Mohon tunggu...
Alif Putra Mustiko
Alif Putra Mustiko Mohon Tunggu... Penulis - International Relations Student

Jika membaca adalah jendela dunia, maka dengan menulis kita bisa menikmati apa yang ada dibalik jendela tersebut.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Globalisasi dalam Perkembangan Teknologi dan Informasi terhadap Ancaman Keamanan Negara (Analisis Kasus Saracen di Indonesia)

18 Maret 2020   14:14 Diperbarui: 18 Maret 2020   14:20 3662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tujuan mereka menyebarkan konten tersebut lebih dari sekedar persoalan ekonomi. Media-media yang mereka miliki seperi situs ataupun akun Facebook, akan memposting berita atau konten yang tidak sesuai dengan kebenaran aslinya dan tergantung pesanan. Kelompok ini menetapkan tarif bernilai puluhan juta dalam propsalnya yang mereka kirimkan ke sejumlah pihak.

Ruby Alamsyah seorang ahli IT menjelaskan bahwa berita hoax, dan berbagai provokasi bernuansa SARA dan kebencian di media sosial tak semata tindakan yang dijalankan oleh suatu individu melainkan sudah terorganisir dan berorientasi pada komersial. Teknik kemajuan rekayasa sosial yang mereka gunakan adalah melakukan efek berlipat ganda, yang pada muaranya dari 800.000 bisa sekitar 1 jutaan sekali beredar. Kelompok seperti ini biasanya muncul dikarenakan adanya dugaan kepentingan kelompok tertentu. Mereka disewa untuk menyebarkan uajaran kebencian.

Fenomena Saracen dan Pola Yang Dilakukan

Douglas Kellner menyebutkan bahwa internet adalah seperangkat teknologi yang secara menjanjikan sangat demokratis. Dengan jaringan internet, orang akan memiliki akses terhadap teknologi ini dapat masuk dan terlibat dalam ruang komunitas, website, situs-situs konfernesi yang memungkinkan komunikasi bejalan interaktif. Akan tetapi sindikat Saracen ini merusak apa yang sudah dikatakan oleh Douglas Kellner tesebut karena menyalahgunakan keberadaan internet  dengan melakukan “dirty economic-politic practies”.

Pertanyaan yang muncul sekarang adalah fenomena apakah Saracen itu? Mampukah sebuah negara lewat masyarakatnya mencegah ancaman non-militer seperti ini? Dan bisakah dikemudian hari sebuah negara bisa mengantisipasi kejahatan siber yang dilakukan oleh sindikat dalam atau luar negeri seperti sindikat cyber transnational crimes ataupun cyber terror attacks?

Kasus penyebaran hoax dalam hal ini kasus Saracen, umumnya mempunyai tiga desain atau pola yaitu pertama, informasi yang dibagikan lalu disebarkan dan mendapatkan kekisruhan opini publik hingga dengan mudah mendapatkan perhatian dari masyarakat. Kedua, Penyebaran berita bohong umumnya memakai sumber orang yang sudah dikenal publik kendati informasi itu dipotong, dipelintir dan difabrikasi. Ketiga, penyebar hoax bergerak dalam sindikasi dengan menyebarluaskannya informasi itu di berbagai platform media sosial.

Ketiga pola tersebut kemungkinan besar dipakai oleh kelompok Saracen. Selain itu, dapat dilihat bahwa Saracen terinspirasi pendapat Goebbles, Menteri Propaganda pada saat masa Adolf Hitler. Goebbels berkata, “Kepalsuan atau berita hoax yang diulang berkali-kali akan menjadi kebenaran dan dipercaya masyarakat”.

Hal inilah yang membuat fenomena kelompok Saracen adalah masalah yang begitu kompleks dan berimplikasi sangat luas. Dan sangat jelas juga bahwa hal ini memperlihatkan bahwa Indonesia masih menyimpan kerentanan yang besar terhadap kejahatan siber. Jika persoalan seperti gagal atau sulit untuk diatasi maka akan menimbulkan ancaman keamanan negara yang serius dan berefek pada terganggunya perekonomian ke depan yang akan depegang penuh oleh apa yang desebut sebagai viral market melalui e-commerce yang jelas membutuhkan kekuatan negara di bidang keamanan siber.

Fenomena lain yang bisa menggambarkan dari kasus Saracen adalah eksisnya sindikat ini (sebelum terbongkar) disebebkan oleh budaya kemalasan dari masyarakat Indonesia untuk melakuakan 3 hal yaitu check, recheck, dan crosscheck. Padahal untuk memastikan sebuah berita itu benar tidaknya dapat dilakukan dengan berbagai cara.

Pertama, cari sumber berita yang sama dari situs yang resmi. Berita hoax atau bohong seting menggunakan judul yang menarik perhatian orang dan provokatif.

Kedua, masuk dan manfaatkan grup diskusi untuk mengkaji lebih dalam berita yang terindikasi hoax seperti Forum Anti Fitnah, Hasut dan Hoax (FAFHH), Fanpage & Grup Discussion Hoax Buster dan Fanpage Indonesian Hoaxers. Ketiga, gunakan media lain untuk mengecek ulang konten berita. Amnesty International merekomendasikan agar pengguna salah satu platform media sosial yaitu youtube juga mengecek konten dengan bantuan YoutubeDataViewer.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun