“Nanti akan Wak gaji setiap blannya,” begitu Wak Suli berjanji. Tapi setelah kembali pulang dari berhaji, saya mengundurkan diri. Alasannya, kerja di apotik bukan bidang saya. Meski saya ditawari untuk mengelola apotiknya, saya tetap menolaknya dengan halus. Inikah yang menyebabkan seperti bersikap memusuhi?
Itulah sebabnya saya tak mengetahui Wak Danang sakit keras. Apa sebabnya dia seperti begitu sulit untuk pulang? Kalau sikapnya seperti itu, saya tak merasa sakit hati. Meski saat kepergiannya berhaji, saya tak sekedar menunggu rmah. Tapi membereskan dan membersihkan segala perabotannya. Belum lagi memberi makan empat ekor kucing kesayangan Wak Suli. Begitu pula dua ekor brung ketilang klangenan Wak Danang. Meski tugas ini, dipercayakan pada Ging. Bahkan saya tak boleh mendakati kandang ketilangnya. Saya ditduh membawa virus dari brung merpati peliharaan di rumah.
Tapi Ging tak menykai burung. Bahkan dia takut untuk memasukan pisan atau kroto ke dalam kandang ketilang. Penyebabnya tangannya pernah dipatuk. Sehingga sayalah yang merawatnya. Toh, sampai kepulangan Wak Danang dari Tanah Suci, burung ketilang sehat wal afiat.
Bagitu pula, saya tak merasa sakit hati, ketika Wak Danang menimpakan kesalahan pada saya perihal komputernya yang rusak. Saya katakana Ging-lah yang mengotak-atik komputer itu. Tapi toh, tetap menyalahkan dengan dalih: saya memberikan kunci dan mengijinkan masuk ke kamar pribadinya. Seturut itu, merembet pada TV yang hanya dimatikan lewat remote control. Bahkan pada akhirnya, wak danang mengungkit kesalahan Dion.
Meski tuduhan itu, seperti pelampisan pada ulah Dion, saya tak merasa sakit hati. Kebeningan kalbu ini, saya bisikan dalam hati di hadapan Wak Danang. Dia seperti terbaring tidur. Rambut dan janggutnya nampak putih kelabu. Meski wajahnya nampak tenang, namun saya seperti melihat: ada kegelisahan yang menjalar hebat.
Sejauh ini tak ada yang berubah. Saya juga telah berdoa yang terbaik. Ah, Ajengan Mustofa mungkin kurang tepat memilih saya. Mana mungkin saya bisa mengantar Wak Danang pulang kea lam barzakh dengan tenang. Saya tak bisa melakukan apa lagi, kecali berdoa dan berzikir secara khusu.
Namun, mendadak entah darimana datangnya ilapat. Saya ingat waktu keduanya pergi berhaji ada pesan dari Wak Danang. Bahkan nadanya sangat menekankan, bahwa pohon jambu Bangkok yang mulai berbunga itu, jangan sampai buahnya dicuri orang.
“Kalau Wak datang seplang dari Tanah Suci, pastilah buahnya sudah masak-masak ya,” katanya, sambil menambahkan, bahwa sesampainya di rumah nanti, kali pertama yang ingin dinikmatinya adalah buah jambu Bangkok itu.
Ada dua buah pohon jambu yang tumbuh di rumah belakang. Satu pohon merupakan pohon jambu Bangkok, sedang yang satu lagi, jambu kelutuk biasa. Tumbuh dekat garasi mobil. Tepatnya dipinggir pagar yang membatasi selokan , sehingga akar pohon nya nampak menjelar ke selokan. Entah, karena begitu pohon jambu Bangkok berbuah cukup lebat. Sebesar kepalan tangan orang dewasa buahnya.
Tentu saja, pohon jambu Bangkok diperlakukan secara istimewa. Sekelilingnya ditutup seng setinggi dua meter. Sehingga tak seorang bisa memanjatnya. Terlebih ada lilitan kawat berduri.
Ketika keduanya pergi berhaji. Sejumlah buahnya telah ada yang matang. Saya memberikan pada tukang becak, anak sekolah dan tetangga. Toh, kalau pun dimasukan ke lemari es, nanti pastilah akan membusuk jika terlalu lama.