Khalaf: Ahli Sunnah (Al-Asy'ari dan Al-Maturidi) - Sebuah Penjelasan Mendalam
Â
Kata "khalaf" seringkali digunakan untuk menyebut para ulama yang muncul setelah abad ke-3 Hijriah. Mereka memiliki karakteristik yang berbeda dengan para ulama terdahulu, yang dikenal sebagai "salaf". Salah satu ciri khas khalaf adalah penafsiran mereka terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan makhluk, namun tetap sesuai dengan ketinggian dan kesucian-Nya.
Â
Ungkapan "Ahlussunnah" (sering disebut Sunni) memiliki dua makna: umum dan khusus. Dalam pengertian umum, Sunni adalah lawan dari kelompok Syiah. Dalam konteks ini, para pengikut Asy'ariah juga termasuk dalam barisan Sunni. Namun, dalam pengertian khusus, Sunni merujuk pada mazhab yang berlandaskan pemikiran Asy'ariah, yang menjadi lawan dari Mu'tazilah. Pembahasan ini akan fokus pada pengertian khusus dari Ahlussunnah.
Â
Istilah "Ahlussunnah" semakin populer setelah kemunculan aliran Asy'ariah dan Maturidiah, dua aliran yang menentang ajaran Mu'tazilah. Harun Nasution, dengan mengutip keterangan Tasy Kubra Zadah, menjelaskan bahwa aliran Ahlussunnah muncul berkat keberanian dan usaha Abu Al-Hasan Al-Asy'ari sekitar tahun 300 Hijriah.
Â
Abu Al-Hasan Al-Asy'ari: Tokoh Penting dalam Sejarah Ahlussunnah
Â
Abu Al-Hasan 'Ali bin Isma'il bin Ishaq bin Salim bin Isma'il bin 'Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy'ari, lahir di Bashrah pada tahun 260 Hijriah/875 Masehi. Setelah lebih dari 40 tahun, ia pindah ke Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 Hijriah/935 Masehi.
Â
Ayah Al-Asy'ari, seorang ahli hadis dan pengikut Ahlussunnah, meninggal saat Al-Asy'ari masih kecil. Sebelum meninggal, ia berwasiat kepada sahabatnya, Zakaria bin Yahya As-Saji, untuk mendidik Al-Asy'ari. Ibunya kemudian menikah lagi dengan seorang tokoh Mu'tazilah bernama Abu 'Ali Al-Jubba'i. Berkat didikan ayah tirinya, Al-Asy'ari menjadi tokoh Mu'tazilah dan sering menggantikan Al-Jubba'i dalam perdebatan melawan lawan-lawan Mu'tazilah. Ia bahkan menulis banyak buku untuk membela alirannya.
Â
Namun, Al-Asy'ari hanya menganut paham Mu'tazilah hingga usia 40 tahun. Setelah itu, ia secara tiba-tiba menyatakan di hadapan jamaah Masjid Bashrah bahwa ia meninggalkan paham Mu'tazilah dan akan mengungkap keburukan-keburukannya. Menurut Ibn 'Asakir, Al-Asy'ari bermimpi bertemu Rasulullah SAW. sebanyak tiga kali, yang memperingatkannya untuk meninggalkan paham Mu'tazilah dan membela ajaran yang diriwayatkan dari beliau.
Â
Doktrin-Doktrin Teologi Al-Asy'ari: Sebuah Sintesis Ortodoks dan Mu'tazilah
Â
Pemikiran Al-Asy'ari merupakan sintesis antara formulasi ortodoks ekstrem dan Mu'tazilah. Pergerakannya memiliki semangat ortodoks dan merupakan reaksi terhadap Mu'tazilah. Corak pemikirannya yang sintesis dipengaruhi oleh teologi Kullabiah, sebuah teologi Sunni yang dipelopori oleh Ibn Kullab.
Berikut adalah beberapa pemikiran penting Al-Asy'ari:
a. Tuhan dan Sifat-Sifat-Nya:
Al-Asy'ari berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat, berbeda dengan Mu'tazilah. Namun, sifat-sifat tersebut, seperti memiliki tangan dan kaki, tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan secara simbolis. Sifat-sifat Allah unik dan tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah, tetapi tidak terpisah dari esensi-Nya.
b. Kebebasan dalam Berkehendak (Free-will):
Al-Asy'ari mengambil jalan tengah antara Jabariah, yang menganut paham fatalistik, dan Mu'tazilah, yang menganut paham kebebasan mutlak. Ia membedakan antara "khaliq" (pencipta) dan "kasb" (pengusaha). Allah adalah pencipta perbuatan manusia, sedangkan manusia adalah yang mengupayakannya. Hanya Allah yang mampu menciptakan segala sesuatu, termasuk keinginan manusia.
c. Akal dan Wahyu, serta Kriteria Baik dan Buruk:
Al-Asy'ari dan Mu'tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, tetapi berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari keduanya. Al-Asy'ari mengutamakan wahyu, sementara Mu'tazilah mengutamakan akal. Dalam menentukan baik buruk, Al-Asy'ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan wahyu, sedangkan Mu'tazilah mendasarkannya pada akal.
d. Qadimnya Al-Quran:
Al-Asy'ari berpendapat bahwa Al-Quran tidak diciptakan, berbeda dengan Mu'tazilah. Ia mengatakan bahwa meskipun Al-Quran terdiri atas kata-kata, huruf, dan bunyi, hal itu tidak melekat pada esensi Allah dan tidak qadim.
e. Melihat Allah:
Al-Asy'ari percaya bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru'yat (melihat Allah) dapat terjadi ketika Allah yang menyebabkan dapat dilihat atau la menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
f. Keadilan:
Al-Asy'ari dan Mu'tazilah setuju bahwa Allah itu adil, tetapi berbeda dalam cara pandang makna keadilan. Al-Asy'ari tidak sependapat dengan ajaran Mu'tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga la harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Al-Asy'ari berpendapat bahwa Allah tidak memiliki keharusan apa pun karena la adalah Penguasa Mutlak.
g. Kedudukan Orang Berdosa:
Al-Asy'ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu'tazilah. Ia berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.
Al-Maturidi: Tokoh Ahlussunnah yang Menekankan Peran Akal
Abu Manshur Al-Maturidi, lahir di Maturid, sebuah kota kecil di daerah Samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriah. Ia wafat pada tahun 333 Hijriah/944 Masehi.
Â
Al-Maturidi dikenal sebagai seorang ahli teologi dan fiqh. Ia banyak menulis karya tulis tentang teologi, seperti Kitab Tauhid, Ta'wil Al-Quran, Ma'khaz Asy-Syara'i, Al-Jadl, Ushul fi Ushul Ad-Din, Maqalatat fi Al-Ahkam, Radd Awa'il Al-Adillah li Al-Ka'bi, Radd Al-Ushul Al-Khamisah li Abu Muhammad Al-Bahili, Radd Al-Imamah li Al-Ba'd Ar-Rawafidh, dan Kitab Radd 'ala Al-Qaramithah.
Â
Doktrin-Doktrin Teologi Al-Maturidi: Menyeimbangkan Akal dan Wahyu
Â
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Quran dan akal, sama seperti Al-Asy'ari. Namun, ia memberikan porsi yang lebih besar pada akal.
Â
Berikut adalah beberapa pemikiran penting Al-Maturidi:
Â
a. Akal dan Wahyu:
Â
Al-Maturidi berpendapat bahwa mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Quran yang memerintahkan manusia untuk menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan iman terhadap Allah. Al-Maturidi membagi sesuatu yang berkaitan dengan akal pada tiga macam: 1) akal hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu; 2) akal hanya mengetahui keburukan sesuatu itu; 3) akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.
Â
b. Perbuatan Manusia:
Â
Al-Maturidi berpendapat bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan, karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Namun, ia juga menekankan bahwa manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakan. Tuhan menciptakan daya (kasb) dalam diri manusia dan manusia bebas menggunakannya.
Â
c. Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan:
Â
Al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan tidak berbuat dengan sewenang-wenang, tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
Â
d. Sifat Tuhan:
Â
Al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sana, bashar, dan sebagainya, sama seperti Al-Asy'ari. Namun, ia mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang mulazamah (ada bersama, baca: inheren) dzat tanpa terpisah.
Â
e. Melihat Tuhan:
Â
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan di akhirat. Tuhan kelak di akhirat dapat ditangkap dengan penglihatan karena Tuhan mempunyai wujud, walaupun la immaterial.
Â
f. Kalam Tuhan:
Â
Al-Maturidi membedakan antara kalam (baca: sabda) yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadis). Al-Quran dalam arti kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah baharu (hadis).
Â
g. Perbuatan Manusia:
Â
Al-Maturidi berpendapat bahwa tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud kecuali sesuai dengan kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan tidak dibatasi, kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya.
Â
h. Pengutusan Rasul:
Â
Al-Maturidi berpendapat bahwa pengutusan Rasul adalah hal niscaya yang berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan Rasul, berarti manusia membebankan akalnya pada sesuatu yang berada di luar kemampuannya.
Â
i. Pelaku Dosa Besar (Murtakib al-Kabir):
Â
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka, walaupun ia meninggal sebelum bertobat. Ia berpendapat bahwa iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar. Adapun amal adalah penyempurnaan iman.
Â
Sebuah Perjalanan Menuju Pemahaman yang Lebih Mendalam
Â
Pemikiran Al-Asy'ari dan Al-Maturidi merupakan bagian penting dalam sejarah pemikiran Islam. Keduanya berusaha menyeimbangkan antara akal dan wahyu, serta memberikan penafsiran yang lebih rasional terhadap sifat-sifat Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H