Mohon tunggu...
Ali Manshur
Ali Manshur Mohon Tunggu... Mahasiswa - Independen

Hanya menyalurkan rasa gabut dengan menyajikan konten yang berbau masa lalu yang dimana membuat anda akan gamon (gagal move on). Jika ada kritik atau saran silahkan dan sangat dianjurkan. Mari belajar bersama bermanfaat kepada orang lain, walau hanya dengan kata. Matur thank you

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lima Arca Dhyani Buddha di Museum Daerah Tulungagung

18 Desember 2022   09:54 Diperbarui: 18 Desember 2022   10:09 982
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Gambar hasil foto sendiri di museum daerah Tulungagung pada tanggal 1 Desember 2022

Pendahuluan

Museum daerah Tulungagung terletak di Jl. Raya Boyolangu No. Km 4, Gedangansewu Selatan, Gedangsewu, Kec. Boyolangu, Kab. Tulungagung. Museum daerah Tulungagung memiliki banyak koleksi, sekitar 269 buah yang terdiri dari benda arkeologi dan etnografi. Koleksi arkeologi yang dimiliki antara lain arca, yoni, lapik, batu relief, prasasti, dan kemuncak. Sedangkan untuk koleksi etnografi seperti aneka peralatan pertanian, permainan masa silam, dan perkakas rumah masa silam.  

Arca dhyani buddha sekilas mengingatkan saya dengan sistem tataghata dalam mahayana Buddhis. Maka dari itu saya tertarik untuk mengangkat 5 arca dhyani buddha pada tulisan ini. Selain itu, arca dhyani buddha yang ada di museum Tulungagung ditemukan di candi Sanggrahan yang dimana candi ini merupakan peninggalana kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Maharaja Sri Rajasanagara atau yang dikenal dengan Hayam Wuruk.

Isi

Sekilas Tentang Arca Dhyani Buddha

Arca dhyani buddha ditemukan bersamaan dengan ditemukannya candi Sanggrahan pada tahun 1908 dari laporan J. Knebel mengenai dijumpainya 5 arca dhyani buddha di sekitar candi Sanggrahan. 

Kemudian pada tahun 1915 Oudheikundige Dienst (Dinas Purbakala Masa Kolonial Belanda) melakukan penelitian mengenai candi Sanggrahan. Candi Sanggrahan sudah beberapa kali dilakukan pemugaran yang diawali pada masa kolonial Belanda dan kemudian dilakukan oleh BPCB Jatim pada tahun 2019 yang disertai dengan kegiatan penataan.

Tadi sudah disinggung diatas bahwa di candi Sanggrahan terdapat 5 arca dhyani buddha yang dimana menurut sistem pantheon Mahayana Buddhis di istilahi dengan 'Tatagatha'. Lima arca itulah yang menempati ruang pertama museum daerah tulungagung yang bersamaan dengan arca Dhyani Buddha Aksobhya dari situs Gondang Lor yang kini bernama desa Sukodono. Alasan arca dhyani buddha direlokasikan dari candi Sanggrahan ke museum karena demi keamanan arca, mengingat bahwa pada tahun 1999 hingga awal 2000-an marak terjadinya pencurian tinggalan arkeologis di Jawa Timur, tak terkecuali di Tulungagung. 

Tidak hanya segi keamanan, dalam segi pemeliharaan juga menjadi alasan mengapa arca dhyani buddha di relokasikan. Karena arca yang telah direlokasikan ke museum lebih baik dari pada di situsnya, terlebih lagi bila diruang terbuka yang terkena terik matahari dan hujan. 

Numun kekurangannya arca yang sudah direlokasikan di museum menjadi lepas konteks. Hanya dengan memberikan keterangan singkat yang umum tentang; identifikasi arca, asal, abad, dan deskripsi singkat, belum cukup belum memberi gambaran utuh tentang konteksnya seperti lingkungan fisis-alamiah disekitarnya, pada bagian mana letak arca itu ditempatkan, gambaran prosesi keagamannya, fungsi khusus mengenai ritus keagamaannya, dsb.

Penjelasan Singkat Mengenai Tathagata Dalam Mahayana Buddhis

Istilah tatagatha berasal dari aksara Devanagari: ta-tha-ga-ta; pali dan sansakerta: Tathagata -- adalah istilah yang oleh Siddhartha Gautama dupakai untuk menyebut dirinya sendiri ketika masih hidup sebagai Manusia Buddha. Secara harfiah kata tersebut memiliki arti: Ia yang demikian pergi (Tathagata, demikian = tatha, pergi = pergi). 

Namun ada juga yang mengartikan: Ia yang demikian datang (Tatha-agata: demikian = tatha, datang = agata). Tathagata merupakan salah satu gelar yang sering digaungkan oleh Buddha (Siddhartha Gautama) ketia merujuk pada dirinya sendiri. 

Siddhartha Gautama merupakan salah satu dari banyaknya yang dimasa lalu dan masa depan akan mengalami pencerahan dan mengajari orang lain bagaimana cara mencapainya. 

Dari cara pandang tersebut, terdapat beberapa Buddha baik yang kini, yang lalu, maupun yang akan datang. Konsep trikala yakni tiga bagian waktu: masa kini, lalu, dan masa yang akan datang turut meramaikan sistem Tathagata. Tidak hanya waktu (kala), adapun aspek area yang berupa penjuru mata angin yang ditambah satu di sentrum/pusat yang menghasilkan 4+1. 

Tathagata merupakan sistem pantheon dalam Mahayana Buddhis yang mana adalah konsepsi atau cara berfikir yang dikenal dengan konsep 'Bodhisattva', untuk saling berbagi, saling tolong menolong, saling mengasah, saling mengasuh, saling mengasih. 

Dalam Sansakerta "Mahayana" secara harfiah baerarti jendral besar, yang disebutkan untuk satu diantara dua aliran utama dalam agama Buddha dan merupakan istilah pembagian filosofi dan ajaran Sang Buddha. 

Terdapat tiga pengertian utama Mahayana, yakni: 1. Kumpulan besar dari dua tradisi agama Buddha yang terdapat saat ini, 2. Tingkat spiritual yang dikenal dengan Bodhisattvayana, Hinayana atau Shravakayana, 3. Satu diangata tiga jalan menuju pencerahan,dua diantaranya Hinayana dan Vajrayana. 

Ada tiga Kebudhaan pada Mahayana Buddhis, yakni: 1. Dhyani Buddha, 2. Dhyani Boddhisattwa, dan 3. Manusi Buddha. Dari filosofi Mahayana maka arca Buddha yang dipuja terdiri dari banyak Buddha, terdapatnya banyak Buddha tersebut dijabarkan dari ajaran lima skandha yakni lima penyusun unsur kehidupan, antara lain: 1. Rupa (tubuh, bentuk, materi, gambaran kesan), 2. Wedana (perasaan, sensasi yang diterima dari rupa), 3. Samjna (pengamatan, persepsi), 4. Samskara (aktifitas mental, kehendak), 5. Winana (kesadaran). Lima unsur ajaran tersebut juga dijumpai dalam diri Sang Buddha yang dimana setiap unsur mewakili satu tokoh Buddha yang disebut dengan 'Tathagata'.

Lima sistem Tathagata terbut antara lain: 1. Wairocana yang berarti bersinar atau yang menyinari, 2. Aksobhya yang berarti tenang atau tidak terganggu, 3. Ratnasambhawa yang berarti yang dilahirkan dari permata, 4. Amitabha yang berarti terang dan kekal, 5. Amoghasiddha yang berarti keuntungan yang tidak binasa. 

Kelima tathagata ini dalam perkembangannya dihubungkan dengan 4 penjuru mata angin dan tengan sebagai titik sentrumnya hingga membentuk dengan rincian sebagai berikut: 1. Amoghasiddha berkuasa di utara, 2. Aksobhya berkuasa ditimur, 3. Ratnasambhawa berkuasa di selatan, 4. Amitabha berkuasa di barat, 5. Wairocana berkuasa di tengah (sentrum)

Di setiap sikap perenungannya, Dhyani Buddha melahirkan Dhyani Bodhisatwa yang jika diperincikan seperti: Wairocana melahirkan Samantabhadra, Aksobhya melahirkan Wajrapani, Amoghasiddha melahirkan Wiswapani, Ratnasambhawa melahirkan Ratpani, dan Amitabha melahirkan Awalokiteswara. 

Dhyani Bodhisatwara adalah pencipta alam bendawi, adapun alam bendawi saat ini merupakan hasil ciptaan Awalokiteswara yang dimana diutus oleh Dhyani Buddha Amitabha. 

Dalam upaya menyampaikan ajaran Darma kepada manusia, Dhyani Bodhisatwa memberi pancaran energi terhadap Manusia Buddha sebagai Guru yang diutus oleh Dhyani Bodhisatwa. Pancaran energi tersebut antara lain: Krakuccanda, Kanakamuni, Kasyapa, Sakyamuni, dan Maitreya.

Ciri Ikonografi Dhyani Buddha 

Arca Dhyani Buddha memiliki ciri ikonografi umum yang dimana setiap arca mempunyai mudra (sikap tangan) yang berbeda. Namun memiliki gambaran pengarcaan yang sama yakni memberi kesan yang bersahaja yang teralisasikan dalam wujud busana dan aksesoris. Umumnya pada pundak dan tangan kanan dibalut dengan kesaya (jubah tanpa yang tidak menutupi seluruh tubuh) dan pundak hingga dada serta tangan kiri terbuka tanpa ditutupi jubah. Selain itu gambaran bersahaja juga tampak pad kepalanya yang tanpa mahkota. 

Kemudian pada telinganya digambarkan melebar dan memanjang yang melambangkan Maha mendengar. Pada kelopak matanya setengah terpejam yang pandangannya fokus terhadap hidung. Birbirnya sedikit memberikan senyuman. Terdpat tonjolan bulat kecil diantara kedua keningnya yang biasanya disebut dengan urna. 

Dilehernya terdapat tiga garis bersejajar yang secara simbolik bermakna kesabaran. Pada bagian kakinya bersila dengan kedua telapak kaki menghadap keatas dan masing-masing menumpang paha yang berlawanan. 

Cara duduk seperti ini dilakukan ketika sedang semedi yang diistilahi dengan wajraprayanka atau vjrasana. Arca dhyani buddha digambarkan duduk disinggasana yang berbentuk seperti bunga teratai merah mekar yang disebutdengan padmasana. Tidak hanya itu, arca dhyani buddha memiliki ciri khusus yang terletak di mudra-nya. Mudra adalah gestur atau sikap yang bersifat simbolik atau ritual di Hinduisme dan Buddha. 

Kesimpulan

Arca dhyani buddha merupakan salah satu peninggalan dari kerajaan majapahit yang ditemukan di candi Sanggrahan pada tahun 1908 dari laporan Knebel mengenai ditemukannya 5 arca dhyani buddha. 

Kemudia 5 arca tersebut di relokasikan ke museum daerah Tulungagung dengan alasan keamanan dan perawatan, karena pada tahun 1999-2000an marak terjadinya perusakan peninggalan bersejarah di Jawa Timur, tak terkecuali Tulungagung. 

Lima arca dhyani buddha tersebut memiliki sistem yang dikenal dalam Mahayana Buddhis sebagai Tathagata, yang dimana ini adalah suatu konsep berfikir ala Bodisattva. 

Arca dhyani buddha terletak di 4 penjuru mata angin dan satu sentrum sebagai pusatnya. Lima arca tersebut memiliki nama dan letak tersendiri, yakni: Amoghasiddha di utara, Aksobhya di timur, Ratnasambhawa di selatan, Amitabha di barat, dan Wairocana di tengah (titik sentrum).

Referensi

Mengutip dari tulisan Drs. M. Dwi Cahyono, M. Hum, Sistem 'TATHAGATA' Lima Ikonografi Dhyani Buddha Asal Candi Sanggrahan Dalam Jejak Sejarah Mahayana Buddhis Di Tulungagung, pada seminar di Museum Daerah Tulungagung pada tanggal 26 Juli 2022

188.45/217/37.73.112/2021, N. S. ( 05 JULI 2021). PENETAPAN ARCA DHYANI BUDDHA.

Astawa, A. A. (April 2014). ARCA DAN RELIEF DHYANI BUDHA DI KABUPATEN GIANYAR. Forum Arkeolog, Volume 27, Nomor 1 .

Bunce & Fredrick, W. (2001). Mudras, in Buddhists and Hindu. New Delhi: D.K. Printworld (P) Ltd. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun