b. Kebebasan dalam Berkehendak (Free-will):
Al-Asy'ari mengambil jalan tengah antara Jabariah, yang menganut paham fatalistik, dan Mu'tazilah, yang menganut paham kebebasan mutlak. Ia membedakan antara "khaliq" (pencipta) dan "kasb" (pengusaha). Allah adalah pencipta perbuatan manusia, sedangkan manusia adalah yang mengupayakannya. Hanya Allah yang mampu menciptakan segala sesuatu, termasuk keinginan manusia.
c. Akal dan Wahyu, serta Kriteria Baik dan Buruk:
Al-Asy'ari dan Mu'tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, tetapi berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari keduanya. Al-Asy'ari mengutamakan wahyu, sementara Mu'tazilah mengutamakan akal. Dalam menentukan baik buruk, Al-Asy'ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan wahyu, sedangkan Mu'tazilah mendasarkannya pada akal.
d. Qadimnya Al-Quran:
Al-Asy'ari berpendapat bahwa Al-Quran tidak diciptakan, berbeda dengan Mu'tazilah. Ia mengatakan bahwa meskipun Al-Quran terdiri atas kata-kata, huruf, dan bunyi, hal itu tidak melekat pada esensi Allah dan tidak qadim.
e. Melihat Allah:
Al-Asy'ari percaya bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru'yat (melihat Allah) dapat terjadi ketika Allah yang menyebabkan dapat dilihat atau la menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
f. Keadilan:
Al-Asy'ari dan Mu'tazilah setuju bahwa Allah itu adil, tetapi berbeda dalam cara pandang makna keadilan. Al-Asy'ari tidak sependapat dengan ajaran Mu'tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga la harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Al-Asy'ari berpendapat bahwa Allah tidak memiliki keharusan apa pun karena la adalah Penguasa Mutlak.
g. Kedudukan Orang Berdosa: