Mohon tunggu...
Alin You
Alin You Mohon Tunggu... Insinyur - Penyuka fiksi, khususnya cerpen dan novel.

PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) • Penulis Amatir • Penyuka Fiksi • Penikmat Kuliner • Red Lover Forever • Pecinta Kucing

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta dalam Lautan Banjir (Bab 3)

22 April 2016   22:40 Diperbarui: 23 April 2016   02:03 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sepucuk Surat dari Papa (Kreasi Pribadi)"][/caption] 

3. Sepucuk Surat dari Kupang

 

Hari telah menunjukkan pukul dua siang. Matahari perlahan mulai condong ke arah Barat. Tapi meskipun begitu, pada puncak musim panas seperti saat ini, cuaca masih saja terasa panas dan menyengat. Sehingga tak banyak orang yang berlalu-lalang di luar rumah.

Rumah kediaman Oma Bernie pun terlihat sepi dari luar. Pintu pagarnya tertutup rapat, seolah tak berpenghuni. Padahal di dalam rumah, Oma Bernie tengah asyik menghabiskan waktu dengan membaca buku resep yang baru saja dibelinya dari Mang Karta–tukang loper koran keliling. Ya, begitulah keseharian nenek berusia tujuh puluh tahun itu bila sedang ditinggal kedua cucunya beraktivitas di luar rumah.

Cucu Oma Bernie yang sulung–Girianto–sehari-hari bekerja di sebuah toko cat yang berjarak sekitar dua kilometer dari rumah Sang Oma. Saban Senin hingga Sabtu, Girianto yang lulusan SMA itu harus berjibaku melayani kebutuhan para pelanggannya akan cat. Tak jarang pesanan-pesanan pelanggan itu harus diantarkannya hingga ke daerah Bekasi dan sekitarnya. Beruntung, Giri–begitu ia biasa dipanggil–memiliki majikan yang baik. Sehingga setiap Selasa dan Sabtu, ia bisa pulang lebih awal untuk menjemput adik semata wayangnya dari tempat kursus tari. Karena tak ada orang lain yang bisa diandalkan selain dirinya.

Cucu perempuan Oma Bernie, alias si bontot, alias si bungsu, bernama Winda. Saat ini gadis berusia empat belas tahun itu masih duduk di kelas II di sebuah SMP swasta di bilangan Jakarta Timur. Setiap pagi, Girianto lah yang berkewajiban mengantarkan adiknya itu ke sekolah, sebelum ia memulai aktivitasnya di toko cat kepunyaan Kong Ali itu.

Cucu Oma Bernie memang hanya dua orang, karena beliau hanya dikaruniai seorang anak laki-laki yang saat ini tengah bertugas di Kupang sebagai anggota kesatuan Polisi Brigade Mobil (Brimob), meneruskan cita-cita Sang Ayah. Dan karena Girianto dan Winda tidak mau diajak pindah ke Kupang, akhirnya mereka berdua memilih tinggal bersama Oma Bernie.   

Saat tengah asyik membaca, tiba-tiba dari arah luar rumah Oma Bernie terdengar sebuah panggilan.

“Pos, pos.... Oma Bernie... ada kiriman surat, nih, dari Kupang!”

Itu suara Pak Tobi. Tukang pos yang biasa mengantarkan surat di lingkungan tempat tinggal Oma Bernie, Asrama Brimob bawah. Oma Bernie bisa tinggal di sana karena dahulu suaminya bertugas sebagai Polisi Brimob hingga pensiun dan wafat lima tahun silam. Bahkan sebelum suaminya meninggal, sang anak pun telah mengikuti jejak ayahnya menjadi anggota Polisi Brimob, sehingga Oma Bernie pun masih diizinkan untuk menetap di sana.

“Surat dari anakku, ya, Pak?” jawab Oma Bernie seraya membuka pagar rumahnya dan menerima sepucuk surat beramplop putih dari tangan Pak Tobi.

“Iya, Oma. Itu surat dari Pak Arman untuk Ananda Girianto.” Pak Tobi mencoba menjelaskan nama pengirim dan penerima surat yang telah berada di tangan Oma Bernie.

“Untuk Girianto?” Kening Oma Bernie sedikit berkerut.

“Lho, memangnya kenapa, Oma? Bukankah Mas Giri itu anaknya Pak Arman?”

“Oh, bukan begitu maksud saya. Biasanya Arman itu menulis surat yang ditujukannya buat saya, yaaa... walaupun isi suratnya ada juga yang buat Giri dan Winda. Tapi kali ini... kenapa dia buat surat untuk Giri, ya? Pasti ini ada hal serius yang berkaitan dengan Giri.”

Pak Tobi mengangkat sedikit alisnya dan menggidikkan bahu saat mendengar penjelasan Oma Bernie. “Wah, kalo soal itu saya tidak tahu juga, Oma. Kan tugas saya hanya mengantarkan surat, bukan membacanya,” sahutnya sambil tersenyum. Perlahan, Pak Tobi pun mulai menstater motor bututnya. “Ya, sudah, Oma, saya pamit dulu, ya. Masih ada beberapa surat yang harus saya antarkan lagi di seputaran Asrama Brimob ini.”

“Oh ya, terima kasih banyak, Pak. Selamat bertugas dan hati-hati di jalan.”

Oma Bernie pun melambaikan tangannya ke arah Pak Tobi dan segera dibalas dengan anggukan kepala oleh tukang pos itu. Tak lama kemudian, terdengar suara raungan sepeda motor dua tak yang meninggalkan asap knalpot yang hitam pekat di depan pagar rumah Oma Bernie.

Pasca kepergian Pak Tobi, Oma Bernie kembali memasuki rumahnya. Berkali-kali surat beramplop putih yang ada dalam genggamannya itu ia timang-timang dan bolak-balik.

Kira-kira, apa isi surat ini, ya? Kenapa Arman menujukannya buat Girianto, bukan untukku? Tanya Oma Bernie, penasaran. Ingin sekali ia merobek surat itu, namun hati kecilnya melarang. Ya sudahlah, tunggu Si Giri pulang saja kalo begitu.

Surat beramplop putih itu pun akhirnya beronggok manis di atas meja belajar yang ada di dalam kamar cucu laki-lakinya itu.

 

***

 

Pukul enam sore. Saat seluruh anggota keluarga Oma Bernie berkumpul kembali di dalam rumah.

“Oma.... Ini surat dari Papa, ya?” teriak Girianto saat menemukan sepucuk surat beramplop putih di atas meja di dalam kamarnya. “Kok tumben Papa menulis surat langsung ke Giri? Biasanya kan, selalu atas nama Oma?” Ia tampak tak sabar ingin sekali membaca surat papa yang ditujukan langsung untuknya.

“Iya, itu surat dari Papamu,” Oma Bernie ikut-ikutan berteriak menjawab pertanyaan cucu laki-lakinya itu. “Tapi kau mandi sajalah dulu. Habis itu makan. Baru nanti kita baca bersama-sama surat itu.”

“Surat apa, Oma? Surat dari Papa, ya? Mana suratnya, Oma?” Tiba-tiba Winda–adiknya Girianto - telah berada di samping Oma Bernie. Winda yang baru saja habis mandi itu terlihat bersemangat sekali saat mendengar kata “surat” disebut-sebut Sang Oma. Karena memang surat dari mana lagi yang rutin datang ke alamat rumah ini kalau bukan surat dari orangtuanya, begitu pikir Winda.

"Itu, suratnya ada di kamar Abangmu. Suruh dia keluar, mandi, jangan mendekam terus di kamar. Mending kalo dia bisa bertelur,” ucap Oma Bernie seraya merapikan alat-alat makan di atas meja makan berbentuk persegi, peninggalan Sang Suami. Winda yang mendengar ucapan omanya itu hanya tersenyum kecut. Beliau memang suka ceplas-ceplos seenaknya, tapi hatinya sesungguhnya sangatlah baik.

“Emang Papa cerita apa aja di surat, Oma?” pertanyaan Winda masih saja seputaran surat yang baru saja datang tadi siang. Ia memang sangat penasaran dengan isi surat papanya itu. Sedang apa papa-mamanya saat ini, ya? Tapi jawaban Oma Bernie sedikit membuat Winda kecewa.

“Oma belum baca. Karena surat itu ditujukan Papamu untuk Giri, bukan untuk Oma. Jadi, kalo kamu ingin tahu isinya, ya, tanyakan aja langsung ke Abangmu itu.”

Baru saja Winda hendak memanggil Girianto, sosok tersebut ternyata telah berdiri di dekatnya.

“Hm... kayaknya menu makan malam kita kali ini spesial, ya, Oma? Ada sop buntut, perkedel kentang, tempe goreng dan juga sambel.” Tangan jahil Giri sudah mulai mencoba mengambil sepotong tempe goreng dari atas meja. Tapi malang, sebuah tangan keburu menyentil tangan Girianto. Aow!

“Kebiasaan. Bukannya langsung mandi, malah comat-comot tak karuan,” ujar Oma Bernie sambil melotot ke arah Girianto.

Winda yang melihat kejadian itu hanya mampu tersenyum simpul. Sebenarnya ia ingin sekali tertawa ngakak, tapi tak berani bila itu di depan Oma. Tahu sendiri akibatnya. Akhirnya dengan gerakan bibir, Winda mencoba mengatakan kepada Abangnya, “Syukurin, weks!”

Dan Girianto pura-pura tak melihat reaksi Winda. Sambil meringis, ia pun bergegas berlari menuju kamar mandi.

 

***

 

=== to be continue === 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun