"Tunggu," tegah Wiranggaleng, "biar aku ceritai kalian. Dahulu, di jaman kejayaan Majapahit, arus bergerak dari selatan ke utara, dari Nusantara ke Atas Angin. Majapahit adalah kerajaan laut terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi ini ..." (hlm. 746) Arus Balik, Pramoedya Ananta Toer.
Laut adalah pertaruhan kedaulatan. Laut adalah tanda bangsa besar. Menguasai lautan adalah syarat tegaknya kedaulatan suatu negara. Maka, tak heran bila negara-negara maju selalu berorientasi pada maritim. Mereka berlomba-lomba menaklukkan lautan bebas, menyebarkan ideologinya ke seluruh penjuru mata angin, lalu menjadi bangsa besar di panggung dunia.
Indonesia, dalam sejarahnya, pernah menjadi bangsa maritim besar di era Sriwijaya dan Majapahit. Sayangnya pasca kejatuhan perairan Malaka di tangan Portugis, masa kejayaan nusantara berakhir. Tragisnya, masa keemasan itu tak bisa dipulihkan kembali, sekaligus membuka abad kegelapan nusantara di bawah kolonialisme. Itulah akibat yang diterima bila gagal mempertahankan kedaulatan laut.
Mungkin masih ada yang bertanya-tanya, apa kaitannya laut di jauh sana dengan kita yang hidup sehari-hari di pedalaman daratan? Bagaimana situasi laut bisa mempengaruhi hidup kita?
Kebutuhan kita akan laut tak sebatas pada ikan dan garam. Lebih dari itu! Laut menentukan hidup dan mati kita semua.
Kita semua berkepentingan terhadap lautan, terlebih di era globalisasi yang membuat kita saling bergantung satu sama lain. Sebagian besar barang-barang yang kita gunakan sehari-hari datang dari laut. Begitu pula dengan bahan-bahan makanan kita juga datang dari lautan. Mulai dari motor, smartphone, bensin, gas masak, gandum, pupuk, bawang putih, hingga benda sesimpel peniti yang masih diimpor dari luar negeri.
Coba bayangkan bila suatu hari lautan terjadi sesuatu, otomatis barang-barang yang biasa dengan mudah dibeli pun tak dijumpai lagi di pasar dan toko. Kelangkaan barang pun terjadi dimana-mana, masyarakat pun panik seperti saat COVID-19 kemarin. Tak hanya itu, kita juga tak bisa menjual hasil bumi dan produk industry kita ke dunia. Ekonomi terhenti, pengusaha bangkrut, jutaan rakyat menganggur. Apakah kita mau?
Kejatuhan Malaka cukuplah menjadi sejarah pahit yang tak boleh diulangi. Kita harus belajar dari peristiwa itu, salah satunya dengan membaca Roman "Arus Balik", sastra maritim karya penulis tersohor Pramoedya Ananta Toer.
Novel "Arus Balik" bercerita kejatuhan Malaka di tangan Portugis pada tahun 1511. Jatuhnya Malaka berdampak pada putusnya hubungan perdagangan dengan Demak (Jawa) yang sudah terjalin berabad-abad.