A. PENDAHULUAN
Makam merupakan sebuah monumen peristirahatan terakhir yang juga menjadi simbol penghormatan terhadap nilai yang dimiliki oleh individu semasa hidupnya. Di pulau Jawa sendiri, makam seringkali ditemukan dengan kijing, batu penutup makam terbuat dari semen, batu bata, atau pualam dan terpisah dengan nisan (Anamiyatuzzulfa, 2022). Bentuk dari kijing dan nisan ini kian bervariasi, seringkali disesuaikan dengan identitas mendiang yang diistirahatkan disana. Salah satu makam dengan bentuk kijing dan nisan yang menarik perhatian adalah pusara milik pasangan suami istri pendiri Museum Batik Yogyakarta, Hadi Nugroho dan Dewi Sukaningsih.
Makam Hadi Nugroho dan Dewi Sukaningsih ini terletak di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Utoro Loyo. TPU Utoro Loyo merupakan salah satu dari empat makam umum yang dikelola oleh Dinas Pemukiman Prasarana Wilayah. Lokasi di dalam wilayah pemakamannya sendiri sangat mudah untuk ditemukan, yakni di sebelah kanan pintu masuk makam. Makam tersebut berdiri dengan megah jika disandingkan dengan makam-makam lain di sekitarnya, membuatnya mudah untuk dikenali oleh pengunjung yang baru melewati gerbang depan tempat pemakaman.
Pada makam ini, terdapat sebuah plakat berwarna hitam dihiasi tulisan emas yang mencantumkan bahwa makam ini milik pendiri Museum Batik Yogyakarta bernama R. Ngt. Dewi Sukaningsih dan R. Hadi Nugroho, lengkap dengan tanggal lahir dan wafat mereka. Plakat itu tersambung pada sebuah patung berbahan kuningan yang dibentuk dan diukir untuk menyerupai sehelai kain batik tersampir pada sebuah gawangan. Terdapat tujuh ukiran motif batik pada helaian kain patung kuningan tersebut, motif-motifnya adalah truntum, Megamendung, Parang, Tapak Dara, Kawung, Tambal, dan Cuwiri. Pada bagian gawangan patung, terdapat ornamen yang tertata simetris dengan titik tengah berupa bentuk Gurda di bagian atasnya. Ukiran dekoratif berwarna emas mengitari sisi-sisi makam. Terakhir, terletak sebuah patung Yesus yang mengenakan jubah bermotif batik di posisi belakang makam. Terdapat simbol hati yang pada dadanya yang disentuh dengan tangan kirinya. Lengan kanannya terangkat dengan telapak tangan yang menghadap ke depan.
Estetika pada kijing ini tidak hanya terdapat pada aspek visualnya saja namun juga menggambarkan entitas budaya yang kompleks. Latar belakang dan berbagai simbol tradisional yang terdapat dalam ornamen batik tersebut menjadikan makam ini menarik untuk dikaji melalui segi estetikanya.
Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mengkaji simbol-simbol estetika dan filosofis yang terkandung dalam bentuk dan motif batik dalam kijing dan nisan makam pendiri Museum Batik Yogyakarta. Hal ini meliputi analisis terhadap desain, ornamen, serta simbol-simbol lain pada kijing tersebut yang dapat memberikan jawaban bagaimana peran kijing sebagai media komunikasi visual dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk memudahkan penelitian ini, diperlukan dasar teori yang dapat dijadikan acuan dalam mengkaji simbol-simbol yang terdapat pada kijing makam. Teori yang digunakan mencakup lima sila estetika desain yang disampaikan di kelas estetika oleh Sumbo Tinarbuko dan teori tiga fungsi dasar desain komunikasi visual dari Christine Suharto Cenadi. Teori Cenadi menyatakan bahwa desain komunikasi visual memiliki tiga fungsi dasar: sebagai alat identifikasi, sarana informasi dan instruksi, serta sarana presentasi dan promosi. Kemudian, pada teori lima sila dasar estetika desain mencakup: kesederhanaan; masa depan (noveltis); simbol; tata nilai dan tata kelola peradaban; feminitas dan maskulinitas. Penelitian ini mengambil sila masa depan (noveltis), simbol, dan tata peradaban sebagai landasan teorinya.
Berdasarkan data simbol-simbol yang ditemukan selama observasi langsung ke makam pendiri museum batik, penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Pendekatan ini memungkinkan untuk penggalian makna dan konteks budaya yang terkandung dalam simbol-simbol pada kijing tersebut. Dengan menggabungkan studi pustaka dan pengumpulan data langsung dari lapangan, akan lebih mudah untuk memahami simbol-simbol yang ada dengan lebih mendalam.
Selain untuk memahami makna simbol-simbol pada makam, penelitian diharapkan dapat memberikan pandangan baru dibandingkan penelitian terdahulu dalam memahami hubungan antara desain, identitas, dan simbol kijing pada pemakaman menggunakan pendekatan teori lima sila estetika desain. Hal ini juga menjadi kontribusi pada ilmu desain komunikasi visual dengan penerapan teori lima sila terhadap objek desain yang seringkali disepelekan oleh masyarakat umum.
B. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan uraian pada bab terdahulu, analisis kijing dalam konteks estetika desain dilakukan melalui dua pendekatan. Analisis tahap pertama dilakukan dengan mengidentifikasi Tiga Fungsi DKV yang terdapat pada nisan Dewi Sukaningsih dan Hadi Nugroho.
Pada perincian berikut, dijabarkan mengenai fungsi identitas, informasi, dan promosi yang terdapat pada makam tersebut.
1. Identitas
a. Simbol Salib
Untuk menyampaikan identitas religi dari orang yang dimakamkan, yaitu Katolik.
b. Tulisan “R. Ngt. DEWI SUKANINGSIH” dan “R. HADI NUGROHO”
Untuk menyampaikan nama dan gelar para mendiang yang dikuburkan di makam ini.
2.Informasi
a. Tulisan “PENDIRI MUSEUM BATIK YOGYAKARTA”
Untuk menyampaikan bahwa para mendiang mendirikan Museum Batik Yogyakarta.
b. Tulisan “LAHIR : 12 MEI 1931”, “WAFAT : 08 JUNI 2016”, “LAHIR : 10 DESEMBER 1926”, dan “WAFAT : 3 SEPTEMBER 2009”.
Untuk menyampaikan detail informasi hari, bulan, dan tahun dari masing-masing mereka lahir dan wafat.
3. Promosi
a. Tulisan “PENDIRI MUSEUM BATIK YOGYAKARTA”
Diletakkan untuk menaikkan kesadaran akan Museum Batik Yogyakarta bagi para pengunjung dan memberitakan pencapaian yang ingin dibanggakan oleh para mendiang serta keluarganya.
Selanjutnya, analisis tahap kedua menggunakan Lima Sila Estetika Desain sebagai indikator kualitas estetika suatu objek pengamatan (Tinarbuko, 2024). Kelima sila tersebut di antaranya adalah: 1) kesederhanaan; 2) kebaharuan (novelties); 3) simbol; 4) tata nilai dan tata kelola peradaban; dan 5) feminitas dan maskulinitas. Dalam pembahasan ini, digunakan tiga sila, yakni kebaruan, simbol, serta tata nilai dan tata kelola peradaban sebagaimana pada perincian berikut.
1. Kebaruan
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada makam pendiri museum batik Yogyakarta, terdapat aspek kebaruan dalam desain dan konstruksi makam. Unsur orisinalitas dan kebaruan yang ditemukan pada makam ini antara lain:
a. Patung Religius
Pada umumnya, makam-makam di kawasan ini tidak menggunakan patung religius sebagai elemen utama. Namun, makam ini memiliki patung Yesus berwarna putih gading dengan ukuran besar yang menjadi focal point dari keseluruhan bagian makam. Pakaian yang dikenakan oleh figur religius tersebut disertai dengan kain bermotif batik, menambah keunikan dan memperkaya unsur budaya lokal dalam desain makam.
b. Bentuk Nisan
Nisan makam ini berbentuk gawangan atau struktur lengkungan yang disampiri dengan kain batik berwarna kuning keemasan. Terbuat dari material logam (kemungkinan kuningan) yang dihiasi dengan ukiran- ukiran rumit dan detail, memberikan kesan mewah dan megah. Pada nisan terdapat simbol salib, mengindikasikan latar belakang religius atau keagamaan dari pemilik makam.
c. Ketinggian Pondasi
Berbeda dengan makam-makam di sekitarnya yang cenderung rendah dan sederhana, makam ini memiliki pondasi yang lebih tinggi, sekitar 0,5 meter dari permukaan tanah. Hal ini menciptakan kesan megah dan monumental, serta menandakan adanya perlakuan khusus dalam konstruksi makam ini.
d. Kekayaan Ornamen
Makam ini kaya akan detail ornamen yang kompleks dan menyeluruh. Mulai dari ukiran floral dan geometris berbahan kuningan, panel dekoratif dengan motif draperi, hingga kanopi alami dari tanaman merambat. Kombinasi elemen-elemen ini menciptakan visual yang unik dan jauh berbeda dari makam-makam di sekitarnya.
e. Elemen Alam
Keunikan lainnya adalah adanya elemen alam berupa tanaman merambat yang membentuk kanopi di atas patung. Hal ini memberikan sentuhan alami dan menciptakan interaksi antara buatan manusia dan alam.
Secara keseluruhan, makam ini memiliki banyak aspek novelty jika dibandingkan dengan makam- makam lain di kawasan tersebut. Mulai dari dihadirkannya patung religius dengan ukuran yang dominan, ketinggian pondasi, bentuk nisan, ornamen, serta elemen pemakaman yaitu vegetasi berupa tanaman rambat pada kanopi yang membingkai patung secara artistik.
2. Simbol
Simbol sebagai indikator estetika desain merujuk pada unsur kesederhanaan, kreativitas, dan hal-hal yang bersifat matematis. Dalam konteks kijing, ornamen tertentu dapat menjadi simbol yang merepresentasikan legasi dan kejayaan sang empu makam semasa hidupnya. Dengan kata lain, bentuk ornamen memuat makna identitas dan pengaruh dari pemilik makam. Demikian pula pada kijing milik Dewi Sukaningsih dan Hadi Nugroho, Pendiri Museum Batik Yogyakarta. Analisis makna simbolik tiap-tiap ornamen pada kijing tersebut dijabarkan dalam perincian berikut.
a. Patung Yesus
1. Penempatan patung Yesus, Tuhan dalam agama Kristiani, merupakan simbol dari identitas keagamaan dari mendiang–menunjukkan agama yang dianutnya semasa hidup.
2. Simbol “The Sacred Heart of Jesus” (Hati Kudus Yesus) mengandung makna cinta kasih Tuhan yang tak terbatas bagi umat manusia sebagaimana disebutkan dalam Kitab Perjanjian Baru. Patung Yesus tersebut menunjuk simbol tersebut dengan tangan kirinya dan tangan kanannya terangkat—dengan kedua tangan-Nya berbekas luka. Menurut Bapa Matthew MacDonald (2023), gestur ini mempunyai dua makna, yakni:
Makna pertama yaitu Yesus berkeinginan membawa jemaat-Nya ke dalam Hati Kudus-Nya. Hal tersebut berarti melewati luka di sisi Yesus yang sebelumnya pernah mengalirkan darah dan air. Bapa MacDonald mengemukakan bahwa dalam Hati Kudus-Nya, jemaat terlahir kembali sebagai anak-anak Tuhan. Oleh karena itu, dibawa ke dalam Hati Kudus Yesus bermakna menanamkan jati diri dalam Yesus dan menerima pancaran mata air keselamatan. Dengan begitu, jemaat akan merasakan kehadiran Yesus dalam suka-duka kehidupannya sebagai cara mempersiapkan diri untuk persatuan ilahiah dengan-Nya di Surga.
Makna kedua dari gestur tersebut adalah Yesus berkeinginan memberikan Hati Kudus-Nya kepada jemaat agar ia mencintai sesamanya dengan hati dan cinta Yesus. Gestur tersebut merupakan penggenapan nubuat dari Yehezkiel, “Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras dan Kuberikan kepadamu hati yang taat.” (Yehezkiel 36:25-28)
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa gestur Patung Yesus mengandung sejumlah makna simbolik berikut.
1. Makna gestur patung Yesus sebagai “ajakan untuk kembali ke hati Yesus untuk mendapat keselamatan (salvation) dapat diinterpretasikan sebagai simbol dari dua hal, yakni: 1) pengharapan keluarga agar kedua mendiang mendapat keselamatan dalam kekekalan; dan 2) deklarasi bahwa mendiang (dan keluarga) senantiasa melibatkan Tuhan dalam suka-duka kehidupan dunianya sebagai persiapan untuk persatuan ilahi dengan Yesus di surga.
2. “Pemberkatan Hati Kudus Yesus” yang dimaksudkan pada makna kedua dapat diinterpretasikan sebagai pengingat bagi peziarah untuk mencintai sesama dengan cinta kasih yang berani dan tak berbatas sebagaimana dicontohkan oleh Yesus.
3. Batik Sidomukti mempunyai makna yang sejalan dengan makna spiritual pada patung Yesus. Batik asal Surakarta tersebut merupakan motif batik yang umum digunakan oleh calon dan pengantin pada kegiatan lamaran dan pernikahan. Batik Sidomukti adalah salah satu batik klasik Jawa yang umumnya dikenal sebagai “batik keraton”. Batik keraton sendiri merupakan jenis batik yang ditandai dengan warna coklat yang berasal dari bahan pewarna tanaman soga. Secara filosofis, warna coklat menyimbolkan tanah dan bersifat membumi. Berdasarkan makna tersebut, warna coklat dapat diinterpretasikan sebagai simbol asal-muasal penciptaan manusia—“dari tanah kembali ke tanah”.
Berdasarkan keterangan tersebut, dapat diinterpretasikan bahwa penggunaan warna dan motif batik tersebut sebagai ornamen kijing dapat mengandung makna yang amat mendalam: mendiang Hadi Nugroho dan Dewi Sukaningsih adalah sepasang suami-istri yang bersama-sama mengarungi hidup dengan ikatan yang senantiasa abadi hingga tempat peristirahatan terakhir kedua mendiang—keduanya adalah pasangan sehidup semati.
Didukung dengan karya ibu Dewi Sukaningsih berupa potret sulam Paus Yohanes Paulus yang juga dipamerkan dalam museum, dapat disimpulkan bahwa pasangan Hadi Nugroho dan Dewi Sukaningsih adalah penganut agama Katolik. Implementasi patung Yesus mengenakan kain batik pada ornamen makam kedua mendiang merupakan simbol atas identitasnya semasa hidup sebagai seorang Katolik sekaligus pendiri Museum Batik Yogyakarta.
b. Patung gawangan dan kain batik
Gawangan merupakan alat kelengkapan batik berupa sebidang gantungan memanjang untuk menyampirkan kain sehingga terbentang tegak. Gawangan dirancang untuk dua fungsi, yaitu kegiatan membatik dan sebagai perangkat pameran. Gawangan untuk membatik umumnya terbuat dari bambu dan bersifat sederhana, sedangkan gawangan untuk keperluan pameran umumnya didesain secara mewah dan dilengkapi ukiran pada bagian atasnya. Patung gawangan yang menghiasi nisan Dewi Sukaningsih dan Hadi Nugroho merupakan jenis yang kedua.
Diketahui bahwa semasa hidupnya, mendiang dan keluarganya akrab dan amat menyenangi budaya Jawa, salah satunya batik. Perkembangan industri yang memunculkan inovasi batik printing mengakibatkan banyak perusahaan batik tulis dan cap yang berhenti beroperasi. Sebagai penggiat budaya, Dewi Sukaningsih dan Hadi Nugroho tidak dapat menerima batik tradisional hilang ditelan zaman. Berdasarkan keterangan tersebut, kehadiran patung gawangan pada nisan dapat diinterpretasikan sebagai simbol nilai perjuangan kedua mendiang dan motivasi mereka dalam mendirikan Museum Batik Yogyakarta. Patung gawangan merupakan simbol resistensi dan solidaritas bersama pekerja batik tradisional sekaligus semangat melestarikan budaya Jawa dalam bentuk paling autentik.
Pada patung kain batik dan gawangan, terdapat ukiran motif batik pada permukaan kain. Motif tersebut diidentifikasi sebagai motif batik truntum, mega mendung, parang, tapak dara, kawung, tambal, dan cuwiri. Pada perincian berikut dijelaskan makna dari masing-masing motif batik tersebut.
Truntum
Batik Truntum diciptakan beliau sebagai simbol cinta tulus tanpa syarat, abadi, dan akan terus berkembang subur (tumaruntum). Orang tua mempelai mengenakan motif batik Truntum saat acara perkawinan sebagai simbol agar cinta yang tumaruntum (terus tumbuh dan berkembang) dalam kehidupan pasangan mempelai.Mega Mendung
Berasal dari dua kata yakni “mega” berarti awan dan “mendung” yang dapat diartikan sebagai cuaca yang sejuk, batik Mega Mendung bermakna awan gelap yang terlihat saat cuaca sejuk. Filosofi yang terkandung pada batik Mega Mendung bahwa manusia semestinya mampu meredam emosinya baik dalam situasi dan kondisi apapun selayaknya awan mendung yang muncul dan menyejukkan suasana di sekitarnya (Anita, 2019).Parang
Filosofi utama batik ini menggambarkan bahwa manusia tidak boleh menyerah dalam menjalani hidup, seperti ombak yang tidak henti-hentinya bergerak (Rifda, 2023). Keterikatan pada motif dapat menggambarkan anak yang akan melanjutkan perjuangan orang tuanya, sedangkan garis diagonal lurus dimaknai sebagai penghormatan, cita-cita, serta kesetiaan.Tapak dara
Tapak Dara menggambarkan kesuburan, kehidupan, serta keseimbangan energi dalam tubuh. Diyakini dalam budaya lokal bahwa motif Tapak Dara dapat membawa keberuntungan dan kesehatan.Kawung
Kawung berkaitan dengan kata suwung yang dalam bahasa Jawa berarti kekosongan (Lavira, 2022). Motif ini melambangkan kekosongan nafsu duniawi dan pribadi yang bijaksana.Tambal
Tambal memiliki ciri khas motif segitiga yang berbentuk seperti susunan tambalan. Terdapat beberapa interpretasi tentang arti motif tambal, akan tetapi motif ini sering dimaknai sebagai fase-fase kehidupan yang penuh liku dan keberagaman (Pangesti, 2023).Cuwiri
Cuwiri secara harfiah berarti ‘kecil-kecil’ dalam bahasa Jawa. Batik ini umumnya digunakan dalam acara ‘mitoni’, acara tujuh bulanan anak bayi. Bagi orang dewasa motif ini dapat dimaknai sebagai harapan atas anugerah dan kemakmuran.
c. Ragam Hias Gurda (Garuda)
Gurda merupakan salah satu ragam hias yang umum ditemukan pada motif batik. Motif ini terinspirasi dari bentuk sepasang sayap (sawat) burung garuda yang dibentangkan. Dalam lingkungan Keraton Yogyakarta, motif gurda termasuk motif “batik larangan” yang secara eksklusif diperuntukkan bagi keluarga kerajaan dan kalangan tertentu. Aturan ini berkaitan dengan makna sayap garuda yang melambangkan keperkasaan.
Septiani (2020) mengemukakan bahwa motif gurda pada batik merupakan simbol kosmologi Jawa. Jika digabungkan dengan ragam hias pohon dan ular, motif gurda merupakan perlambang dunia atas (kehidupan setelah kematian), sementara motif pohon dan ular menggambarkan dunia tengah (kehidupan dunia yang fana), dan dunia bawah (lembah kesengsaraan). Motif ini mengandung hikmah jika seseorang mampu mengendalikan dunia bawah dan dunia tengahnya dengan baik–hal tersebut akan mengantarkannya kepada kehidupan dunia atas yang selamat dan sejahtera (Susanto dalam Septiani, 2020). Sebagai simbol kehidupan akhirat, penempatan ragam hias burung garuda pada nisan dapat diinterpretasikan sebagai pengharapan hal-hal baik bagi kehidupan akhirat kedua mendiang.
Berdasarkan perincian tersebut, ornamen kijing Pendiri Museum Batik Yogyakarta mengandung makna simbolik yang terperinci dan mendalam. Banyaknya unsur simbolik yang teridentifikasi menunjukkan nilai estetika yang cukup kuat.
3. Tata Nilai dan Tata Kelola Peradaban
Desain yang harmonis dan terstruktur pada makam ini menunjukkan bahwa masyarakat atau anggota keluarga yang bersangkutan memahami dan menghargai pentingnya keindahan dalam merepresentasikan penghormatan terhadap yang telah meninggal.
Nilai kemanusiaan tercermin pada pembuatan makam yang dilakukan dengan detail juga berkualitas tinggi, sebagai penghargaan terhadap martabat manusia bahkan setelah meninggal. Perawatan makam yang baik mencerminkan nilai-nilai penghormatan terhadap leluhurnya.
Pembuatan makam yang dilakukan dengan memperhatikan detail dan kualitas serta perawatan makam yang baik mencerminkan adanya nilai kemanusiaan, karena nilai-nilai penghormatan dan martabat orang yang meninggal tetap dijunjung tinggi meskipun sudah tiada.
C. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis yang sudah kami lakukan terhadap kijing pada pusara milik pasangan suami-istri Hadi Nugroho dan Dewi Sukaningsih, terdapat nilai-nilai estetika, sejarah, budaya, serta simbol-simbol filosofis yang berkaitan erat dengan identitas mereka sebagai pendiri Museum Batik Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan adanya tiga dari lima sila Estetika Desain yang terkandung di dalam desain makam tersebut, yaitu 1) Kebaruan, 2) Simbol, dan 3) Tata nilai dan Tata Kelola Peradaban. Elemen-elemen estetika ini dapat ditemukan di berbagai bagian makam tersebut dan semuanya tidak terlepas dari identitas pasangan sebagai pendiri museum batik. Seperti pada nisan berbentuk gawangan dan kain batik, elemen estetika tersebut menunjukkan berbagai koleksi dari Museum Batik Yogyakarta. Patung Yesus dengan sampiran kain batik Sidomukti pada kijing pun, selain menunjukkan identitas religi dari pasangan tersebut, juga merupakan motivasi dari berbagai karya Dewi Sukaningsih yang terdapat pada museum batik tersebut. Dapat disimpulkan bahwa suatu kijing tidak hanya digunakan sebagai penanda suatu kuburan, namun kijing juga dapat menjadi simbol yang memberi informasi serta merepresentasikan identitas serta budaya dari individu yang dikuburkan semasa hidupnya.
Disusun oleh:
Marsekal Aulia Putri Sulistijawan, Alifia Aidila Adha Handayani Wibowo, Arvitya Belva Clianta Wicaksana, Farid Ardhian Maulana, Gandhi Amado Benedict, Gizka Syahlaisya, Jihan Putri Alifah, Jihan Savira Enriyati, M. Syarif Hidayatullah, Nindy Aisah Putri Dinanti, Ni Putu Pica Wulandari, Nur Izzati Rasida
Prodi S1 Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI