Suara kita dapat berdampak besar secara politik bila berserikat. Untuk itu, masyarakat sipil perlu berorganisasi, menggelar pertemuan-pertemuan, dan menyampaikan aspirasi terkait kedaulatan maritim Indonesia dari Konflik LCS. Dengan cara ini, suara kita akan didengar oleh negara.
Ada banyak hal yang bisa kita suarakan. Misalnya, mendorong penguatan Alutsista maritim Indonesia, agar TNI mampu menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI dari segala ancaman, baik di situasi damai, masa krisis, dan masa perang. Penguatan Alutsista maritime sangat penting, bahkan kalau bisa diprioritaskan, mengingat kita adalah negara kepulauan. Ini sangat penting untuk menghadapi kecenderungan dunia internasional yang masih menganut hukum rimba.
Dengan kekuatan suara sipil, kita juga bisa mengkoreksi, dan mengawasi kebijakan pertahanan agar berjalan sesuai visi poros maritime, serta kebutuhan untuk menghadapi potensi ancaman konflik LCS. Suara kita akan mengkontrol pemerintah agar tak mengulangi kesalahan yang dilakukan Sultan Demak kala itu.
Selain mengkawal pemerintah, suara kita bisa digunakan untuk mengedukasi masyarakat, saudara sebangsa kita, bahwa lautan menentukan hidup dan mati kita. Kita bisa memviralkan isu kedaulatan maritime menjadi diskursus bersama di masing-masing kelompok masyarakat, sesuai dengan sudut pandang unik dan latar belakang khas masing-masing organisasi masyarakat. Dengan demikian, Poros Maritim tak hanya menjadi program pemerintah saja (top-down), melainkan juga kesadaran masyarakat (botton-up).
Selain berserikat, kekuatan suara juga berdampak besar secara politik bila bersifat ilmiah. Seperti pernyataan Francis Bacon "Knowledge is Poswer", maka riset adalah landasan dasar untuk menyusun kekuasaan. Legitimasi politik atau hukum datang dari hasil kerja ilmu pengetahuan. Inilah alasan China gencar melakukan riset, mengumpulkan arsip dan bukti sejarah sebagai landasan klaimnya atas LCS. Apakah kita hanya tinggal diam?
Oleh sebab itu, kita harus mendorong kampus, para akademisi, peneliti, sejarawan, hingga ilmuwan lingkungan agar menyusun gerakan "riset untuk pertahanan dan kedaulatan maritime Indonesia". Hasil-hasil kerja akademis itu dapat berubah menjadi barikade-barikade kuat, menghalau arus keruh dari utara yang menerjang kedaulatan maritime Indonesia.
Suara sipil tak hanya berfungsi untuk mempertahankan kedaulatan saja, melainkan mampu melambungkan Indonesia kembali mengarungi Samudra seperti dulu kala. Sebab, untuk berhasil mengarungi dunia dibutuhkan suara yang lebih tinggi, yang bernama visi, ideologi, atau pemikiran besar suatu bangsa. Mengapa? Sebab lautan selalu berpasangan dengan pemikiran besar. Hampir mustahil pikiran kerdil berani melaut.
Jika diperhatikan, bangsa-bangsa besar yang berhasil menjelajahi Samudra pasti memiliki ideologi atau pemikiran besar yang dibawa. Misalnya, bangsa Eropa dulu berlayar ke seluruh penjuru dunia membawa misi peradaban dan menyebarkan agama Kristen. Lalu, bangsa Timur-Tengah mengarungi Samudra dengan agama Islam, lalu India dengan membawa ajaran Hindu-Budha. Kemudian Jepang dengan ideologi kejayaan Asia Timur.
Lalu di abad modern, Barat kembali mengarungi Samudra dengan membawa ideologi Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Kapitalisme. Lalu ada Rusia, China dan Blok Timur dengan Sosialismenya. Lalu belakangan ini, muncul visi penyelamatan bumi, gerakan ekologi sebagai visi baru yang dibawa Barat ke seluruh penjuru dunia. Misalnya seperti Prancis yang membangun Kerjasama dengan negara Asia Tenggara di bidang lingkungan.
Itulah sederet bukti, bahwa hanya pemikiran dan visi besar yang mampu mengembangkan layar suatu negara untuk mengarungi Samudra. Negara-negara besar berorientasi pada politik luar negeri, bergerak melampaui batas gografisnya. Lantas, apa visi besar Indonesia?
Pemikiran dan visi besar hanya bisa muncul dari pergumulan percakapan rakyat, yang berhasil ditangkap oleh manusia besar sejarah. Indonesia sendiri sudah punya visi besar, yakni Pancasila.