Mohon tunggu...
Alif Syuhada
Alif Syuhada Mohon Tunggu... Penulis - Blogger

https://alifsyuhada.com/

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bahaya "Arus Balik" Jilid 2, Masyarakat Sipil Perlu Sadar Kedaulatan Maritim Indonesia dari Ancaman Konflik Laut China Selatan

31 Mei 2024   20:01 Diperbarui: 31 Mei 2024   20:14 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari segi pertahanan, LCS punya peran strategis terutama bagi negara-negara Asia. Dengan membangun pangkalan militer di perairan ini, maka akan memperkuat pertahanan negara dari ancaman regional eksternal.

Dari segi ekonomi, LCS menyimpan banyak sekali kekayaan alam. Hasil lautannya mampu menopang kebutuhan pangan jutaan orang di Asia Tenggara. Perairan ini juga menyimpan cadangan minyak dan gas alam yang besar. Diperkirakan ada sebanyak 11 miliar barel minyak dan 190 triliun kaki kubik cadangan gas alam yang belum dimanfaatkan.

Daya Tarik LCS memikat banyak negara dalam pusaran konflik. Mulai dari China, Taiwan, Asia Tenggara, bahkan Amerika dan Eropa juga turut berebut. Masing-masing membawa klaim atau argument untuk bisa mendominasi perairan tersebut. Akar konflik LCS disebut-sebut akibat tak ada negara yang secara eksplisit diberi kedaulatan atas perairan ini, usai Jepang menyerahkan diri setelah kekalahannya di Perang Dunia II.

Klaim paling kontroversial datang dari China, yang menyatakan kepemilikan perairan tersebut melalui konsep garis imajiner Nine Dish-Line (Sembilan Garis Putus-Putus). Garis imajiner tersebut mencakup 90% perairan LCS. Cina mendasarkan klaimnya pada argument historis bahwa LCS adalah wilayah perairan penangkapan ikan tradisional bangsa China sejak dulu.

Konsep Nine Dish-Line (NDL) sudah dinyatakan China sejak tahun 1947, di era kekuasaan Partai Kuomintang. Lalu pada 1982, PBB menetapkan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) bagi tiap negara. Namun, UU PBB tersebut ditolak China dan tetap bersikeras klaimnya atas LCS berdasarkan NDL. China menolak klaim negara-negara lain atas Kawasan tersebut.

Usai Rezim Kuomintang dikalahkan Parta Komunis China, mereka pun menempati pulau Taiwan dan mendirikan  Republik Tiongkok. Alhasil, baik China Daratan (Republik Rakyat Tiongkok/RRT) maupun Taiwan sama-sama memperebutkan LCS dengan dasar NDL. Taiwan mengklain sejumlah pulau di LCS, meliputi Spratly (Nansha), Paracel (Xisha), Pratas (Dongsha), dan Macclesfield Bank (Zhongsha).

Negara Kawasan Asia Tenggara tak tinggal diam atas klaim China di LCS, sebab NDL China tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) beberapa negara ASEAN. Misalnya adalah Filipina. Negara ini sudah sering berkonflik dengan China di LCS. Konflik semakin parah pada 2012 saat China merebut Scarborough Shoal yang terletak sekitar 220 kilometer di lepas pantai Filipina dan berada dalam garis ZEE menurut hukum maritime internasional.

Manila pun membawa kasus ini ke Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag pada 2013, di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Pada 2016, pengadilan tersebut memutuskan bahwa klaim China tidak memiliki dasar hukum. Namun sebagaimana lazimnya watak negara besar, China pun mengabaikan putusan tersebut dan semakin menegaskan klaimnya dengan membangun pulau-pulau buatan, instalasi militer, hingga mengerahkan coast guard ke perairan LCS. Kecenderungan watak "semau sendiri" pada negara kuat inilah yang bisa mengancam kedaulatan.

Vietnam juga berkonflik dengan China di LCS terkait sejumlah pulau dan terumbu karang di Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly. Padahal Vietnam telah memiliki sejarah panjang mengelola dan mengklaim wilayah-wilayah tersebut berdasarkan bukti sejarah dan administrasi tradisional.

Malaysia juga mengklaim sebagian perairan LCS, termasuk sebagian rangkaian Kepulauan Spratly. Lalu Brunei Darussalam juga mengklaim terumbu karang Louisa Reef yang berada di selatan Kepulauan Spratly itu berada di landas kontinennya.

Indonesia sendiri semula tidak termasuk dalam negara yang bersengketa di LCS. Namun belakangan, usai China menerbitkan peta terbarunya dengan menambah satu garis putus-putus menjadi Ten-Dash Lines, Indonesia pun terseret dalam prahara konflik dengan China terkait LCS. Sebab peta baru dari China itu tumpang tindih dengan ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun