Mohon tunggu...
Alif Syuhada
Alif Syuhada Mohon Tunggu... Penulis - Blogger

https://alifsyuhada.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bahagia dengan Berbagi Pisang, Sebuah Diari Singkat Desember 2020

31 Desember 2020   19:31 Diperbarui: 31 Desember 2020   21:23 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oh Hatiku!

Apakah aku ini orang sakit? Apakah hanya aku yang merasa aneh seperti ini? Cobalah simak sejenak apa yang kualami. Hal ini terjadi sejak beberapa bulan lalu ketika aku menggantikan tugas menjual buah hasil panen kelompok tani yang sebelumnya dijalankan temanku. Dia mengambil cuti panjang karena ibunya yang sedang sakit.

Sebagai pedagang buah keliling, aku mengitari kota Purwokerto setiap hari untuk menawarkan buah organik, salah satunya adalah pisang. Jalan raya, gang perumahan maupun sudut perkampungan kota Purwokerto tak luput dari jejak-jejak roda motorku.

Aku tetap berjualan, tak peduli hari itu terik atau hujan. Tak ada waktu untuk mengasihani diri sendiri sebab banyak pedagang kecil yang bernasib serupa. Hal ini membuatku mudah melupakan rasa lelah atau patah semangat ketika pulang tanpa sepeser uang.

Aku selalu merasa kuat dengan "imajinasi" nasib bersama ini. Namun ada satu hal yang sering membuat tubuhku lesu mendadak, yaitu ketika aku tak sengaja melihat pengemis kota. Hal aneh ini mulai kusadari akhir-akhir ini, sebab sebelumnya aku jarang keluar ke kota.

Aku merasa diriku terlalu mudah tersambar segala kejadian yang melintas di mataku. Hatiku terlalu cepat menyerap suasana batin orang-orang di sekitar. Coba bayangkan bagaimana rasanya memasukan segala rupa ketegangan, keputusasaan, kecemasan seluruh manusia di pasar Wage akibat kelesuan ekonomi selama pandemi Covid-19?

Tentu hati yang lemah ini rasanya hampir meledak. Parahnya, rasa ini harus kuulangi setiap hari. Dari sekian rasa yang menyiksa itu, melihat pengemis adalah yang paling memukulku.

Pernah suatu ketika aku melihat pengemis yang menderita cacat kaki hendak menyeberang jalan raya. Saat itu, aku hendak menghidupkan motor di parkiran toko buah seusai menjual pisang kepada pemilik toko.

Jalan raya saat itu cukup lenggang untuk seorang pejalan kaki, namun bagi penyandang disabilitas, jalan itu cukup sulit dilalui. Kuduga, sudah agak lama pengemis itu tertahan di sisi jalan. Lalu lalang mobil dan truk besar hanya berjarak beberapa detik saja.

Menyeberang sendirian tentu berisiko sebab dengan posisi mengesot ditambah bajunya yang mirip warna aspal bisa membuat pengendara tak melihatnya. Terlebih jika pengemudi sedang memainkan ponsel, nyawa pengemis itu bisa melayang di jalan.

Spontan aku menghampirinya untuk membantunya menyeberangi jalan, namun ternyata tukang parkir di depanku sudah melakukannya terlebih dahulu untuknya. Pengemis itu tiba di sisi jalan setelah susah payah. Mobil dan truk pun berhenti menyebabkan kemacetan kecil. Aku hanya terdiam memandang.

****

Kejadian siang itu tak kunjung pergi di kepalaku. Bahkan ia justru beranak pinak di benakku sampai malam. Selama berhari-hari, aku terus bertanya-tanya, kekuatan batin macam apa yang membuatnya berani hidup menerima segala kemalangan? Bagaimana ia bisa hidup sendirian? 

Hidup tanpa istri yang mencintai, tanpa anak yang menyayangi, tak sempat merasakan nikmat belajar atau menguasai kemahiran tertentu serta tak ada kesempatan mengaktualisasikan hobi dan bakatnya. Bagaimana juga ia bisa bertahan hidup tanpa ada yang mau bersahabat dengannya?

Hari-hari pun berlalu dengan rasa lesu sebab pertanyaan-pertanyaan itu. Aku menjadi semakin sering memperhatikan pengemis-pengemis di kota. Kalian mungkin tahu peribahasa dari mata turun ke hati? Nah bagaimana jika sepasang mata yang kalian tatap adalah milik seorang pengemis? Aku merasa sedang terserap ke jurang neraka jika memandang kedua mata mereka. Betul! Hal itu pernah kualami.

Aku masih mengingat persis perasaan itu ketika banjir panen buah mangga menyerbu kota Purwokerto. Melimpahnya buah mangga membuat pasaran buah-buahan lokal hancur, termasuk pisang. Banyak toko buah dan pelanggan yang tak berminat membeli pisang-pisang yang kubawa. Hal ini membuatku putus asa.

Aku berhenti di emperan toko yang sedang tutup, sembari memikirkan satu keranjang penuh tumpukan pisang dengan kondisi sudah menguning dan lebam akibat terlalu lama dibawa kesana kemari beberapa hari.

Rasa kesalku memuncak, lalu aku mendapat gagasan untuk membuang saja tumpukan pisang yang menyiksa itu. "Lebih baik buang pisang daripada buang waktu" begitulah pikiran memprovokasiku. Aku pun langsung bergegas mencari tempat yang pas membuang pisang-pisang ini. Urusan laporan ke kelompok tani nanti bisa dipikirkan belakangan.

"What Is Hell?

I maintain that it is the suffering of being unable to love" - Fyodor Dostoevsky, The Brother Karamazov.

Aku terhenti di lampu merah perempatan jalan raya jantung kota Purwokerto. Langit kelabu, panas dan deru motor membuat kejengkelan di hati kian tak tertolong. Tak ada yang menguasaiku kecuali pikiran kacau di kepala sebelum seorang pengemis dengan kursi roda, seorang diri melintas di depan. Tentu saja, badanku pun menjadi lesu.

Pengemis itu berpindah dari mobil ke mobil dengan muka kecewa menerima penolakan dari para pengendara. Rasa pasrah, memprotes, ikhlas, menyumpah, marah dan sedih bercampur menjadi satu tersirat di mukanya. Aku terus mengikuti gerakannya yang kepayahan menggerakan kursi roda hingga ia tepat berada di hadapanku. Sepasang mata kami saling menatap beberapa detik dan kami saling terdiam.

Kedua mata pengemis bagai lubang yang menghisapku masuk ke dalam duka dan derita yang ia alami serta ia simpan sendiri di dalam hatinya. Aku merasa jatuh ke dalam neraka. Aku tidak tahu apakah ini hanyalah pantulan dari perasaanku saja? Namun yang jelas, beberapa detik ini begitu menyiksa.

Beruntung! ketegangan dan perasaan tak karuan beberapa saat itu terhenti setelah aku teringat pada tumpukan pisang tak laku di keranjang motor. Banyak pisang buah yang masih lumayan bagus, setidaknya jika dinominalkan, satu sisir buah pisang bernilai lebih dari sekedar recehan atau ribuan rupiah yang biasa ia terima. Aku pun bergegas mengambil satu sisir pisang raja dan memberikan padanya.

"Ini pak, pisang organik, biar ibu selalu sehat dan semangat" ujarku padanya.

"Terimakasih nak, semoga lancar rejekinya dan laris dagangannya nak." Kira-kira begitulah balasnya dalam bahasa Jawa halus. Bapak pengemis itu berlalu dengan sepasang mata yang sejuk dan tak pernah kulupa, yakni sepasang mata yang baru saja disirami harapan hidup.

Berbagi Pisang, Caraku untuk Bahagia dan Membahagiakan Orang yang Membutuhkan

Setelah kejadian di pertigaan lampu merah itu, aku menemukan cara untuk meredam api neraka yang membakarku hidup-hidup. Kebencian kesengsaraan, penderitaan adalah neraka yang hanya bisa kita padamkan dengan cinta dan kasih sayang.

Ekspresi cinta bisa kita lakukan dengan berbagi. Melalui berbagi, kita tidak hanya sedang membahagiakan orang lain, namun juga mengobati diri sendiri, menyembuhkan hati kita yang terluka.

Berbagi dan memberi membuat siapapun merasa dicintai sehingga ia akan mencintai diri dan nasibnya. Cinta sangat penting untuk membuat orang memiliki semangat hidup walau ribuan luka telah menggores. Apakah kau memahaminya seperti ini juga kawan?

Sejak pengalaman dan pemahaman ini kuperoleh, aku sering membagikan pisang ke orang-orang yang kurang beruntung di kota. Anehnya, aku tak merasa rugi dan tak lagi membenci pisang-pisang yang tak laku. Aku justru merasa damai penuh di rongga dada.

Aku juga lebih bersemangat di tengah sulitnya ekonomi menyerang seperti saat ini. Aku bahkan berangan-angan, kelak jika aku telah berhasil, akan kubuat spot-spot buah gratis untuk orang-orang bernasib tak beruntung dan menyantuni anak yatim piatu. Mereka harus selalu sehat dan memiliki harapan untuk mengatasi hidup.

Di tengah asyik berkhayal tentang rencana menarik diatas, sebuah pesan Whatsapp dari ibuku masuk. "Nak, kapan kamu pulang? Ibu sudah kangen" begitu bunyi pesan itu. Pesan itu menghujam jantungku.

Rasa lesu kembali menyerang mengingat sudah hampir setahun di perantauan aku belum menjenguk kedua orang tua di rumah. Selain pandemi Covid 19 menahanku di tanah rantau, aku tak punya cukup uang untuk pulang. Bahkan, aku justru mengurangi penghasilanku untuk dibagikan kepada orang lain. Ya ampun!

Semua Orang Adalah Sinterklas

Aku terus memikirkan ayah dan ibu sepanjang jalan mencari kantor-kantor agen pengiriman barang. Semalam, kelompok tani menugaskanku untuk mensurvei harga dan jenis layanan yang disediakan oleh berbagai agen pengiriman di Purwokerto yang bisa digunakan.

Aku tiba di kantor JNE Purwokerto lalu duduk menunggu antrian. Pikiranku tak tenang mengingat baktiku pada kedua orang tua yang belum kunjung bisa kuwujudkan, bahkan untuk sekadar menengok mereka di rumah. Padahal, aku telah berjanji akan meringankan beban biaya sekolah adik-adiku yang ditanggung mereka. Aku merasa telah gagal menjadi anak yang dibesarkan dengan susah payah oleh mereka.

"Oh iya mas, khusus tanggal 25 Desember 2020, kita gratiskan ongkos pengiriman ke seluruh wilayah" Mbak teller JNE mengakhiri penjelasan informasi layanan dan harga di JNE dengan kabar menarik tersebut. Aku menyimak informasi yang ia berikan dengan pikiran masih terpaku pada kedua orang tuaku.

"Oh ya? Wah menarik sekali, Saya bawa informasi ini ke teman-teman kelompok tani di rumah." Layanan gratis pengiriman barang itu begitu menarik. Entah mengapa kemudian ada sesuatu yang membuat promo JNE itu terasa begitu personal dan intim bagiku pribadi. Aku tak pernah merasa sedemikian dekat ketika mendapat tawaran promo menarik lainnya. Namun apa yang membuatnya special?

Aku terus dibuat heran oleh perasaanku sendiri sampai saat kupegang keranjang buah pisang, aku pun terkaget menyadari sesuatu.

"Ya ampun! Semua orang bisa jadi Sinterklas dengan layanan ini!" sesampai di rumah kelompok tani, aku bergegas meraih kertas dan pulpen. Kuputuskan untuk mengirim satu sisir buah pisang kepada ayah dan ibu di rumah serta sebuah surat untuk menjawab rasa kangen mereka. 

Buah pisang tentu tak seberapa harganya, namun melalui surat ini, aku ceritakan bahwa aku telah menunaikan amanah mereka untuk menjadi manusia yang berguna kepada sesama. Buah pisang inilah yang akan bercerita.

Maaf anakmu belum bisa pulang dan mengirim uang. Setidaknya, pahala amal perbuatan baik di perantauan ini yang baru bisa kubaktikan. Sebuah oleh-oleh tak kasat mata untuk ayah dan ibu di rumah. Semoga ini kado terbaik di 25 Desember tahun ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun