Ya, itulah yang membuat Niko jatuh hati pada perempuan Sunda ini. Ning yang polos, apa adanya, dan rela mengabdikan diri sebagai guru honorer di sebuah SD negeri di kota Garut.
"Tapi Ning mau kan menikah dengan Aa?"
"Naon? Aa?" Ning menutup mulutnya. Ia geli melihat tingkah Niko yang ingin sekali dipanggil Aa.
"Memang nggak pantes ya aku dipanggil Aa?" Niko pun cemberut. Ning makin menutup mulutnya, tersenyum geli.
"Udahlah. Niko itu lebih pantes dipanggil Abang, karena Ning memang nggak punya abang."
***
Akhirnya Niko pun membawa orang tuanya ke rumah Ning. Abah dan Ambu yang telah mengetahui hubungan Ning dan Niko hanya bisa memberi restu buat kebahagiaan anak bungsunya itu.
"Ning pasti lebih tau yang terbaik bagi masa depan Ning. Abah sareng Ambu mah hanya bisa merestui. Saha weh lalaki yang datang kamari buat ngalamar Ning, asal dia lalaki yang baik, sholatnya henteu pernah bolong, sayang ama Ning dan Ning pun sayang dia, sok weh atuh. Umur Ning pun udah pantes atuh untuk berumah tangga. Bukan begitu, Ambu?"
Ambu hanya terisak di samping Abah, karena sebentar lagi mereka harus rela melepaskan anak bungsu mereka yang selama ini begitu setia menemani.
"Tapi nanti abis nikah, Niko boleh ya, Bah, Mbu, bawa Ning untuk tinggal di Jakarta." Niko bersimpuh meminta izin kepada Abah dan Ambu.
Terdengar hembusan napas Abah. Sepertinya beliau masih berat melepas Ning untuk ikut Niko tinggal di Jakarta. Ning hanya bisa menundukkan kepala dan menunggu eksekusi dari Abah.