Mohon tunggu...
ALI KUSNO
ALI KUSNO Mohon Tunggu... Administrasi - Pengkaji Bahasa dan Sastra Kantor Bahasa Provinsi Kalimantan Timur

Pecinta Bahasa 082154195383

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bangun, Andi

16 September 2022   13:59 Diperbarui: 16 September 2022   14:07 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara kokok ayam bersahutan di belakang rumah. Melengking. Pasti itu si merah, suaranya memang nyaring. Aku masih meringkuk dalam sarung. Tak lama terdengar suara azan dari langgar di kejauhan. 

"Andi, bangun, Ndi," suara Nenek membangunkan. 

Tangannya sambil memijit kedua kakiku. 

"Andi, bangun. Sudah subuh. Salat," imbuh Nenek lagi.

Dengan berat, aku pun duduk, sambil mengumpulkan tenaga tuk buka mata.

Nenek bergegas ke langgar. Segera aku mengambil wudu dan menyusul Nenek.  

 

Hari ini hari pertama aku masuk sekolah. Aku diterima di SMA Negeri Sepaku. Seragam baru sudah aku siapkan sedari malam sebelum tidur. Aroma baju baru memang khas. Saat-saat seperti ini, aku tunggu. Seingatku, ini kali ketiga aku mencium aroma baju seragam baru. Pertama, waktu aku baru masuk SD. Kedua, waktu aku masuk SMP. Dan ketiga, sekarang ini. 

Waktu SD kelas 4, bajuku tidak lagi muat. Untung ada anak Paman yang bajunya tidak lagi dipakai. Dilungsurkan. Yah, meski agak lusuh, tidak apa-apa. Kantongnya ada yang lepas. Masih bisa ibu jahit tangan. Kainnya sudah agak tipis. Tapi, awet kok sampai aku lulus SD masih aku pakai. 

"Andi. Itu sarapan sudah Nenek siapkan. Ikan gabus yang kemarin kamu pancing, Nenek goreng," kata Nenek sambil mengibaskan jemuran. 

"Iya, Nek," nasi putih dengan ikan gabus goreng sungguhlah nikmat. 

"Cucu Nenek gagah pakai seragam baru," goda Nenek. 

"Alhamdulillah. Iya, dong, Nek," sahutku. 

"Kamu seperti Bapakmu, Andi. Gagah, tegap. Senang Nenek lihat...," seketika Nenek tercekat. Nenek menyeka air matanya dengan lengan baju. Aku pun berdiri, menghampiri, dan memeluk Nenek erat. 

Pandanganku tertuju ke bingkai foto di dinding kayu. Ada aku, Bapak, Ibu, dan Adekku. Bapak meninggal dua tahun lalu. 

Bapak meninggal dunia dalam tugas di Papua. Kata teman Bapak dan berita di televisi, Bapak menjadi salah satu korban penembakan KKB di Nduga, Papua.  

Aku ingat hari pemakaman Bapak. Jenazah Bapak diantarkan banyak tentara dan warga. Aku yang mengazankan jenazah Bapak sebelum dimakamkan. Aku bangga dengan Bapak. Bapak gugur sebagai kusuma bangsa. 

Ibu menangis histeris pada malam setelah mendengar kabar meninggalnya Bapak. Adekku, Bima yang baru berusia setahun hanya bisa bingung. Dia belum mengerti yang terjadi. Aku berusaha menguatkan ibu. 

Nenek mendengar kabar duka itu, setelah salat Isya. Nenek terduduk diam di sajadah. Nenek menangis dalam balutan mukena. Saat kuhampiri, tanganku menyentuh basah sajadah. 

Karena terpukul atas kematian Bapak, Ibu memutuskan pulang kampung ke Sragen membawa Bima, adekku. Tinggal di kampung bersama Simbah. Ibu membantu Simbah menggarap sawah. Tinggallah Aku dan Nenek di sini. Kasihan Nenek kalau aku juga ikut ibu. 

Nenek sudah mulai tenang dari kenangan tentang Bapak. Waktu sudah menunjukkan pukul 6.30. Aku pamit berangkat sekolah. Meski sekolah relatif dekat, aku tidak mau terlambat. Itu salah satu hasil didikan Bapak. 

"Nek, Andi berangkat dulu, ya," sambil kucium tangan Nenek. 

Kuambil sepeda dan kukayuh dengan semangat. Kutengok ke arah rumah, Nenek terus memandangku sambil tersenyum. Kembali pandanganku ke arah depan menyusuri jalanan ke arah sekolah. 

Seperti biasa, udara pagi sungguhlah segar. Dalam perjalanan, di kiri dan kanan jalan kulihat banyak alat berat. Beberapa pekerja proyek kulihat memakai rompi dan helm kuning. Paling proyek seperti biasanya, batinku. Setiap tahun ada saja proyek menambal jalanan yang berlubang. Meski tak bertahan lama setelah dilewati kendaraan berat dan curah hujan yang tinggi. 

Sampailah aku di sekolah. Senang sekali. Ada beberapa yang kukenal karena satu SMP dulu. Sesekali berpapasan dengan beberapa guru, aku pun memberi salam dan cium tangan. 

Upacara hari pertama terasa istimewa. Kami siswa kelas 10 terlihat mencolok dengan seragam baru. Aku berdiri paling depan. 

Tibalah amanat pembina upacara. 

Kepala sekolah, Pak Hamdani. Usianya sudah sepuh. Beliau pakai peci hitam. Sorot matanya ditebar ke seluruh peserta upacara. 

"Anak-anakku, siswa SMA Sepaku yang Bapak cintai dan banggakan. Berdirilah dengan tegap. Angkat dagu kalian. Tahukah kalian, dari sudut sekolah ini nanti akan kalian lihat Ibu Kota Nusantara. Tempat kalian sekarang berdiri, juga bagian dari Ibu Kota Nusantara. Ibu kota negara Indonesia. Akan banyak pembangunan. Di sanalah istana Presiden berdiri. Senangkah kalian?" tanya Pak Hamdani kepada seluruh peserta upacara.

"Senang!" sahut kami. 

"Jangan hanya senang, kalian harus segera mempersiapkan diri. IKN milik seluruh bangsa Indonesia. Di sanalah nanti putra-putri terbaik bangsa mengabdikan diri. Apakah kalian putra-putri terbaik bangsa?" tanya Pak Hamdani lagi.

Kami tertunduk diam. 

"He.., mengapa kalian tertunduk. Angkat lagi dagu kalian. Lihat Bapak. Putra Putri terbaik bangsa, ya kalian-kalian ini. Segeralah persiapkan diri. Belajarlah yang giat. Tidak ada ongkang-ongkang. Kecuali kalian hanya ingin menjadi pecundang, penonton di tanah sendiri," terang Pak Hamdani memberi kami semangat.

"Siapkah kalian generasi IKN!" tanya Pak Hamdani.

"Siap!" sahut peserta upacara. 

Awal sekolah yang sungguh berkesan bagiku. 

Pulang sekolah kembali kuamati alat-alat berat yang tadi pagi masih membisu. Mereka berlomba menderu. Ada yang membersihkan dan mengeruk tanah di bahu jalan. Ada pula truk menguruk dengan pasir dan diratakan alat berat lain. Debu tebal menari-nari. 

Tak sengaja aku bertatap mata dengan salah satu pria yang tampak mengawasi para pekerja. Lelaki itu masih muda. Dia melempar senyum padaku. Aku pun membalasnya. 

"Semangat sekolahnya, Dek!" teriak Bapak itu saat sepedaku meluncur berlalu. Aku pun menoleh dan mengangkat tangan kanan. 

Sesampainya di rumah, kulihat Nenek sedang duduk di teras. Saat panas terik begini. Duduk santai di teras ulin, menjadi pilihan. Rimbun pohon ceri begitu teduh.

 **

Kokok ayam bersahutan pagi ini. Riuh sahutannya. Ayam di kandang sudah banyak. Kandang tak lagi muat.

"Bangun, Andi, salat subuh," aku terbangun. 

Saat terbangun, aku pun terduduk, berusaha membuka mata. 

Kali ini beda. Tak kulihat Nenek yang selalu memakai mukena. Dua minggu lalu Nenek meninggal dunia. Perasaanku saja, tadi Nenek membangunkanku. Nenek sudah seperti alarm yang siap membangunkanku, meski Nenek kini telah tiada. 

Aku sendiri di rumah ini. Amanah Nenek, "Kalau Nenek meninggal nanti, makamkan di antara makan Datuk dan Bapakmu. Kamu jangan tinggalkan rumah ini. Hiduplah di sini. Di sini rumahmu". Begitulah pesan Nenek dulu. 

Pagi ini kembali kukayuh sepeda. Melaju di jalanan lebar nan mulus. Kulihat banyak kendaraan hilir mudik. Katanya sih, mereka bekerja di perkantoran di IKN sana. 

Kutengok ke arah rumah. Seolah ada Nenek tersenyum sembari berkata, "Andi, kejarlah cita-citamu."

Aku tersenyum, pandanganku kembali ke jalanan menuju sekolah. 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun