Ketegangan Indonesia dengan China memuncak saat China memprotes Indonesia yang melakukan eksplorasi pengeboran minyak di Laut Natuna Utara. China juga memprotes pergantian pergantian nama sebagian perairan LCS itu menjadi Laut Natuna Utara. China mengklaim Laut Natuna Utara masuk dalam wilayahnya, berdasarkan Ten-Dash Lines China.
Meski wilayah konflik adalah ZEE, dimana statusnya adalah sovereignty right (hak berdaulat), belum masuk wilayah teritori kedaulatan Indonesia (sovereignty), konflik LCS dengan China berpotensi besar mengancam kedaulatan Indonesia.
Memang, Indonesia tidak berhak penuh atas ZEE. Tapi negara lain tidak boleh mengelola kawasan perairan ZEE tanpa seizin Indonesia. Sebab ZEE memberikan hak ekslusif pada Indonesia untuk mengelola dan memanfaatkan kawasan perairannya untuk keperluan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, hingga pengelolaan sumber daya alamnya, baik hayati maupun non hayati seperti energi.
Bayang-Bayang Post-Cold War di LCS
Kita harus membuka mata, bahwa di dunia internasional masih berlaku hukum rimba; "siapa yang kuat, dia yang menang." Negara dengan kekuatan ekonomi dan militer kuat kerap kali mengabaikan hukum internasional, terus melancarkan serangan, tak peduli kecaman dunia. Misalnya seperti yang dilakukan Israel hari ini. Tentu sangat berbahaya jika China punya kecenderungan serupa, maka akan mengancam kedaulatan Indonesia.
Namun, China bukan satu-satunya pihak yang perlu diwaspadai. Kita juga perlu memperhatikan kebijakan luar negeri Amerika maupun kepentingan Barat di Indo-Pasifik, yang berupaya membendung pengaruh China. Tak ayal, LCS dapat membangkitkan kembali konflik antara Blok Barat dan Blok Timur di Asia Tenggara.
Dari sudut China, LCS adalah gerbang yang menghubungkan Tiongkok ke dunia internasional. Sebagian besar produk manufaktur China diekspor melalui LCS. Melalui perairan ini pula, sebagian besar bahan baku produksi hingga kebutuhan pangan dan energi China masuk. Tak heran bila Tiongkok mati-matian berupaya menguasai perairan ini.
Lalu dari segi keamanan nasional, LCS juga menjadi kawasan rentan bagi China bila perairan tersebut jatuh di tangan musuh, seperti Amerika dan sekutunya. Tiongkok akan sangat terbuka terhadap untuk ancaman invansi dari lautan bila gagal mengendalikan LCS. Terlebih lagi pusat-pusat politik dan ekonomi mereka berada di kawasan pantai. Selain itu, 90% penduduknya juga menempati kawasan subur yang membentang dari sisi pantai LCS.
Dengan hadirnya Amerika dan Barat di LCS semakin menyulut reaksi pertahanan nasional Tiongkok. Kondisi ini mirip seperti alasan Rusia menyerang Ukraina, usai negara yang dipimpin Zelensky itu menyatakan bergabung ke NATO. Dari segi geopolitik, posisi LCS sama dengan Ukraina yang minimal seharusnya netral, atau jika tidak, dikuasai sekaliah demi keamanan nasional terjamin. Tapi, tentu saja Amerika tidak rela rivalnya itu bangkit lebih besar lagi.
Upaya Amerika untuk membendung pengaruh China sudah lama dilakukan dengan mendukung Taiwan, hingga membangun kemitraan strategis dengan Korea Selatan, Jepang, dan beberapa negara di Asia Tenggara.
Di bawah ideologi demokrasi dan kebebasan bernavigasi, Amerika membangun aliansi dan Kerjasama militer yang tujuannya untuk mengimbangi pengaruh Tiongkok di Indo-Pacific. Misalnya dengan membentuk "AUKUS" yang merupakan akronim bahasa Inggris untuk tiga anggota negara, yakni Australia, United Kingdom, dan United States.
AUKUS adalah pakta keamanan trilateral antara tiga negara tersebut yang berdiri pada 15 September 2021. Melalui pakta tersebut, Amerika Serikat dan Britania Raya akan membantu Australia untuk mengembangkan dan mengerahkan kapal-kapal selam bertenaga nuklir dan mengerahkan militernya di kawasan Pasifik. Bahkan, perjanjian tersebut juga mencakup bidang-bidang utama seperti kecerdasan buatan, perang digital, kemampuan bawah air, dan serangan jarak jauh.