Mohon tunggu...
Alief El_Ichwan
Alief El_Ichwan Mohon Tunggu... Administrasi - Jurnalis

mantan wartawanI Penulis LepasI Menulis artikel-cerpen-puisi-perjalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Mengantar Pulang ke Alam Barzakh

22 April 2017   22:02 Diperbarui: 23 April 2017   10:00 960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Segeralah kamu tengok,” ujar Ajengan Mustofa.

Saya menyanggupinya. “Tentu saja Wak Ajengan, bukankah takjiah orang sakit , meninggal dan kekusahan sama dengan menemui Allah?”

Kiai yang penuh kharisma itu, terkekeh lagi. Pertanda membenarkan. Ditepuk-tepuknya pundak saya. Sungguh saya tak mengetahui: Wak Danang demikian keadaannya. Mungkin saya begitu sibuk dengan pekerjaan. Lain itu, saya lebih banyak di luar kota. Sekali hanya menjenguk, ketika  Wak Danang dikabarkan terkena stroke dan dirawat dari rumah sakit. Rupanya kabar selanjutnya, bahwa dia jatuh di kamar mandi hingga sampai koma, tiada kabar beritanya.

Padahal saat pergi berhaji, saya bersama Ging (sepupu saya) ditugasi untuk menunggu dan mengurus rumah serta apotiknya. Bahkan beberapa minggu sebelum kepergiannya, saya telah berada di rumah sekaligus apotik milik Wak Suli.

“Banyak yang perlu kamu ketahui dan dihapalkan, jika Uwak dan Wak Danang nanti berangkat haji,” ujar Wak Suli lewat telepon. Dan saya segera ke sana. Biarlah sambil menunggu ada panggilan kerja. Selain itu, kami sangat berhutang budi padanya. Waktu saya melamar Lina, saya dipinjaminya uang. Dan sampai sekarang belum terbayar. Ketika baru memulai berumah tangga dengan anak satu, saya di-PHK. Bahkan Lina meminta untuk pisah sampai membawa Galih ke rumah orang tuanya.

Benar saja! Banyak yang mesti saya catat supaya tak lupa. Terutama seabreg kunci rumah dan apotik. Maklumlah mereka memiliki dua rumah di sebuah kompleks perumahan. Letaknya saling berpunggungan. Dibatasi dengan brand’gang;berupa selokan selokan selebar satu meter. Kedua rumah dihubungkan dengan jembatan kecil antar keduanya. Menghubungkan dua pintu jalan masuk. Namun agar tak disatroni maling, diberi sekat  dengan jeruji besi.

Meski memiliki dua rumah, namun tak memiiki rencang (pembantu). Padahal keduanya telah sepuh. Wak Suli 67 tahun dan Wak Danang 73. Lucunya, jika malam keduanya tidur terpisah. Wak Danang di rumah yang dijadikan apotik; yang menghadap ke jalan utama kompleks perumahan, sedang Wak Suli di rumah belakang.

Untuk makan sehari-hari, ada makanan rantangan yang dipesan dari katering diantarkan dua hari sekali. Bagi mereka cukup. Bahkan seringkali tak habis. Begitu pula, meski memiliki sampai dua buah mobil, tapi tak ada seorang pun sopir.  Wak Danang sekalipun dapat menyupir, namun jarang sekali menggunakannya sendiri. Sedang Wak Suli, saya mengetahui betul dia tak dapat menyupir sendiri. Kalau pun ada sopir, boleh dibilang seperti “sopir tembak”. Apabila ingin atau perlu berpergian harus memanggil dulu mang Danu dari blok sebelah, yang memiliki usaha pengangkutan sampah di kompleks perumahan itu.

Apotik itu ditangani Wak Suli sendiri. Setelah lulus dari sekolah apoteker ITB, sambil bekerja di perusahaan farmasi milik BUMN, dia juga mengajar di almamaternya. Tapi setelah pensiun, dia lebih fokus mengurus apotik miliknya. Di apotik ini, dia dibantu asisten apoteker paruh waktu. Seturut kepergiannya ke tanah suci, tanggungjawabnya diserahkan pada adik saya; yang se-almamater dengannya.

Keduanya, setelah menikah tak pernah dikaruniai anak. Mungkin akibat keduanya menikah setelah agak berumur. Saat mereka ke pelaminan, saya sudah duduk di bangku pertama SD. Lalu Dion, adik saya, menjadi  putra angkatnya. Namun ketika Dion mulai masuk kuliah, terjadi perselisihan. Saya dengar: Dion memalsukan faktur pesanan obat-obatan dari Perusahaan Besar Farmasi, sehingga apotik Wak Suli di-black list, tak bisa lagi membeli obat secara kredit. Namun harus COD (Cash One Day) harus bayar tunai.

Sebenarnya, sebagai anak yang paling tua dari keluarga Bapak, Wak Suli mempnyai keponakan yang cukup banyak. Namun dari kami tak seorang pun mau tinggal bersamanya. Mungkin aturan yang diterapkan terlalu ketat. Yang menurut kami terlalu mengekang. Boleh jadi, keduanya belum pernah memiiki anak kandung, sehingga tak memahami cara mendidik anak. Barangkali itulah yang menyebabkan Dion berulah. Padahal semasa kecil, ia paling baik dan penurut ketimbang saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun