Bila memiliki bukti dugaan pelanggaran atau perbuatan melawan hukum, silakan laporkan kepada penegak hukum". Ia melanjutkan, "sesegera mungkin, segala tuduhan dan fitnah yang tidak berdasar dan tidak didasarkan kepada fakta, UIN Jakarta secara institusi akan melakukan tindakan tegas dan berkoordinasi dengan aparat kepolisian" (sumber).
Ungkapan tersebut sah-sah saja dan jika memang tidak ada jual beli jabatan mengapa harus takut? Dan yang perlu diingat konteksnya tidak hanya membicarakan UIN Jakarta saja, tapi UIN Makassar, UIN Malang, dan Kemenag secara umum. Semuanya saya yakin belum lupa, ILC Selasa lalu mendiskusikan tentang Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap Ketua Umum PPP, Romahurmuziy yang kemudian menyeret Lukman Hakim Saifuddin sebagai Menteri Agama.
Wajar saja jika semua pihak melakukan analisis tentang kebobrokan Kemenag yang kemudian dihubungkan dengan Perguruan Tinggi Agam Islam (PTAI), berhubung ada beberapa narasumber yang bekerja sebagai staf, dosen, dan mantan rektor. Saya ingatkan dalam sebuah diskusi terjadi dialektika yang sangat dinamis dan masih perlu analisis lebih lanjut, itu adalah hal yang wajar. Sekali lagi seharusnya Ibu rektor tidak harus takut jika memang tidak salah, kami bersama rektor! Seperti aksi demo segerombolan mahasiswa hari Kamis lalu (21/3).
Menyoal Peraturan Menteri Agama
Sudah bukan hal yang aneh, apapun diskusi yang diadakan ILC akan menjadi trending topic, sehingga memberikan ruang untuk orang lain menganalisa lebih lanjut. Hal itupun dilakukan oleh salah satu dosen UIN Jakarta, Zezen Zainal Mutaqin. Ia membuat opini yang dimuat oleh koran Sindo, Jum'at kemarin (22/3). Judul opininya adalah Sengkarut Pemilihan Rektor di Kemenag ia menyoal Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 68 tahun 2015, dimana rektor perguruan tinggi agama negeri di bawah Kemenag dipilih, diangkat, dan ditetapkan menteri (pasal 5-8).
Ia berpendapat bahwa dari sudut apapun orang yang berakal sehat akan menolak peraturan ini, karena kampus adalah benteng kreativitas, independensi, kejujuran, dan keterbukaan yang bisa berfungsi sebagai penyeimbang demokrasi. Alhasil jika pemerintah ikut campur urusan pemilihan rektor maka kampus beralih fungsi menjadi kepanjangan tangan rezim.
Lalu ia membantah alasan Kemenag jika alasannya adalah untuk melakukan depolitisasi dalam kampus saat pemilihan rektor terjadi melalui senat universitas. Kemenag memandang pemilihan lewat senat rentan terjadi polarisasi politik antara yang menang dan yang kalah. Bagi Zezen alasan itu sangat tidak masuk akal sehat, ia menjelaskan justru dengan diberlakukannya PMA No 68 tahun 2015, politisasi semakin meluas sampai tingkat nasional.
Jika dulu calon rektor hanya melakukan konsolidasi dengan senat, sekarang yang terlibat lebih banyak misalnya, anggota dewan, pejabat di Kemenag, dan ormas keagamaan. Memindahkan pemilihan rektor ketangan menteri sama saja menjerumuskan kampus kepada politik yang lebih luas. Kesimpulan dari opini Zezen adalah mengembalikan fungsi senat universitas untuk memilih rektor karena mereka lebih tau kultur dan kebutuhan kampusnya.
Tidak hanya dosen saja yang merespon isu itu, rektor UIN Jakarta periode 2006-2010 dan 2010-2015 Prof. Komaruddin Hidayat pun memberikan tanggapan tentang PMA, "Mana kampus yang sudah mapan, sebaiknya diberi otonomi penuh. Karena profesor dan anggota senat lebih tahu siapa yang bisa memimpin. Karena mereka tahu sehari-harinya" (sumber: https://tirto.id/respons-komaruddin-hidayat-soal-dugaan-jual-beli-jabatan-rektor-uin-djV5). Komaruddin menyarankan agar kampus-kampus kecil lah yang harus lebih diperhatikan, biarkan kampus sebesar UIN Jakarta berkembang secara otonom.
Tak gentar kalau Ibu rektor benar
"Orang benar tidak perlu takut!" begitu kata bapak saya yang hanya seorang buruh, bukan seorang yang sangat terpelajar dengan gelar Profesor. Adapun kritik dan isu yang berkembang adalah bagian dari dinamika kepemimpinan, bukankah rektor-rektor sebelumnyapun sering dikritik, di demo oleh mahasiswa ketika mereka salah? Jadi Ibu rektor yang baru tidak usah gelisah, maklumilah mereka yang mendemo terutama mahasiswa ibu sendiri, mereka juga kan anak-anak ibu yang harus didengar suaranya.