Sudah tiga hari berlalu semenjak Udin hilang. Ali masih terus merasa bersalah atas kehilangan Udin, begitu juga Bagus. Sesaat sebelum Udin hilang Ali dan Bagus masih bermain bersama. Mereka bermain bola bersama, hanya mereka bertiga, di lapangan hingga menjelang maghrib.
Sewaktu mereka bermain Ali dan bagus berecana menjahili Udin. Mereka berfikir untuk menendang bola milik udin, yang mereka mainkan bersama, ke bukit yang berada di dekat lapangan. Bukit itu tidak terlalu tinggi, ada jalan setapak tempat orang mendaki bukit itu. Di atas bukit ada satu pohon beringin tua dan besar. Di sekeliling pohon beringin tidak ada pohon lain.
Ali memberikan bola ke Bagus dan Bagus menendang bola itu sekuat mungkin. Bola itu tepat jatuh di dekat pohon beringin. Angin maghrib yang dingin mulai berhembus, dengan segenap ketakutan dan keberaninan yang dipaksakan Udin berlari sekencang mungkin untuk mengambil bolanya. Udin mengabaikan peringatan orang tua di kampung untuk tidak berkeliaran disaat menjelang maghrib, terlebih lagi mendekati Pohon Beringin keramat itu. Ali dan Bagus langsung lari meninggalkan Udin, begitulah memang rencana mereka. Semenjak saat itu mereka tidak pernah melihat Udin lagi.
Ali dan Bagus tahu Udin hilang karena ulah mereka. Gara-gara merekalah Udin mendekati Pohon Beringin Tua di atas bukit pada jam menjelang Maghrib. Dengan terpaksa Ali dan Bagus merencanakan untuk mencari Udin.
“Bagaimanapun kita harus membawa Udin pulang, mungkin mustahil tapi kita tidak punya pilihan selain menyelamatkannya. Kalau tidak kita akan diselimuti rasa bersalah seumur hidup kita dan aku tidak mau seperti itu,” jelas Ali
Bagus mengangguk pelan.
Mereka memulai perjalanaan saat menjelang maghrib dan berencana bertemu di dekat bukit. Ali tiba lebih dulu di tempat yang sudah ditentukan, lima menit kemudian Bagus menyusul sambil terengah-engah. Bagus bilang dia hampir ketahuan oleh orang tuanya, tapi tidak perlu khawatir karena dia telah membuat boneka di atas kasurnya untuk mengelabui orang tuanya.
Mereka mulai mendaki melewati jalan setapak yang ada disekitar bukit. Hari sudah mulai gelap, Ali dan Bagus menyalakan senter yang mereka bawa. Hawa menyeramkan mulai menerkam kulit mereka sehingga membuat bulu kuduk mereka merinding. Semakin tinggi mereka mendaki udara semakin dingin, perubahan suhu sangat terasa dengan cepat, padahal baru mendaki beberapa meter rasa dingin sudah semakin tajam. Kesunyian menghantui kepala mereka. Ali berada di depan Bagus, mereka berjalan selangkah demi selangkah. Bukit itu hanya ditumbuhi rumput ilalang yang panjang, sehingga mereka bisa melihat kampung mereka dari atas bukit. Sesaat mereka terpesona dengan pemandangan kampung mereka dari atas bukit.
Dengan penuh kesabaran mereka tiba di atas bukit tepat di sebelah Pohon Beringin besar dan tua itu. Hawa mengerikan semakin kejam menyelimuti mereka. Dengan segenap keberanian mereka mulai berkeliling di sekitar pohon. Namun, mereka baru menyadari kalau di balik bukit itu ada hutan belantara yang lebat.
TOLOOOONG!!
Ali dan Bagus kaget. Mereka tahu itu suara Udin, ya, tidak salah lagi Udin meminta tolong. Belum lagi berbicara, kabut tebal langsung menyelimuti mereka, sangking tebalnya kabut itu sampai menghalangi pandangan mereka. Akibat nya mereka terpisah, Ali berteriak memanggil nama Bagus dan sebaliknya, mereka saling mencari mendekati suara masing-masing. Akhirnya mereka bertemu kembali, mereka saling berpelukan dan menangis ketakutan. Seketika kabut itu hilang dari pandangan mereka. Namun, mereka sudah tidak di atas bukit lagi, tapi mereka berada di tempat lain. Mereka berada di tengah hutan dan teriakan Udin masih terdengar.