1/
Di sini, sebait doa kita langitkan
Mengalir rancak bersama deburan hujan
Yang setia mengeja bumi, mengeja kegalauan
Mungkin hujan adalah tanda
Yang acapkali kita jamu di beranda
Tanda-tanda duka; pekabaran sembilu, sajak rintih
Surat vonis, suara kematian, dan selaksa lagu pedih
Tapi kita hanya pejalan yang masih belajar menafsir hujan
Entah ia adalah tanda duka, atau ia yang disebut murka
2/
Di sini, kita semakin gagu mendiami beranda
Yang tiada alpa menjamu angin, menjamu risau dalam dada
“semoga kabar yang kudengar tidaklah benar
Atau ia hanya kelakar, tentang senyummu yang selalu tegar”
Seperti senja ini, senja yang selalu basah
Senja yang menimang cakrawala dengan gelisah
Kita senantiasa menasbih langit, juga mendaras duka
Agar tersampai padamu, serupa doa yang merekah
Tapi kita hanya pejalan yang tak dapat memutus sepakat
Entah ia akan sampai atau tertanam dalam surga yang nikmat
3/
Tapi bagaimana pun, kita mesti tetap di sini
Mengaji hujan di beranda, mengaji ketabahan
“Gusti, semisal Ayub yang Kauuji dengan kenikmatan
Datangkan padanya kenikmatan yang lebih betapa!”
Hingga malam datang bertandang, perlahan, perlahan,
Doa yang telah kita langitkan, membubung menerbang
Mencengkeram angkasa dan cakrawala semakin remang
Tapi kita hanya pejalan yang memeram segumpal keyakinan;
Tuhan akan datang, dan menganugerahimu tetes-tetes kesembuhan
Jember, 25 Januari 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H