tersadar, melainkan makin tenggelam dalam dunia semu barang-barang laknat tersebut.
"Peduli amat. Papa dan Mama aja udah nggak acuh lagi dengan nasib anak semata wayangnya ini. Jadi, buat apalagi aku hidup?" ujarku sambil menyuntikkan bubuk coke itu ke lengan kiriku.
Dua tahun lamanya aku terpuruk dalam jurang nestapa hingga penggerebekan polisi akhirnya menyadarkanku. Dinginnya jeruji besi dan sakitnya proses rehabilitasi yang harus kulalui itulah yang membuatku harus bangkit dan ingin kembali menata hidupku, termasuk dengan kuliahku yang hampir saja mengalami drop out (DO) bila hingga tahun lalu belum juga selesai.
Tapi ternyata Tuhan Maha Baik padaku. Bulan Oktober tahun lalu akhirnya aku bisa diwisuda juga, walaupun tanpa dihadiri oleh kedua orangtuaku.
Andrio
Awan hitam yang menggantung di langit sejak tadi akhirnya tumpah ruah menjadi hujan lebat, mengencingi segala sesuatu di bawahnya, termasuk tubuhku, yang baru saja turun dari angkot (angkutan kota). Aku segera berlari menuju pelataran pusat perbelanjaan untuk berlindung dari guyuran hujan yang tak kenal ampun. Pada hari Sabtu di penghujung bulan Juni itu, alam seperti ikut murung, serupa hatiku yang sedang bermuram. Matahari sudah beberapa hari ini tidak menampakkan diri, seolah tengah berkabung atas kesedihan yang menimpaku. Langit sudah mendung sedari pagi, hingga akhirnya hujan lebat tak tertahankan jatuh siang ini, serupa menangisi kepedihan hati yang sedang kualami.
Aku bermaksud mendatangi kantor wedding organizer yang berada di dalam pusat perbelanjaan itu. Bukan mau melanjutkan rencana pesta pernikahan yang sudah dirancang sejak tiga bulan lalu dengan wedding organizer tersebut. Namun sebaliknya, aku hendak membatalkan segala konsep acara pesta pernikahan yang sudah disusun rapi. Begitu juga dengan segala pemesanan yang sudah dilakukan, mulai dari gedung, catering makanan dan pengisi acara, harus aku batalkan, sekaligus menarik kembali uang deposit yang sudah kubayarkan. Pesta pernikahan yang harusnya digelar sebulan lagi, tidak akan pernah terjadi. Karena Liani--calonku, telah melarikan diri dari rumah dan tak satu orang pun tahu ke mana ia pergi. Hanya selembar kertas yang ia tinggalkan di atas tempat tidurnya, bertuliskan pesan bahwa ia harus pergi demi menghindari pernikahan yang tidak ia inginkan dan ia tak akan kembali lagi.
Selentingan kabar beredar bahwa Liani pergi melarikan diri dengan mantan pacarnya. Begitu desas-desus para pemuda di sekitar rumahnya yang melihat kedua anak muda tersebut meninggalkan rumah secara mencurigakan pada tengah malam buta beberapa hari lalu. Aku yang diperkenalkan dengan Liani setahun lalu oleh rekan kerjaku, terperanjat begitu mendengar kabar buruk tersebut tadi malam, dan segera mendatangi wedding organizer siang ini untuk membatalkan segala rencana pernikahan.