"Will you marry me?"
Kata kata itu masih saja terngiang di telinga Ning. Kata-kata yang terucap dari bibir Niko saat melamarnya tiga bulan silam. Saat itu Niko sengaja membuat kejutan dengan mendatangi kota tempat Ning bermukim.
"Niko? Benaran ini kamu lagi ada di Garut? Kenapa nggak bilang dulu kalo mau kemari?"
"Ya, kalo bilang dulu itu bukan kejutan lagi namanya."
"Ta... tapi aku..."
"Udah, buruan temui aku di alun-alun kota Garut ya? Nggak pake lama. Oke?"
Ning yang gugup hanya mampu menghela napas panjang.
***
"Menikah? Apa itu tak terlalu cepat?" tanya Ning dengan hati gusar. Ia bukannya tak senang mendengar pernyataan Niko tadi. Tapi kan hubungan mereka baru berjalan tiga bulan. Itupun lebih banyak LDR (Long Distance Relationship), karena Ning tinggal di Garut, sedangkan Niko yang asli Sumatera itu berkarir di kota megapolitan Jakarta.
"Memang lamanya waktu itu bisa menjamin kecocokan di antara kita?" Niko menatap mata sendu Ning, yang membuat Ning menjadi jengah.
"Ulah natap Ning kayak kitu atuh..." Ning memalingkan wajahnya karena malu. Niko pun tertawa dibuatnya.
Ya, itulah yang membuat Niko jatuh hati pada perempuan Sunda ini. Ning yang polos, apa adanya, dan rela mengabdikan diri sebagai guru honorer di sebuah SD negeri di kota Garut.
"Tapi Ning mau kan menikah dengan Aa?"
"Naon? Aa?" Ning menutup mulutnya. Ia geli melihat tingkah Niko yang ingin sekali dipanggil Aa.
"Memang nggak pantes ya aku dipanggil Aa?" Niko pun cemberut. Ning makin menutup mulutnya, tersenyum geli.
"Udahlah. Niko itu lebih pantes dipanggil Abang, karena Ning memang nggak punya abang."
***
Akhirnya Niko pun membawa orang tuanya ke rumah Ning. Abah dan Ambu yang telah mengetahui hubungan Ning dan Niko hanya bisa memberi restu buat kebahagiaan anak bungsunya itu.
"Ning pasti lebih tau yang terbaik bagi masa depan Ning. Abah sareng Ambu mah hanya bisa merestui. Saha weh lalaki yang datang kamari buat ngalamar Ning, asal dia lalaki yang baik, sholatnya henteu pernah bolong, sayang ama Ning dan Ning pun sayang dia, sok weh atuh. Umur Ning pun udah pantes atuh untuk berumah tangga. Bukan begitu, Ambu?"
Ambu hanya terisak di samping Abah, karena sebentar lagi mereka harus rela melepaskan anak bungsu mereka yang selama ini begitu setia menemani.
"Tapi nanti abis nikah, Niko boleh ya, Bah, Mbu, bawa Ning untuk tinggal di Jakarta." Niko bersimpuh meminta izin kepada Abah dan Ambu.
Terdengar hembusan napas Abah. Sepertinya beliau masih berat melepas Ning untuk ikut Niko tinggal di Jakarta. Ning hanya bisa menundukkan kepala dan menunggu eksekusi dari Abah.
"Hm... baiklah.Tapi Abah mohon, tolong jaga Ning baik-baik ya. Ning itu nggak punya sodara di Jakarta. Jadi cuma kamu yang bisa diandalkan Ning di sana."
Niko pun mengangguk mantap sambil tak lupa mencium takjim tangan Abah dan Ambu.
***
Sebulan berlalu sejak pesta pernikahan dilangsungkan dengan sangat meriah. Walaupun Ning awalnya tak setuju dengan pesta resepsi yang mewah dan meriah ini, tapi Niko memiliki alasan tersendiri.
"Aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup. Jadi, izinkanlah aku membagi kebahagiaan ini untuk semua keluarga dan orang-orang yang aku sayangi. Belum tentu pula aku masih bisa membahagiakan mereka kan?"
Dan Ning sama sekali tak mencium firasat saat itu. Baru kini, semua kenangannya bersama Niko menari-nari indah di pelupuk matanya.
"Ya Allah, jika inilah yang akan terjadi, kenapa Kau izinkan pula kami untuk menikah? Jika memang ini takdir-Mu, kenapa tak Kau beri Ning waktu yang lebih lama lagi bersama Niko. Kenapa hanya sebulan waktu yang Kau kasihkan buat kami mengecap kebahagiaan. Rasanya ini terlalu cepat, ya Allah. Dan Ning belum bisa terima ini."
Ning hanya bisa menangisi jasat Niko yang terbujur kaku di atas tikar pandan yang sebentar lagi akan mulai dikafani dan disholatkan.
"Kamu jahat, Niko. Kenapa kamu tak pernah memberitahu Ning tentang penyakit yang kauderita. Ya, tiga bulan memang bukan waktu yang panjang untuk kita saling mengenal. Tapi, jika dari awal kamu memiliki niat menjadikan Ning pendamping hidup, harusnya kamu bersedia membagi suka-dukamu kepada Ning kan?"
Sebuah sentuhan lembut di pundak Ning, menyadarkannya dari lamunan.
"Ayo, Ning. Kita minggir sebentar. Pak Ustadz hendak mengafani Niko dulu." Ibu mertua Ning membimbing Ning beranjak sejenak. Tapi Ning keukeh tetap berada di sana dan menyaksikan sendiri bagaimana Niko, sang suami, dikafani Pak Ustadz untuk kemudian dibawa ke mesjid terdekat untuk disholatkan.
***
PS:
Teruntuk sahabatku. Yakinlah, di setiap peristiwa itu ada hikmah yang tersimpan indah untuk kita yang mau lebih ikhlas menerima takdir-Nya.Â
- Alin You -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H