Pembangunan ekonomi di Indonesia yang berjalan dari dulu hingga sekarang dengan berdasarkan mekanisme pasar tidak berjalan dengan lancar sehingga menyebabkan permasalahan-permasalahan sosial di masyarakat, diantaranya kesenjangan antara orang kaya yang semakin kaya dan orang miskin yang semakin miskin.Â
Adanya kesenjangan tersebut akibat dari distribusi yang tidak adil di masyarakat. Contohnya yaitu pembangunan ekonomi di masa Orde Baru, banyak sekali permasalahan yang terjadi seperti munculnya ketidakadilan didalam ekonomi. Sedangkan kebijakan pemerintah pada saat itu lebih berpihak kepada elit ekonomi, dan pada akhirnya menjadikan alokasi distribusi ekonomi banyak terserap kepada kelompok tertentu. Lebih dari itu, di masa reformasi ini, pemerintah banyak mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki pelaksanaan pembangunan yang selama ini dilakukan pada masa Orde Baru. Â
Namun dalam pelaksanaannya belum bisa menghasilkan hasil yang optimal karena masih belum memihak kepada masyarakat banyak. Dengan adanya peningkatan jumlah kemiskinan saat ini, membuat pemerintah perlu merumuskan kembali strategi pembangunan yang sesuai agar masyarakat tidak ada lagi yang terpinggirkan.Â
Dengan menggunakan pendekatan ekonomi politik yang menghubungkan seluruh pelaksanaan politik dengan kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat maupun pemerintah. Pendekatan ini melihat dari bidang politik subordinat terhadap bidang ekonomi. Besar-besaran ekonomi seperti mekanisme pasar, harga dan investasi dianalisis dengan menggunakan sistem politik. Lebih dari itu, pendekatan ini melihat ekonomi sebagai cara untuk melakukan tindakan, sedangkan politik menyediakan ruang bagi tindakan tersebut. Dalam pendekatan ini juga menjelaskan bahwa memfokuskan tindakan-tindakan ekonomi yang dilakukan oleh para aktor tertentu pada waktu mereka melakukan kegiatan politik. Asumsi yang digunakan dari teori ekonomi politik ini yaitu bahwa setiap kelompok kepentingan berusaha untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya dengan upaya sekecil mungkin.
Secara konsep kemiskinan dapat dikatakan sebagai isu ekonomi dan isu sosial, pada saat kemiskinan dianggap sebagai permasalahan ekonomi, biasanya kemiskinan disederhanakan sebagai kekurangan pendapatan atau jumlah kalori yang dikonsumsi oleh inidividu. Sedangkan pendekatan sosial lebih melihat kemiskinan sebagai keterbatasan inidvidu untuk ikut serta dalam partisipasi pembangunan, baik akibat ketidakcukupan keterampilan atau pendidikan maupun social exclusion sehingga membuat individu tersebut tidak mampu memperoleh kesejahteraan. Adanya kajian teoritis mengenai konsep kemiskinan ini dapat diklasifikasikan menjadi empat pandangan atau perspektif. Yang pertama yaitu pendekatan moneter, yang mana digunakan untuk mendefinisikan dan mengukur kemiskinan dengan melihat kemiskinan sebagai kekurangan individu untuk mencapai tingkat pendapatan secara minimum, yang biasanya diukur dari garis kemiskinan. Dengan menggunakan pendekatan ini, kesejahteraan diukur dari total konsumsi yang dinikmati oleh masyarakat secara individu.
Yang kedua yaitu pendekatan kemampuan, yang mana dalam pendekatan ini beranggapan bahwa pembangunan seharusnya dilihat sebagai ekspansi dari kemampuan manusia, bukan sekedar memaksimalkan kegunaan atau proksi tetapi pendapatan itu sendiri. Oleh karena itu, pendekatan ini menolak konsep 'pendekatan moneter' dan lebih fokus kepada indikator kebebasan untuk menafkahi nilai kehidupan masing-masing. Yang ketiga yaitu pendekatan pengucilan sosial (sosial exclusion), yang mana pendekatan ini menjelaskan proses marjinalisasi dan pencabutan hak-hak dasar ekonomi. Yang keempat yaitu perspektif metode partisipatif, yang memiliki tujuan untuk mengubah praktik turun menurun dengan melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan untuk mengartikan kelompok miskin dan besaran kemiskinan.
Di Indonesia pernah mengalami krisis perekonomian pada pertengahan tahun 1997, peristiwa tersebut terjadi secara bersamaan dengan kekeringan yang cukup panjang dan memiliki pengaruh negative pada kondisi makro ekonomi secara menyeluruh dan khususnya terhadap kesejahteraan penduduk. Jumlah penduduk yang berada di garis kemiskinan meningkat drastis setelah adanya krisis ekonomi tersebut. Lebih dari itu, krisis ini dapat dikatakan memperburuk insiden kemiskinan terutama melalui kenaikan drastis harga-harga kebutuhan pokok dan komoditi lainnya hingga tahun 1998. Adanya kenaikan harga pada saat itu menyebabkan kontraksi sektor-sektor riil lalu setelah itu terjadi kebangkrutan dan bisnis yang gagal. Lebih dari itu, tekanan pada kesempatan kerja yang ada di bidang informal perkotaan semakin besar, permintaan atas barang dan jasa menurun, dan tingkat produksi serta pendapatan dari pertanian di desa menurun drastis.Â
Namun terdapat beberapa lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki fokus untuk penanganan kemiskinan, seperti Program Kesejahteraan Sosial, Kelompok Usaha Bersama Keluarga Muda Mandiri (Prokesos KUBE KMM), Tabungan Kesejahteraan Rakyat (Takesra), Kredit Usaha Kesejahteraan Rakyat (Kukesra), Kredit Usaha Kecil Menengah, Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net Program), dan yang lainnya.
Dalam perekonomian Indonesia, faktor utama adanya kemiskinan yaitu malpraktik pembangunan akibat formulasi kebijakan ekonomi (sosial dan politik) yang salah, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diproduksi oleh pemerintah sejak dulu lebih mementingkan kepentingan pemilik modal dan sektor industry/jasa daripada pelaku ekonomi kecil dan sektor pertanian.Â
Oleh karena itu jumlah penduduk miskin di Indonesia terus bertambah setiap tahunnya. Permasalahan ini terus diperparah dengan adanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang ada contohnya yaitu kenaikan harga BBM yang berlebihan pada bulan Oktober tahun 2005. Pada dasarnya kebijakan pemerintah telah membuat program untuk mengatasi kemiskinan, namun kebijakan tersebut masih dapat dikatakan lemah. Kelemahan tersebut yaitu berhubungan dengan kebijakan kemiskinan yang dilakukan secara general tanpa menghubungkan dengan bidang sosial, ekonomi, dan juga budaya dari setiap wilayahnya. Oleh karena itu kebijakan yang ada sering tidak berhubungan di satu tempat, walaupun ditempat lain kebijakan tersebut berhasil. Yang kedua yaitu adanya pihak luar dan memakai parameter yang terlalu ekonomis.Â
Yang ketiga yaitu penanganan program kemiskinan mengalami birokratisasi yang terlalu mendalam sehingga banyak yang gagal. Yang keempat yaitu kebijakan mengenai kemiskinan seringkali diselipkan dengan adanya perpolitikan sehingga tidak memiliki makna bagi penguatan sosial ekonomi kelompok miskin. Yang kelima yaitu kebijakan kemiskinan kurang mempertimbangkan aspek ekonomi kelembagaan sebagai prinsip yang harus dikedepankan, sehingga kebijakan tersebut tidak berhasil karena tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan.