Â
Ayah Al-Asy'ari, seorang ahli hadis dan pengikut Ahlussunnah, meninggal saat Al-Asy'ari masih kecil. Sebelum meninggal, ia berwasiat kepada sahabatnya, Zakaria bin Yahya As-Saji, untuk mendidik Al-Asy'ari. Ibunya kemudian menikah lagi dengan seorang tokoh Mu'tazilah bernama Abu 'Ali Al-Jubba'i. Berkat didikan ayah tirinya, Al-Asy'ari menjadi tokoh Mu'tazilah dan sering menggantikan Al-Jubba'i dalam perdebatan melawan lawan-lawan Mu'tazilah. Ia bahkan menulis banyak buku untuk membela alirannya.
Â
Namun, Al-Asy'ari hanya menganut paham Mu'tazilah hingga usia 40 tahun. Setelah itu, ia secara tiba-tiba menyatakan di hadapan jamaah Masjid Bashrah bahwa ia meninggalkan paham Mu'tazilah dan akan mengungkap keburukan-keburukannya. Menurut Ibn 'Asakir, Al-Asy'ari bermimpi bertemu Rasulullah SAW. sebanyak tiga kali, yang memperingatkannya untuk meninggalkan paham Mu'tazilah dan membela ajaran yang diriwayatkan dari beliau.
Â
Doktrin-Doktrin Teologi Al-Asy'ari: Sebuah Sintesis Ortodoks dan Mu'tazilah
Â
Pemikiran Al-Asy'ari merupakan sintesis antara formulasi ortodoks ekstrem dan Mu'tazilah. Pergerakannya memiliki semangat ortodoks dan merupakan reaksi terhadap Mu'tazilah. Corak pemikirannya yang sintesis dipengaruhi oleh teologi Kullabiah, sebuah teologi Sunni yang dipelopori oleh Ibn Kullab.
Berikut adalah beberapa pemikiran penting Al-Asy'ari:
a. Tuhan dan Sifat-Sifat-Nya:
Al-Asy'ari berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat, berbeda dengan Mu'tazilah. Namun, sifat-sifat tersebut, seperti memiliki tangan dan kaki, tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan secara simbolis. Sifat-sifat Allah unik dan tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah, tetapi tidak terpisah dari esensi-Nya.