Mohon tunggu...
Alin You
Alin You Mohon Tunggu... Insinyur - Penyuka fiksi, khususnya cerpen dan novel.

PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) • Penulis Amatir • Penyuka Fiksi • Penikmat Kuliner • Red Lover Forever • Pecinta Kucing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Detik Terakhir

12 Januari 2016   15:38 Diperbarui: 13 Januari 2016   09:37 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[/caption] Detik Terakhir

Usap air matamu 
Dekap erat tubuhku 
Tatap aku...
Sepuas hatimu...
 
Nikmati detik demi detik
yang mungkin kita tak bisa rasakan lagi...
Hirup aroma tubuhku 
yang mungkin tak bisa lagi tenangkan gundahmu... Gundahmu...
 
 
Usai menyanyikan lagu milik Lyla Band itu, tiba-tiba saja Mas Pram memelukku erat sekali seakan tak ingin berpisah dariku. Kurasakan debaran jantungnya yang bergerak cepat. Setetes cairan bening mengalir dari pipinya dan jatuh tepat di pundakku. Ya Allah, ada apa dengan Mas Pram?

Mendadak dadaku terasa sesak. Perasaan takut kehilangan suami tercinta menyeruak begitu saja. Kubalas pelukan Mas Pram dan kurebahkan kepalaku ke pundaknya. Ya Allah, semoga ini bukanlah detik-detik terakhir kami untuk selalu bersama.

Jam dinding antik di ruang tamu rupanya menyadarkan kami. Dengan dentingannya yang sebanyak 10 kali itu, membuatku segera melepaskan diri dari pelukan erat Mas Pram.

"Udah jam 10 malam. Mas Pram nggak kerja?" Aku mencoba mengingatkannya. Tapi Mas Pram sepertinya enggan beranjak dari tempatnya berdiri. Kemudian terdengar helaan napas Mas Pram. Fuih!

"Kenapa ya, Dek? Malam ini aku seperti enggan untuk bekerja," keluh Mas Pram sambil matanya menatap ke langit-langit rumah. Tampak kalau ia mencoba untuk tidak menangis di hadapanku.

"Mas Pram kenapa? Apa yang mengganggu pikiranmu? Coba ceritakan padaku!" Kucoba menenangkan hati Mas Pram yang tampak gundah. Lagi, terdengar helaan napasnya.

"Aku nggak tahu, Dek. Aku takut sekali. Aku... aku ingin selalu berada di dekatmu, menemanimu semalaman ini. Entah kenapa hatiku sungguh berat meninggalkanmu. Aku takut tak bisa lagi melihatmu esok hari. Aku... aku..." Kulihat Mas Pram menangis. Segera kupeluk ia.

"Mas, udahlah. Mungkin itu hanya perasaan Mas Pram aja. Aku baik-baik aja kok. Aku seperti biasa akan selalu menanti Mas Pram pulang kerja."

"Kamu benaran, Dek, ndak apa-apa sendirian di rumah?" tanya Mas Pram dengan nada penuh kekhawatiran. Aku hanya melongo mendengarnya. Lha, biasanya juga aku sendirian saja di rumah kalau Mas Pram kebetulan mendapat shif malam. Tapi kenapa sekarang tiba-tiba ia menjadi ketakutan begitu? Ada apa dengan Mas Pram?

"Iya, Mas. Aku baik-baik aja kok di rumah. Aku akan selalu menanti Mas Pram pulang, jadi Mas nggak usah khawatir ya. Oke, sekarang Mas Pram harus kerja. Tuh, lihat. Udah jam 10 lewat 15 menit. Ntar ditinggal jemputan lagi lho! Aku antar ya sampe depan gang Citra?" tawarku yang langsung disambut dengan gelengan kepala Mas Pram.

"Ndak usah, Dek. Biar aku naik ojek aja. Kasihan kamu kalo harus kena angin malam." Kemudian Mas Pram mencium kening dan memelukku untuk yang terakhir kalinya.

***

"Dek, maafkan aku! Mulai malam ini sepertinya aku tak lagi bisa menemanimu di rumah. Menemanimu menghabiskan sisa hidup bersama. Aku juga tak bisa lagi menjadi suami dan imam bagi dirimu. Aku... aku harus pergi, Dek."

Tiba-tiba Mas Pram telah berada di hadapanku dan mengatakan kata-kata yang membuatku luka. Ya Allah, ada apa dengan suamiku? Kenapa ia tega berkata seperti itu kepadaku? Apa yang tengah terjadi padanya?

"Memangnya Mas Pram mau ke mana? Aku... aku boleh ikut?" tanyaku dengan terbata-bata. Air mata tak lagi mampu kubendung. Mendadak hatiku menjadi takut. Aku takut kehilangan Mas Pram.

"Maaf, Dek. Belum waktumu. Aku yang harus pergi sekarang. Tolong rawat rumah kita ya, Dek. Karena hanya itu yang bisa kuwariskan padamu," jawab Mas Pram sambil menggelengkan kepalanya. Wajahnya tampak memucat. Ya Tuhan, ada apa ini?

"Tapi, Mas...."

"Maaf, Dek. Aku harus pergi sekarang. Sampaikan maafku pada kedua orang tuamu. Maaf kalo aku tak bisa menjagamu hingga akhir waktumu. Selamat tinggal. Assalamu alaikum...."

***

Hah, hah?! Fuih! Astaghfirullah al adziim. Tersentak aku bangun dari tidur malamku. Kulirik sekitarku. Oh, ternyata aku hanya bermimpi. Tapi mimpi itu.... Mimpi itu tampak nyata sekali. Apakah ini suatu pertanda? Ya Allah, aku takut!

Tok tok tok....

"Assalamu alaikum. Bu Pram...." Terdengar ketukan dan salam dari luar rumah. Aku tersentak lagi. Kulirik jam yang menempel di dinding kamarku. Masya Allah, siapa pula yang bertamu subuh-subuh begini? Hatiku mendadak cemas. Kugigit bibir bawahku dan kuingat-ingat lagi mimpiku semalam.

Tok tok tok....

"Assalamu alaikum, Bu Pram?" Terdengar ketukan dan salam untuk kedua kalinya. Tak ingin membuat tamuku menunggu lama, segera kuganti daster yang kukenakan dengan gamis hijau yang tergantung di belakang pintu kamar. Kuraih pula jilbab putih panjangku dan kuusap mukaku lewat cermin yang ada di kamar. Dengan setengah berlari, aku keluar kamar dan membuka pintu utama rumah.

"Wa alaikum salam. Eh, Pak RT. Ada apa ya, Pak?" Sungguh terkejut aku mendapati siapa tamuku subuh itu. Pak RT bersama Satpam perumahanku dan dua laki-laki asing yang tak kukenal sama sekali.

"Boleh kami duduk dulu, Bu Pram?" tawar Pak RT kepadaku dan segera kujawab dengan anggukan kepala.

"Mari, Bapak-bapak. Silahkan masuk...." Kupersilahkan tamu-tamuku untuk masuk dan duduk di sofa ruang tamu. "Maaf, ada apa ya Pak, subuh-subuh begini ke rumah saya?" tanyaku dengan wajah penuh kecemasan. Aku takut telah terjadi sesuatu dengan suamiku.

"Hm... begini, Bu Pram," ujar Pak RT mengawali pembicaraannya. Kemudian menoleh ke arah dua laki-laki asing yang tak kukenal sama sekali, "O ya Bu, kenalkan. Ini Pak Suep dan Pak Idrus. Mereka itu Tim SAR yang semalam menyusuri tanggul di dekat perumahan kita ini, Bu Pram," jelas Pak RT kepadaku.

 
"Tim SAR? Memang apa yang telah terjadi di tanggul itu, Pak RT?" tanyaku penasaran. Perasaanku mengatakan pasti ini ada hubungannya dengan suamiku. Dan ternyata dugaanku tak salah.

Pak RT dan orang-orang dari Tim SAR itu saling berpandangan. Terdengar helaan pendek napas mereka. Kemudian Pak RT pun berkata, "Begini, Bu. Semalam itu kami mendapat kabar ada orang yang kecemplung ke dalam tanggul dekat perumahan kita ini. Setelah diselidiki, ternyata itu adalah suami Ibu. Dari keterangan para saksi, saat kejadian, suami Ibu tengah duduk di pinggiran tanggul sambil memainkan kakinya. Katanya sih sedang menunggu ojek. Tiba-tiba sepatunya lepas. Dan saat akan mengambil sepatunya itu, malang, ia terjungkal ke belakang dan hanyut ke dalam tanggul."

Ya Allah, jadi ini maksud dari mimpiku semalam?Tubuhku menjadi limbung. Secara mengejutkan, aku tiba-tiba tak sadarkan diri.

***

Copas, diambil dari notes FB Alin You sendiri.
 
Terinspirasi dari: Suatu kejadian tragis di tanggul dekat rumahku!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun