Mega Mendung
Berasal dari dua kata yakni “mega” berarti awan dan “mendung” yang dapat diartikan sebagai cuaca yang sejuk, batik Mega Mendung bermakna awan gelap yang terlihat saat cuaca sejuk. Filosofi yang terkandung pada batik Mega Mendung bahwa manusia semestinya mampu meredam emosinya baik dalam situasi dan kondisi apapun selayaknya awan mendung yang muncul dan menyejukkan suasana di sekitarnya (Anita, 2019).
Parang
Filosofi utama batik ini menggambarkan bahwa manusia tidak boleh menyerah dalam menjalani hidup, seperti ombak yang tidak henti-hentinya bergerak (Rifda, 2023). Keterikatan pada motif dapat menggambarkan anak yang akan melanjutkan perjuangan orang tuanya, sedangkan garis diagonal lurus dimaknai sebagai penghormatan, cita-cita, serta kesetiaan.
Tapak dara
Tapak Dara menggambarkan kesuburan, kehidupan, serta keseimbangan energi dalam tubuh. Diyakini dalam budaya lokal bahwa motif Tapak Dara dapat membawa keberuntungan dan kesehatan.
Kawung
Kawung berkaitan dengan kata suwung yang dalam bahasa Jawa berarti kekosongan (Lavira, 2022). Motif ini melambangkan kekosongan nafsu duniawi dan pribadi yang bijaksana.
Tambal
Tambal memiliki ciri khas motif segitiga yang berbentuk seperti susunan tambalan. Terdapat beberapa interpretasi tentang arti motif tambal, akan tetapi motif ini sering dimaknai sebagai fase-fase kehidupan yang penuh liku dan keberagaman (Pangesti, 2023).
Cuwiri
Cuwiri secara harfiah berarti ‘kecil-kecil’ dalam bahasa Jawa. Batik ini umumnya digunakan dalam acara ‘mitoni’, acara tujuh bulanan anak bayi. Bagi orang dewasa motif ini dapat dimaknai sebagai harapan atas anugerah dan kemakmuran.
c. Ragam Hias Gurda (Garuda)
Gurda merupakan salah satu ragam hias yang umum ditemukan pada motif batik. Motif ini terinspirasi dari bentuk sepasang sayap (sawat) burung garuda yang dibentangkan. Dalam lingkungan Keraton Yogyakarta, motif gurda termasuk motif “batik larangan” yang secara eksklusif diperuntukkan bagi keluarga kerajaan dan kalangan tertentu. Aturan ini berkaitan dengan makna sayap garuda yang melambangkan keperkasaan.
Septiani (2020) mengemukakan bahwa motif gurda pada batik merupakan simbol kosmologi Jawa. Jika digabungkan dengan ragam hias pohon dan ular, motif gurda merupakan perlambang dunia atas (kehidupan setelah kematian), sementara motif pohon dan ular menggambarkan dunia tengah (kehidupan dunia yang fana), dan dunia bawah (lembah kesengsaraan). Motif ini mengandung hikmah jika seseorang mampu mengendalikan dunia bawah dan dunia tengahnya dengan baik–hal tersebut akan mengantarkannya kepada kehidupan dunia atas yang selamat dan sejahtera (Susanto dalam Septiani, 2020). Sebagai simbol kehidupan akhirat, penempatan ragam hias burung garuda pada nisan dapat diinterpretasikan sebagai pengharapan hal-hal baik bagi kehidupan akhirat kedua mendiang.
Berdasarkan perincian tersebut, ornamen kijing Pendiri Museum Batik Yogyakarta mengandung makna simbolik yang terperinci dan mendalam. Banyaknya unsur simbolik yang teridentifikasi menunjukkan nilai estetika yang cukup kuat.
3. Tata Nilai dan Tata Kelola Peradaban
Desain yang harmonis dan terstruktur pada makam ini menunjukkan bahwa masyarakat atau anggota keluarga yang bersangkutan memahami dan menghargai pentingnya keindahan dalam merepresentasikan penghormatan terhadap yang telah meninggal.
Nilai kemanusiaan tercermin pada pembuatan makam yang dilakukan dengan detail juga berkualitas tinggi, sebagai penghargaan terhadap martabat manusia bahkan setelah meninggal. Perawatan makam yang baik mencerminkan nilai-nilai penghormatan terhadap leluhurnya.
Pembuatan makam yang dilakukan dengan memperhatikan detail dan kualitas serta perawatan makam yang baik mencerminkan adanya nilai kemanusiaan, karena nilai-nilai penghormatan dan martabat orang yang meninggal tetap dijunjung tinggi meskipun sudah tiada.