Mohon tunggu...
Alif Syuhada
Alif Syuhada Mohon Tunggu... Penulis - Blogger

https://alifsyuhada.com/

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bahaya "Arus Balik" Jilid 2, Masyarakat Sipil Perlu Sadar Kedaulatan Maritim Indonesia dari Ancaman Konflik Laut China Selatan

31 Mei 2024   20:01 Diperbarui: 31 Mei 2024   20:14 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kejatuhan Malaka bukan sekadar hilangnya sebuah wilayah, melainkan hilangnya kendali bangs akita atas arus perdagangan dunia di Asia. Kapal-kapal dagang dari India, Arab, hingga Eropa tak berani lagi singgah di Malaka. Lalu lintas dagang dunia ke Demak, Tuban (Jawa) pun terputus.

Dari Malaka, Portugis mulai mengacak-acak perairan nusantara. Kehidupan nusantara pun semakin kacau. Portugis mulai menguasai Maluku, pusat rempah-rempah dunia. Mereka membawa langsung komoditas strategi situ ke Malaka, tak melalui Jawa. Sebaliknya, orang-orang Maluku tak bisa lagi mendapat barang kebutuhan dari Jawa.

Perairan nusantara pun dikendalikan sepenuhnya oleh Portugis. Sejak itu, arus niaga dan modal pun "berbalik", dari utara ke selatan. Satu persatu, armada asing datang silih berganti dari utara, merebut kota-kota Pelabuhan dan niaga di nusantara.

Kapal-kapal bangsa kita menganggur di bandar pelabuhan. Nenek moyang kita tak bisa berdagang bebas seperti sebelumnya. Mereka terpaksa membeli kebutuhan dan menjual hasil buminya hanya pada penjajah yang menerapkan monopoli dagang yang tak menguntungkan bangsa. Hasil keringat kita sangat murah, sedangkan barang kebutuhan pokok semakin mahal.

Sejak perairan nusantara jatuh, bangsa terus dipukul mundur. Dari lautan, lalu ke pantai, lalu mundur lagi ke pelosok hutan hingga pedalaman gunung-gunung sepanjang selatan pulau. Sejak menjauhi pesisir, kita menjadi bangsa yang terbelakang, dijajah bangsa-bangsa asing hingga tiga setengah abad lamanya. Itulah kutukan akibat gagal mempertahankan kedaulatan maritim.

Apakah bangsa kita begitu lemah, sampai-sampai tak bisa memberikan perlawanan, merebut kembali kedaulatan maritimnya? Oh tidak. Letak kesalahan justru ada pada sikap penguasa nusantara kala itu malah memunggungi laut, usai satu kali kalah melawan Portugis. Mereka meninggalkan visi maritim. Nyali pelaut mereka sudah padam. Mereka justru mengerahkan tenaganya untuk "menguasai daratan".

Dampaknya sangat buruk, sebab ambisi menguasai daratan menjebak bangsa kita dalam perang saudara tak berkesudahan. Saling berebut wilayah kekuasaan. Nusantara pun semakin terbelakang secara politik. Bangsa kita terpecah belah, bahkan tak sedikit penguasa yang justru bekerjasama dengan pihak asing untuk melenyapkan saudara sebangsanya sendiri. Korbannya adalah rakyat, mereka ditindas dan nelangsa akibat penguasanya diadu-domba melalui politik "devide et impera" bangsa asing.

Meski hari ini kita sudah merdeka, menjadi Indonesia yang berdaulat, bukan berarti kisah kelam jatuhnya Malaka tak akan terulang di masa depan. Justru ancaman "Arus Balik" jilid 2 itu semakin nyata belakangan ini. Dimana? Tentunya di Konflik Laut China Selatan (LCS).

Konflik Laut China Selatan, Ancaman "Arus Balik" Era Modern

Pertarungan beragam kepentingan di perairan strategis Asia ini (LCS) bukan tak mustahil dapat menjelma menjadi "Arus Balik" era modern yang akan menyapu habis mimpi Indonesia emas 2045, jika tak dikawal serius.

Mengapa LCS menyulut konflik? Alasannya, perairan ini sangat strategis dari berbagai aspek.

Perairan yang membentang dari Selat Malaka hingga Selat Taiwan adalah jalur niaga dunia dengan total nilai perdagangan mencapai USS 3,37 triliun pada 2016 serta mencakup 40% perdagangan gas alam cair (LNG) global. Diperkirakan sepertiga perlintasan laut berlalu-lalang di perairan ini. Tak heran bila LCS berperan vital bagi industri logistic global dan menjadi sub-wilayah ekonomi penting di Indo-Pasifik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun