- Tak punya kekuatan untuk melobi pihak kepolisian sehingga sejumlah pertandingan sering tidak mendapatkan izin atau digelar tanpa penonton.
- Satu-satunya Ketua Umum PSSI dalam sejarah yang memimpin organisasi dari balik jeruji besi.
- Terlalu banyak intervensi terhadap keputusan-keputusan Komdis sebagai alat lobi untuk kepentingan pribadi dan menjaga posisinya sebagai Ketua Umum.
So, apa yang terjadi di KLB 17 Maret jelas masih jauh dari semangat rekonsiliasi tuntas, tapi lebih menunjukkan “yang lebih kuat (modal) yang menang”.
Yang harus diwaspadai, Singapura letaknya tak jauh dari Indonesia. Ingat pemberitaan beberapa pekan lalu. Hasil investigasi intelijen Uni Eropa menyatakan, Singapura menjadi pusat “match fixing” atau pengaturan skor pertandingan sepakbola dunia, termasuk liga-liga elit Eropa. Sepak bola Indonesia sangat mungkin masuk dalam genggaman mafia match fixing yang berpusat di Singapura. Atau, jangan-jangan mereka ikut bermain dalam KLB 17 Maret? Wallahu a’lam. [x]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI