Mohon tunggu...
Alief El_Ichwan
Alief El_Ichwan Mohon Tunggu... Administrasi - Jurnalis

mantan wartawanI Penulis LepasI Menulis artikel-cerpen-puisi-perjalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Mengantar Pulang ke Alam Barzakh

22 April 2017   22:02 Diperbarui: 23 April 2017   10:00 960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: mandingonlinemantik.blogspot.com

Sebagai muslim, pastilah ingin berhaji. Menunaikan rukun Islam yang terakhir. Pergi ke tanah suci. Setidaknya berangkat umrah, cukuplah. Siapapun akan runtuh air mata manakala di Masjidil Haram. Di Baitullah. Di hadapan Ka’bah.  Alluhu Akbar! Labbaik Alllahuma Labbaik…

“Semoga menjadi haji mabrur….” Demikian doa para kerabat, Kiai sampai para mentri ketika mengantar jemaah haji saat kloter pertama hendak pergi ke Tanah Suci.

Pergi haji ke Tanah Suci lebih sekali, merupakan anugrah Ilahi yang besar. Terlebih sekarang, harus menunggu lebih dari sepuluh tahun.  Dan, haji ganjarannya adalah surga, maka saat sakaratul maut bagi mereka selalu dimudahkan.

Namun tidak bagi Wak Danang, suami Wak Suli kakak perempuan dari Bapak. Memasuki pintu alam barzakh  seperti terasa sulit. Padahal Wak Danang, telah mengalami kesempuraan sebagai seorang muslim. Dua kali berhaji bersama istrinya. Namun kesempurnaan seperti  ada yang menahan. Wak Danang sakit keras. Bahkan sejumlah dokter telah angkat tangan. Istilah medisnya beliau dinyatakan dalam keadaan: koma.

Setelah sekian lama di rumah sakit, maka dengan keadaan seperti itu, tiada lain Wak Danang dibawa kembali ke rumah. Sudah tak terkira banyak orang menjenguk. Tidak hanya tetangga dan kerabat serta kenalannya. Juga entah berapa pengurus yayasan serta masjid dan pesantren. Bagaimanapun Wak Danang adalah donatur tetap. Semuanya yang takjiah mendoakan yang terbaik bagi kesembuhannya. Atau terbaik dari Sang Maha Khalik, meskipun harus dipanggil pulang. 

Bahkan hampir setiap hari, ada saja yang mengaji di tempatnya berbaring. Setiap hari ada dari yayasan, mesjid dan pesantren mengutus seorang atau beberapa orang untuk membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Tapi rupanya malaikat Izrail belum berkenan ada perintah mencabut ruhnya. Sehingga keadaan ini, membuat gusar Wak Suli. Lalu, salah seorang kerabatnya memberikan saran: agar mengundang Ajengan atau Kiai Mustofa.

“Barangkali beliau (kiai Mustofa), dapat memberikan jalan,” kata salah seorang santri dari sebuah pesantren, yang pernah mengenal bagaimana kewaskitaan  pemilik sebuah pesantren terkenal ini. Tanpa membuang waktu, segeralah diutus menemui beliau agar berkenan di undang ke rumah.

Arkian, setelah beliau bermunajat sejenak, tidak seorang pun yang mengira bahwa orang yang dapat mengantarkan Wak Danang pulang menuju ke  alam barzakh adalah: saya.

“Wak Ajengan pasti bergau,” ujar saya, ketika diangkir (diundang) menghadap beliau. Saya menyebutnya Wak Ajengan, karena beliau masih kerabat  kami. Tepatnya istri beliau adalah kakak Ibu. Bagaimana tidak merasa terkejut dan heran? Saya masih banyak bergelimpangan salah dan dosa. Jadi, mana mungkin saya dapat mengantarkan pulang Wak Danang ke gerbang alam barzah dengan tenang.

“Hehehe,  seekor anjing kudisan tengah kelaparan dapat mengantarkan seorang pelacur yang penuh dosa kehadiratNya dengan tenang, bahkan ditempatkan di surga,” tukas Ajengan Mustofa sambil terkekeh.

Saya ikut tersenyum. Sudah berkali-kali saya mendengar hikayat itu. Alkisah: seorang pelacur ingin bertobat. Namun dia merasa bahwa dosanya begitu bertumpuk dan tak terampuni. Maka ketika mencari ridla Allah, ia berjumpa dengan seekor anjing yang kelaparan dan kehausan. Dengan tulus ia memberi makanan dan minuman. Padahal ia pun membutuhkannya, sehingga ia menjadi kelaparan. Dan, tak seorang pun sudi memberinya sedekah. Namun Allah Azza Wajalla memberi pengampunan saat dia meninggal.

“Segeralah kamu tengok,” ujar Ajengan Mustofa.

Saya menyanggupinya. “Tentu saja Wak Ajengan, bukankah takjiah orang sakit , meninggal dan kekusahan sama dengan menemui Allah?”

Kiai yang penuh kharisma itu, terkekeh lagi. Pertanda membenarkan. Ditepuk-tepuknya pundak saya. Sungguh saya tak mengetahui: Wak Danang demikian keadaannya. Mungkin saya begitu sibuk dengan pekerjaan. Lain itu, saya lebih banyak di luar kota. Sekali hanya menjenguk, ketika  Wak Danang dikabarkan terkena stroke dan dirawat dari rumah sakit. Rupanya kabar selanjutnya, bahwa dia jatuh di kamar mandi hingga sampai koma, tiada kabar beritanya.

Padahal saat pergi berhaji, saya bersama Ging (sepupu saya) ditugasi untuk menunggu dan mengurus rumah serta apotiknya. Bahkan beberapa minggu sebelum kepergiannya, saya telah berada di rumah sekaligus apotik milik Wak Suli.

“Banyak yang perlu kamu ketahui dan dihapalkan, jika Uwak dan Wak Danang nanti berangkat haji,” ujar Wak Suli lewat telepon. Dan saya segera ke sana. Biarlah sambil menunggu ada panggilan kerja. Selain itu, kami sangat berhutang budi padanya. Waktu saya melamar Lina, saya dipinjaminya uang. Dan sampai sekarang belum terbayar. Ketika baru memulai berumah tangga dengan anak satu, saya di-PHK. Bahkan Lina meminta untuk pisah sampai membawa Galih ke rumah orang tuanya.

Benar saja! Banyak yang mesti saya catat supaya tak lupa. Terutama seabreg kunci rumah dan apotik. Maklumlah mereka memiliki dua rumah di sebuah kompleks perumahan. Letaknya saling berpunggungan. Dibatasi dengan brand’gang;berupa selokan selokan selebar satu meter. Kedua rumah dihubungkan dengan jembatan kecil antar keduanya. Menghubungkan dua pintu jalan masuk. Namun agar tak disatroni maling, diberi sekat  dengan jeruji besi.

Meski memiliki dua rumah, namun tak memiiki rencang (pembantu). Padahal keduanya telah sepuh. Wak Suli 67 tahun dan Wak Danang 73. Lucunya, jika malam keduanya tidur terpisah. Wak Danang di rumah yang dijadikan apotik; yang menghadap ke jalan utama kompleks perumahan, sedang Wak Suli di rumah belakang.

Untuk makan sehari-hari, ada makanan rantangan yang dipesan dari katering diantarkan dua hari sekali. Bagi mereka cukup. Bahkan seringkali tak habis. Begitu pula, meski memiliki sampai dua buah mobil, tapi tak ada seorang pun sopir.  Wak Danang sekalipun dapat menyupir, namun jarang sekali menggunakannya sendiri. Sedang Wak Suli, saya mengetahui betul dia tak dapat menyupir sendiri. Kalau pun ada sopir, boleh dibilang seperti “sopir tembak”. Apabila ingin atau perlu berpergian harus memanggil dulu mang Danu dari blok sebelah, yang memiliki usaha pengangkutan sampah di kompleks perumahan itu.

Apotik itu ditangani Wak Suli sendiri. Setelah lulus dari sekolah apoteker ITB, sambil bekerja di perusahaan farmasi milik BUMN, dia juga mengajar di almamaternya. Tapi setelah pensiun, dia lebih fokus mengurus apotik miliknya. Di apotik ini, dia dibantu asisten apoteker paruh waktu. Seturut kepergiannya ke tanah suci, tanggungjawabnya diserahkan pada adik saya; yang se-almamater dengannya.

Keduanya, setelah menikah tak pernah dikaruniai anak. Mungkin akibat keduanya menikah setelah agak berumur. Saat mereka ke pelaminan, saya sudah duduk di bangku pertama SD. Lalu Dion, adik saya, menjadi  putra angkatnya. Namun ketika Dion mulai masuk kuliah, terjadi perselisihan. Saya dengar: Dion memalsukan faktur pesanan obat-obatan dari Perusahaan Besar Farmasi, sehingga apotik Wak Suli di-black list, tak bisa lagi membeli obat secara kredit. Namun harus COD (Cash One Day) harus bayar tunai.

Sebenarnya, sebagai anak yang paling tua dari keluarga Bapak, Wak Suli mempnyai keponakan yang cukup banyak. Namun dari kami tak seorang pun mau tinggal bersamanya. Mungkin aturan yang diterapkan terlalu ketat. Yang menurut kami terlalu mengekang. Boleh jadi, keduanya belum pernah memiiki anak kandung, sehingga tak memahami cara mendidik anak. Barangkali itulah yang menyebabkan Dion berulah. Padahal semasa kecil, ia paling baik dan penurut ketimbang saya.

“Nanti akan Wak gaji setiap blannya,” begitu Wak Suli berjanji. Tapi setelah kembali pulang dari berhaji, saya mengundurkan diri.  Alasannya, kerja di apotik bukan bidang saya. Meski saya ditawari untuk mengelola apotiknya, saya tetap menolaknya dengan halus.  Inikah yang menyebabkan seperti  bersikap memusuhi?

Itulah sebabnya saya tak mengetahui Wak Danang sakit keras. Apa sebabnya dia seperti begitu sulit untuk pulang? Kalau sikapnya seperti itu, saya tak merasa sakit hati. Meski saat kepergiannya berhaji, saya tak sekedar menunggu rmah. Tapi membereskan dan membersihkan segala perabotannya. Belum lagi memberi  makan empat ekor kucing kesayangan Wak Suli. Begitu pula dua ekor brung ketilang  klangenan Wak Danang. Meski tugas ini, dipercayakan pada Ging.  Bahkan saya tak boleh mendakati kandang ketilangnya. Saya ditduh membawa virus dari brung merpati peliharaan di rumah.

Tapi Ging tak menykai burung. Bahkan dia takut untuk memasukan pisan atau kroto ke dalam kandang ketilang. Penyebabnya tangannya pernah dipatuk. Sehingga sayalah yang merawatnya. Toh, sampai kepulangan Wak Danang dari Tanah Suci, burung ketilang sehat wal afiat.

Bagitu pula, saya tak merasa sakit hati, ketika Wak Danang menimpakan kesalahan pada saya perihal komputernya yang rusak. Saya katakana Ging-lah yang mengotak-atik komputer itu. Tapi toh, tetap menyalahkan dengan dalih: saya memberikan kunci dan mengijinkan masuk ke kamar pribadinya. Seturut itu, merembet pada TV yang hanya dimatikan lewat remote control.  Bahkan pada akhirnya, wak danang mengungkit kesalahan Dion.

Meski tuduhan itu, seperti pelampisan pada ulah Dion, saya tak merasa sakit hati. Kebeningan kalbu ini, saya bisikan dalam hati di hadapan Wak Danang. Dia seperti terbaring tidur. Rambut dan janggutnya nampak putih kelabu. Meski wajahnya nampak tenang, namun saya seperti melihat: ada kegelisahan yang menjalar hebat.

Sejauh ini tak ada yang berubah. Saya juga telah berdoa yang terbaik. Ah, Ajengan Mustofa mungkin kurang tepat memilih saya. Mana mungkin saya bisa mengantar Wak Danang pulang kea lam barzakh dengan tenang. Saya tak bisa melakukan apa lagi, kecali berdoa dan berzikir secara khusu.

Namun, mendadak entah darimana datangnya ilapat. Saya ingat waktu keduanya pergi berhaji ada pesan dari Wak Danang. Bahkan nadanya sangat menekankan, bahwa pohon jambu Bangkok yang mulai berbunga itu, jangan sampai buahnya dicuri orang.

“Kalau Wak datang seplang dari Tanah Suci, pastilah buahnya sudah masak-masak ya,” katanya, sambil menambahkan, bahwa sesampainya di rumah nanti, kali pertama yang ingin dinikmatinya adalah buah jambu Bangkok itu.

Ada dua buah pohon jambu yang tumbuh di rumah belakang. Satu pohon merupakan pohon jambu Bangkok, sedang yang satu lagi, jambu kelutuk biasa. Tumbuh dekat garasi mobil. Tepatnya dipinggir pagar yang membatasi selokan , sehingga akar pohon nya nampak menjelar ke selokan. Entah, karena begitu pohon jambu Bangkok  berbuah cukup lebat. Sebesar kepalan tangan orang dewasa buahnya.

Tentu saja, pohon jambu Bangkok diperlakukan secara istimewa. Sekelilingnya  ditutup seng setinggi dua meter. Sehingga tak seorang bisa memanjatnya. Terlebih ada lilitan kawat berduri.

Ketika keduanya pergi berhaji. Sejumlah buahnya telah ada yang matang. Saya memberikan  pada tukang becak, anak sekolah dan tetangga. Toh, kalau pun dimasukan ke lemari es, nanti pastilah akan membusuk jika terlalu lama.

Nah, ternyata kemdian tindakan ini diketahui Wak Danang, sehingga marah besar. Namun,sekarang  inilah tindakan yang saya: membuka  penutup seng itu.  Selain kurang elok dipandang mata bagi ukuran di kompleks perumahan cukup elit, juga keadaan seperti itu menandakan: pemiliknya bakhil. Padahal Wak Danang donatur tetap yayasan, masjid dan pesantren.

Namun rupanya tindakan ini, mengantarkan Wak Danang pulang ke alam barzakh dengan tenang. Innalillahi….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun