"Ndak usah, Dek. Biar aku naik ojek aja. Kasihan kamu kalo harus kena angin malam." Kemudian Mas Pram mencium kening dan memelukku untuk yang terakhir kalinya.
***
"Dek, maafkan aku! Mulai malam ini sepertinya aku tak lagi bisa menemanimu di rumah. Menemanimu menghabiskan sisa hidup bersama. Aku juga tak bisa lagi menjadi suami dan imam bagi dirimu. Aku... aku harus pergi, Dek."
Tiba-tiba Mas Pram telah berada di hadapanku dan mengatakan kata-kata yang membuatku luka. Ya Allah, ada apa dengan suamiku? Kenapa ia tega berkata seperti itu kepadaku? Apa yang tengah terjadi padanya?
"Memangnya Mas Pram mau ke mana? Aku... aku boleh ikut?" tanyaku dengan terbata-bata. Air mata tak lagi mampu kubendung. Mendadak hatiku menjadi takut. Aku takut kehilangan Mas Pram.
"Maaf, Dek. Belum waktumu. Aku yang harus pergi sekarang. Tolong rawat rumah kita ya, Dek. Karena hanya itu yang bisa kuwariskan padamu," jawab Mas Pram sambil menggelengkan kepalanya. Wajahnya tampak memucat. Ya Tuhan, ada apa ini?
"Tapi, Mas...."
"Maaf, Dek. Aku harus pergi sekarang. Sampaikan maafku pada kedua orang tuamu. Maaf kalo aku tak bisa menjagamu hingga akhir waktumu. Selamat tinggal. Assalamu alaikum...."
***
Hah, hah?! Fuih! Astaghfirullah al adziim. Tersentak aku bangun dari tidur malamku. Kulirik sekitarku. Oh, ternyata aku hanya bermimpi. Tapi mimpi itu.... Mimpi itu tampak nyata sekali. Apakah ini suatu pertanda? Ya Allah, aku takut!
Tok tok tok....