Mohon tunggu...
Ali Manshur
Ali Manshur Mohon Tunggu... Mahasiswa - Independen

Hanya menyalurkan rasa gabut dengan menyajikan konten yang berbau masa lalu yang dimana membuat anda akan gamon (gagal move on). Jika ada kritik atau saran silahkan dan sangat dianjurkan. Mari belajar bersama bermanfaat kepada orang lain, walau hanya dengan kata. Matur thank you

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Peran Wali Songo dalam Penyebaran Islam di Tanah Jawa

23 Desember 2022   08:30 Diperbarui: 23 Desember 2022   08:30 4225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://smamuh5yk.sch.id/

Dalam penyebaran Islam di tanah Jawa, tak luput dari peran para ulama’ yang disebut  Wali Songo. Kata Wali sendiri sebernarnya kependekan dari Waliyullah (Bahasa Arab) yang mempunyai arti orang yang mencintai dan di cintai Allah. Sedangkan Songo dari bahasa Jawa yang berarti Sembilan. Berarti Wali Songo artinya Wali yang berjumlah Sembilan. Wali Songo hidup pada zaman kerajaan Demak (abad 15) yang menjadi pejuang penyebaran islam di tanah Jawa. Mereka tersebar di pesisir utara pulau jawa di wilayah Surabaya, Gresik, Lamongan yang di Jawa Timur, Demak, Kudus, Muria di Jawa Tengah dan Cirebon di Jawa Barat. Mereka berdakwah melalui pendekatan-pendekatan pada masyarakat dan akulturasi budaya dengan mencampur budaya islam dan budaya local. Dakwah yang dibawa Wali Songo berisi ajaran akidah, syariat dan muamalah. 

 Kita sudah tahu bahwa keberadaan Wali Songo sangat di percayai oleh semua kalangan masyarakat Jawa. Seperti namanya Wali Songo berjumlah Sembilan orang, dan mereka tidak hidup dalam bersamaan namu mereka saling terkait erat, entah itu hubungan sedarah atau guru dan murid. Berikut riwayat singkat para Wali Songo:

Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)

Syeh Maulana Malik Ibrahim adalah sesepuh para Wali Songo. Ia memiliki nama lain seperti Makdum Ibrahim As-Samarqandy kalau dalam pengucapan lidah Jawa Asamarkandi. Ada lagi dalam cerita rakyat setempat mereka menyebutnya Syeikh Maghribi. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama’ terkenal di Samudra Pasai. Mereka berdua adalah anak dari ulama’ Persia bernama Jumadil Kubro yang bermkim di Samarkand. Sebelum berdakwah di tanah Jawa, Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Champa (Vietnam selatan) selama tiga belas tahun sejak tahun 1379 dan menikah dengan putrid raja lalu di karuniai dua putra yang bernama Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan Raden Ali Murtadha yang terkenal dengan nama Raden Santri. Pada Tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim pergi ke Jawa untuk berdakwah menyebarkan agama islam dan meninggalkan keluarganya. Daerah yang menjadi rujukan pertama adalah Sembalo (Desa Leran, Kec. Manyar, Kab. Gresik), yang saat itu masih dalam kekuasaan Majapahit. Aktivitas yang ia lakukan saat itu berdagang, dengan mendirikan warung yang menyediakan kebutuhan pokok dengan harga miring. 

Mungkin ini adalah strategi beliau dalam menyebarkan syariat islam. Kemudian Maulana Malik Ibrahim mengunjungi Majapahit dan mengajak raja untuk memeluk agama islam. Namun raja menolak, walapun begitu raja sangat menghormati Maulana Malik Ibrahim dan memberikan tanah di pinggiran kota Gresik, yang sekarang bernama Desa Gapura. Di Desa itu pula Ia mendirikan Pesantren untuk mendidik masyarakat sekitar. Maulana Malik Ibrahim wafat pada hari Senin, 12 Rabiul Awal 822 H/1419 M dan dimakamkan di Gapurowtan (Gapurosukolilo), Gresik, Jawa Timur.

Raden Rahmat (Sunan Ampel)

Raden Rahmat atau biasa kita kenal dengan Sunan Ampel merupakan pengganti ayahnya Syeikh Maghribi sebagai sesepuh Wali Songo, ia lahir pada tahun 1401 di Champa. Sunan Ampel sangat berpengaruh dalam penyebaran islam di Jawa maupun Nusantara. Setelah ia menikahi seorang putri dari kalangan Majapahit yang bernama Nyai Ageng Manila, seorang putri dari Adipati Tuban bernama Arya Teja, penyebaran islam mengalami kemudahan bahkan di dukung dan berkembang pesat. Sunan Ampel di karuniai anak putra dan putrid antara lain, Nyai Ageng Maloka, Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat), dan Syarifah (Istri Sunan Kudus). Sunan Ampel juga mendirikan pesantren di Ampel Denta yang sekarang bagian dari wilayah Surabaya, dari pesantren itu lah pusat penyebaran islam pertama di Jawa. 

Di pesantren tersebut Sunan Ampel mendidik kader-kader penerus dakwah islam, yang kemudian disebarkan di berbagai wilayah pulau Jawa, seperti Raden Paku (Sunan Giri), Raden Fatah (putra Prabu Brawijaya V) sekaligus sultan pertama kerajaan Demak, serta kedua putranya Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) dan Raden Kosem Syarifuddin (Sunan Drajat). Sunan Ampel juga pertama kali yang menciptakan Huruf Pegon, tulisan Arab yang berbahasa Jawa. Dari huruf pegon tersebut lah Sunan Ampel mampu menyampaikan ajaran agama islam kepada para muridnya. 

Ada yang sangat menarik dari penyebutan salah satu didikan Sunan Ampel dan terkenal, itu adalah falsafah Mo Limo. Itu adalah lima hal tercela dan terlarang, isi Mo Limo antara lain: 

Moh Main (Tidak mau berjudi)

Moh Ngombe (Tidak minum minuman yang memabukkan)

Moh Maling (Tidak mencuri)

Moh Madat (Tidak menghisap candu, ganja, dll)

Moh Madon (Tidak berzina)

Kelima falsafah itu di pegang erat-erat oleh Sunan Ampel begitu pun para pengikutnya. Beliau juga mendirikan Masjid Ampel pada tahun 1421 di kelurahan Ampel, kecamatan Pabean Cantikan, Surabaya utara. Masjid tersebut memiliki arsitektur Jawa kuno dengan atap tumpang tiga dan tidak memiliki kubah. Sunan Ampel wafat pada tahun 1481 di Demak dan di makamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.

Raden Paku (Sunan Giri)

Sunan Bonang atau Maulana Makdum Ibrahim sekaligus pendiri kerajaan Giri Kedaton yang berkedudukan di Desa Giri, Kebomas, Kabupaten Gresik lahir pada tahun 1442 di Blambangan (Nama lain dari Banyuwangi). Sunan Giri memiliki beberapa nama pangilan seperti Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden ‘Ainul Yakin dan Joko Samudro. Sunan Giri merupakan keturunan Rasulallah SAW dari Husain bin Ali, ayahnya bernama Maulana Ishaq yang berasalh dari Pasai dan ibunya bernama Dewi Sekardadu putrid dari penguasa Blambangan Prabu Menak Sembuyu. Saat Sunan Giri lahir masyarakat Blambangan mengaggap sebagai pembawa mala petaka berupa wabah penyakit di wilayah kerajaan Blambangan. Kemudian ayahnya, Prabu Menak Sembuyu membuat sebuah peti yang terbuat dari besi untuk wadah bayi yang tidak lain adalah Sunan Giri, lalu memerintahkan pengawal untuk membuang ke laut/selat Bali. Dewi Serdadu mendengar berita pembuangan bayi yang baru dilahirkannya, ia berlari menuju pantai dan mencari-cari dimana buah hatinya, ia tak lagi memikirkan kesehatannya sendiri, pun Dewi Serdadu meninggal dalam pencariannya.

Peti besi yang berisi bayi tersebut terombang-ambing oleh ombak lautan sehingga membawanya sampai ke lau utara. Peti itu bercahaya laksana binar mentari, cahaya itu membuat para pelaut yang hendak berdagang ke Bali bertanya-tanya, lalu diambil lah peti itu. Para pelaut terkejud setelah membuka isi dari peti tersebut, ternyata seorang bayi laki-laki yang menawan dan bercahaya. Kemudian para pelaut memutar haluan dan kembali ke Gresik untuk memberikan temuannya kepada Nyai Gede Panatih. Karena bayi itu sangat menawan, Nyai Gede Penatih pun mengangkatnya sebagai anak dan di beri nama dengan Joko Samudro. 

Sunan Giri juga mendirikan pesantren di daerah perbukitan Desa Sido Mukti, Kebomas. Pesantren ini menjadi salah satu pusat penyebaran islam di Jawa dan sangat terkenal. Lambat laun pesantren ini menjadi pusat kekuasaan Kesultanan yang di sebut dengan Giri Kedaton pada tahun 1487-1506. Dalam bidang keagamaan Sunan Giri di kenal dengan ahli fikih, sehingga masyarakat menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Sunan Giri juga mempunyai karya seni tradisional seperti Jelungan, Cublak Suweng, Lir-ilir dan beberapa gending Jawa Asmaradana dan Pucung, yang semuanya berisi ajarang agama islam. Sunan Giri wafat pada tahun 1506 M dalam usia 63 tahun dan dimakamkan di atas bukit yag sekarang menjadi area komplek makam Giri.

Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang)

Raden Makdum Ibrahim atau biasa di kenal dengan dengan Sunan Bonang adalah anak keempat Sunan Ampel dari hasil pernikahannya dengan Nyai Gede Manila yang lahir di Bonang, Tuban pada tahun 1465 M. Sunan Bonang terkenal dengan penguasaannya dalam ilmu fikih, ushuluddin, tasawuf, seni, sastra dan beberapa kesaktian serta kedigdayaan. Sunan Bonang belajar agama sejak kecil kepada ayahnya sendiri, selain itu Sunan Bonang bersama Raden Paku pernah menimba ilmu di Pasai kepada Maulana Ishak (Syekh Awalul Islam) yang tidak lain merupakan ayah Raden Paku. Seteah merasa cukup Sunan Bonang kembali ke Jawa dan mendirikan pesantren di Lasem atas arahan ayahnya. Dalam berdakwah Sunan Bonang menggunakan metode alat kesenian serta tembang-tembang yang berisi ajaran agama islam. Selain itu Sunan Bonang juga memodifikasi wayang dan gamelan agar sesuai dengan ajaran islam. Sunan Bonang wafat pada tahun 1525, yang membuat kontroversi adalah terdapat empat makam yang di anggap makam Sunan Bonang. Yang paling terkenal adalah di Tuban dekat Masjid Agung Tuban, yang lain seperti di Tambak Keramat, Bawean, lalu di Singal, Kediri yang berada di tepi sungai Brantas, dan di sebuah bukit  di Rembang serta Lasem.

Raden Sahid (Sunan Kalijaga)

Raden Sahid atau biasa dikenal dengan Sunan Kalijaga merupakan putra dari Tumenggung Wilaktika, Bupati Tuban dengan Dewi Nawangarum. Sunan Kalijaga terkenal dengan caranya berdakwah dengan melalui seni dan budaya. Ia sangat piawai dalam mendalang, selain itu ia juga yang menciptakan bentuk-bentuk wayang beserta lakon-lakon yang dimaski ajaran agama islam. Melalui media wayang itu lah Sunan Kalijaga mampu menyampaikan ajaran tasawuf kepada masyarakat. Nama Raden Sahid adalah nama kecilnya, yang dulu merupakan perampok dan pembunuh sampai-sampai Sunan Kalijaga diusir oleh keluarganya sendiri. Kemudian Raden Sahid bertemu dengan Sunan Bonang dan takjub melihat kesktian dan keilmuannya. Pun Raden Sahid berguru kepada Sunan Bonang, dengan syarat Raden Sahid harus bertaubat. Akhirnya Raden Sahid yang dulu seorang penjahat sekarang menjadi wali yang di pandang keramat oleh masyarakat. Sunan Kalijaga lalu menikah dengan Dewi Saroh yang kemudian di karuniai 3 anak yakni Raden Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh, dan Dewi Sofiah. Sunan Kalijaga berbeda dengan wali songo lain. Ia berani memadukan ajaran agama islam dengan seni dan budaya yang telah mengakar pada masyarakat Jawa. 

Raden Umar Said (Sunan Muria)

Raden Umar Said atau Sunan Muria adalah anak dari Sunan Kalijaga yang menjadi salah satu uama’ penyebar agama islam. Ia merupakan Sunan paling muda di banding sunan lain. Tidak jauh dari ayahnya, Sunan Muria mengikuti jalan dakwah dengan menggunakan seni budaya. Raden Umar Said juga pandai dalam mendalang seperti halnya Sunan Kalijaga. Dengan lakon-lakon yang diciptakan ayahnya ia mampunyampaikan ajaran islam, tidak hanya itu, Sunan Muria juga menciptakan jenis-jenis sinom dan kinanthi yang berisi ajaran tauhid serta nasehat-nasehat.

Raden Qosim (Sunan Drajat)

Raden Qosim merupakan anak dari Sunan Ampel dan Nyai Gede Manila. Sejak muda Sunan Drajat telah diutus oleh ayahnya untuk menyebarkan agama islam di daerah pesisir Gresik. Sunan Drajat memiliki nama selain Raden Qosim seperti Sunan Mahmud, Sunan Mayang Muda, Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syeikh Masakeh, Pangeran Syarifudin, angeran Kadrajat, dan Masaikh Munar. Sunan Drajat terkenal sebagai penyebar agama islam yang sangat berjiwa social dan memerhatikan nasib para kaum faikir miskin. Ia lebih mengutamakan kesejahteraan social masyarakat serta memperhatikan kondisi masyarakat sekitar. Setelah memberikan perhatian penuh dengan situasi masyarakat baru lah Sunan Drajat member pemahaman islam secara lembut. Ajaran Sunan Drajat mengutamakan empati dan etos kerja berupa kedermawanan, menyejahterakan, memakmurkan dan solidaritas serta gotog royong. Raden Qosim menikah dengan putri Sunan Gunung jati yang bernama Dewi Sufiyah yang di karuniai tiga anak yakni Pangeran Trenggana, Pangern Sandi dan Dewi Wuryan.

Ja’far Shadiq (Sunan Kudus)

Penyebaran islam di Kudus dan sekitarnya tak luput dari peran Ja’far Shadiq atau biasa di kenal dengan Sunan Kudus. Sunan Kudus merupakan putra dari R. Ustman Haji (Sunan Ngudung) yang berasal dari Jipang Panolan. Dalam berdakwah Sunan Kudus tidak jauh berbeda dengan Wali yang lain, seperti pendekatan masyarakat melalui social dan budaya. Selain itu, ia juga menggunakan media wayang seperti halnya Sunan Kalijaga. Sunan Kudus juga menciptakan sebuah tembang yang cukup kondang di masyarakat seperti Maskumambang dan Mijil. Dari social, ia sangat toleransi kepada non-muslim, sampai-sampai Sunan Kudus tidak mau menyembelih sapi untuk menghormati umat Hindu. Di masyarakat Sunan Kudus di kenal sebagai ahli fikih, tauhid, hadist, tafsir, usul sastra, dan mantiq. Sunan Kudus juga merupakan pemimpin penyerangan ke ibu kota Majapahit dan berhasil mengalahkan sisa-sisa pasukan.

Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)

Sunan Gunung Jati berasal dari Persia dan Arab. Ia memiliki banyak nama seperti Muhammad Nuruddin, Syekh Nurullah, Sayyid Kamil, Bulkiyah, Syekh Madzkurullah, dan Makdum Jati. Ayahnya yang bernama Syarif Abdullah adalah seorang mubaligh dan musafir besar dari Gujarat, India yang sangat terkenal bagi kaum sufi. Masa kecil Sunan Gunung Jati tinggal di Makkah dan di sana lah ia memperdalam ilmu agama islam. Merasa cukup lalu ia datang ke Nusantara pada masa kejayaan Kesultanan Demak yang dipimpin oleh Raden Trenggono. Saat datang ke Jawa ia disambut baik oleh Raden Trenggono, dan ia pun berdakwah di Jawa bagian barat tepatnya di Cirebon. Dalam penyebaran islam di Cirebon masyarakat tidak langsung menerima, karena Cirebon adalah bekas kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran yang bercorak Hindu-Budha. Cirebon sangat memegang erat kepercayaan-kepercayaan lama yang bercampur dengan agama yang pernah masuk. Dengan kepiawaian Sunan Gunung Jati dalam menyebarkan agama islam dengan strategi pendekatan agama, politik, ekonomi dan kultur, masyarakat Cirebon mampu menerima. Dalam ajarannya Sunan Gunung Jati terdapat pepatah peribahasa yang di dalamnya mengandung pandangan hidup, anjuran, pesan, teguran, nasihat, kritik dan lain sebagainya, pepatah itu mengajarkan ketakwaan, akhlak, kedisiplinan, dll. Sunan Gunung Jati wafat pada tahun 1570 M dan dimakamkan di desa Astana, sebelah barat kota Cirebon.

Kesimpulan

Setiap strategi dan cara dakwah para Wali Songo hampir sama, mungkin hanya penyampaiannya yang sedikit berbeda. Para Wali Songo tidak hidup secara bersama namun mereka saling berkaitan erat, entah dari sedarah atau pun guru dan murid. Mungkin karena dakwah wali songo budaya dan tradisi terdahulu masih ada hingga sekarang, walaupun budaya dan tradisi tersebut kental dengan Hindu-Budha tetapi tetap ada unsur islamnya. Tidak sedikit para wali songo yang menciptakan tembang-tembang yang berisi ajaran agam islam yang hingga saat ini masih popular, dan bahkan di jadikan lagu pop. Selain tembang, banyak kita temui peninggalan wali songo di makam-makam mereka. Hikmah yang bisa di ambil sangat lah banyak, tetapi saya sangat suka dengan ketoleransinya para wali songo kepada non-muslim. Bahkan Sunan Kudus tidak menyembelih sapi agar menghormati umat Hindu-Budha. Hikmah yang bisa di ambil lainnya yakni wali songo sangat memelihara budaya dan tradisi penduduk setempat, bahkan memperbaiki dengan menyelipkan ajaran islam di dalamnya.

Daftar Pustaka

Achmad Syafrizal. 2015. Sejarah  Islam Nusantara. Jurnal Islamuna Volume 2 Nomor 2.

Ahmad Wafi Muzakki. Humanisme Religious Sunan Drajat sebagai Nilai Sejarah dan Kearifan Lokal. Pascasarjana Teknologi Pendidikan FKIP Universitas Sebelas Maret. Artikel

Aminullah. 2015. Peranan Sunan Gunung  Jati dalam Islamisasi di Kesultanan  Cirebon. Fakultas Adab dan  Humaniora Universitas  Islam Negeri  Alaudin Makassar. Skripsi

Prof. DR. H. Budi Sulistino. 2014. Wali Songo dalam Pentas Sejarah Nusantara. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Artikel

Yuliana Nurhayu Rachmawati.2018. Sunan Kudus: Dinamika Ajaran, Tradisi dan Budaya di Kudus Jawa Tengah Tahun 1990-2015. Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri  Syarif Hidayatullah Jakarta. Skr

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun