Abstrac
Homosexuality has become an extremely controversial topic today, particularly when referencing the story of the people of Prophet Lut in the Quran, which is considered a primary reference point. One contemporary Islamic thinker, Siti Musdah Mulia, addresses this issue seriously. In her view, homosexual orientation is part of God's decree, and the term "liw" actually refers to the act of sodomy, not exclusively to homosexuality. Musdah believes that the people of Prophet Lut had a bisexual orientation, and according to her, Allah's punishment upon them wasn't solely related to homosexuality.Â
Furthermore, Musdah argues that marriage between individuals of the same sex could be considered in a homosexual context. However, this perspective clashes with the majority view of scholars. They firmly assert that Islam explicitly prohibits homosexual practices. There is no support from Quranic verses, hadiths, or scholarly consensus indicating permissibility of these perceived deviant sexual practices. Scholars have prohibited homosexuality and established punishments or sanctions for its practitioners.Â
They believe such practices can undermine the fundamental principles in the formation of Islamic law (maqaid asy-syari'ah), which should be carefully preserved. Siti Keyword: Musdah Mulia, Homosexuality, People of Prophet Lut
Abstrak
Homoseksualitas saat ini menjadi topik yang sangat kontroversial, terutama ketika merujuk pada kisah kaum Nabi Luth dalam Alquran yang dianggap sebagai referensi utama. Salah satu pemikir Islam kontemporer, Siti Musdah Mulia, memperhatikan isu ini dengan serius.Â
Menurut pandangannya, orientasi homoseksual adalah bagian dari takdir Tuhan, dan istilah liw sebenarnya merujuk pada tindakan sodomi, bukan secara eksklusif pada homoseksualitas. Musdah meyakini bahwa kaum Nabi Luth memiliki orientasi biseksual, dan azab Allah kepada mereka tidak semata-mata terkait dengan masalah homoseksualitas. Lebih lanjut, Musdah berpendapat bahwa pernikahan antara individu sesama jenis dapat dipertimbangkan dalam konteks homoseksual.Â
Namun, pandangan ini berbenturan dengan mayoritas pandangan ulama. Mereka tegas dalam menyatakan bahwa Islam secara tegas melarang praktik homoseksualitas. Tidak ada dukungan dari ayat Alquran, hadis, atau konsensus ulama yang mengindikasikan kebolehan praktik seksual yang dianggap menyimpang ini. Ulama-ulama telah mengharamkan homoseksualitas dan menetapkan hukuman atau sanksi bagi pelakunya. Mereka percaya bahwa praktik ini dapat merusak prinsip-prinsip utama dalam penetapan hukum Islam (maqaid asy-syari'ah), yang mana harus dijaga dengan seksama.
Kata Kunci: Musdah Mulia, Homoseksual, Kaum Nabi Lut
Pendahuluan
Kajian saat ini tentang homoseksualitas atau LGBT kembali menjadi sorotan karena munculnya diskusi yang menentang posisi mereka dalam konteks Alquran. Walaupun beberapa Ulama telah menarik kesimpulan bahwa gaya hidup homoseksual bertolak belakang dengan prinsip-prinsip Islam, mereka merujuk pada beberapa ayat Alquran yang menggambarkan kisah Nabi Luth dan tindakan masyarakatnya yang dikecam akibat perilaku seksual yang dianggap melanggar ajaran yang dianut oleh Nabi Luth.
Pertanyaan tentang bagaimana Islam memandang LGBT saat ini menyebabkan adanya dua pandangan yang berlawanan. Sebagian berkeyakinan bahwa kedudukan sudah dijelaskan secara tegas dalam Alquran dan bukan lagi menjadi bahan perdebatan. LGBT diniliai sebagai prototipe perilaku kaum yang dianggap menyimpang dalam kisah nabi Luth dan mendapat hukuman dari Allah Swt karena perbuatan mereka. Tetapi, terdapat sekelompok orang yang mempertanyakan kembali penafsiran terhadap LGBT. Bagi mereka, Cerita tentang kaum Nabi Luth tidak memiliki relevansi ketika dikaitkan dengan isu homoseksualitas, karena isu ini merupakan permasalahan modern yang berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Kaum Nabi Luth. Seorang tokoh dari golongan ke dua ini ialah Siti Musdah Mulia. Ia merupakan seorang pemikir Islam kontemporer yang peduli terhadap isu-isu kontemporer, termasuk homoseksualitas.
Menurut pandangan Musdah Mulia, homoseksualitas adalah orientasi seksual terhadap sesama jenis, Liw (praktik sodomi) dianggap sebagai suatu bentuk perilaku seksual. Karenanya, menurut pandangannya, tindakan homoseksual sebaiknya tidak dikenai hukuman seberat yang diterima oleh kaum Sodom, baik dalam ranah sosial maupun hukum. Bagi Musdah, homoseksualitas dipandang sebagai pemberian kodrati dari Tuhan yang memungkinkan adanya pernikahan antara individu sejenis.[1]
Pendapat Musdah Mulia tentang homoseksualitas Sangat kontras dengan sebagian besar pandangan yang umumnya diterima, terutama dengan penafsiran para ulama dari beberapa periode dalam sejarah Islam, meliputi periode klasik, pertengahan, dan juga kontemporer. Dalam tulisan ini, akan diulas gagasan-gagasan pemikiran Musdah Mulia tentang homoseksualitas dalam Alquran, termasuk latar belakang dan inti dari pemikirannya.
Biografi Intelektual
Siti Musdah Mulia, seorang wanita intelektual yang juga aktif dalam kegiatan sosial, lahir di Bone, Sulawesi Selatan, pada tanggal 3 Maret 1958. Ayahnya, H. Mustamin Abdul Fatah, adalah seorang yang terlibat dalam aktivitas organisasi Islam dan pernah menjabat sebagai Komandan Batalyon dalam gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan di bawah kepemimpinan Abdul Kahar Muzakkar. Ibunya, Hj. Buaidah Achmad, menempuh pendidikan di pesantren Darud Dakwah wal Irsyad (DDI), pesantren tertua dan terkenal di Pare-pare, Sulawesi. Keluarga Musdah Mulia terlihat sangat berakar dalam keagamaan dari garis keturunannya.[2]
Pendidikan formal Musdah Mulia awal mulanya dari TK dan SD di wilayah kompleks Angkatan Laut, Tanjung Perak, Surabaya. Akan tetapi, ketika berada di bangku SD kelas tiga, ayahnya dipindahkan tugasnya. Hal ini membuat Musdah melanjutkan pendidikannya di SD Negeri Kosambi, Tanjung Priuk, Jakarta Utara, yang diselesaikan pada tahun 1969. Selanjutnya, ia belajar di Pendidikan Guru Agama Negeri di Jakarta Utara, setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya di Pasantrean As'adiyah hingga selesai pada tahun 1973. Kemudian, Musdah pindah ke Makasar dan masuk ke SMA Perguruan Islam Datumuseng.
Selesai tamat SMA, ia melanjutkan pendidikannya di Perguruan Tinggi Islam As'adiyah, ia memutuskan untuk masuk Fakultas Ushuludin (Teologi) dan Fakultas Syari'ah (Hukum Islam). Selama dua tahun ia belajar di sana, dari 1973 hingga 1975. Pada tahun 1980, Musdah berhasil menyelesaikan studinya dan meraih gelar sarjana dari Fakultas Ushuluddin Jurusan Dakwah di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Tidak hanya itu, pada tahun 1982, Musdah juga berhasil memperoleh gelar Strata-1 dari Jurusan Bahasa dan Sastra Arab di Fakultas Adab, UIN Alauddin, Makassar.[3]
Tidak hanya berhenti di gelar sarjana, Musdah meneruskan studinya dengan mengikuti program magister dalam bidang Sejarah Pemikiran Islam di UIN Syarif Hidayatullah, yang diselesaikan pada tahun 1992. Setelah itu, lanjut ke jenjang program doktor dalam bidang Pemikiran Politik Islam dan selesai tahun 1997. Sebelumnya, Musdah melakukan riset untuk disertasinya di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, yang pada tahun 2001 diterbitkan oleh Paramadina.
Musdah Mulia memulai karirnya sebagai dosen di beberapa institusi, seperti IAIN Alauddin, Makassar, dan Universitas Muslim Indonesia, Makassar, pada tahun 1982-1989. Selama rentang waktu tersebut, Musdah juga terlibat sebagai pengajar di Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1992-1997), Institut Ilmu Alquran (IIQ), Jakarta (1997-1999), serta menjabat sebagai Direktur di Perguruan al-Wathaniyah Pusat, Jakarta (1995-hingga saat ini). Ia juga menjadi pengajar di program pascasarjana di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1997-hingga sekarang).
Latar Ide
Musdah menekankan urgensi dalam mendiskusikan isu seksualitas yang, meski kita sudah hidup di abad ke-21 dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi, masih dianggap sebagai topik tabu. Ini mengakibatkan minimnya pemahaman bahkan di kalangan terpelajar, yang membuat kurangnya partisipasi dalam melindungi hak-hak seksual sebagai bagian integral dari hak asasi manusia (HAM).
Musdah menegaskan bahwa hak seksual adalah bagian tak terpisahkan dari HAM yang dimiliki setiap individu tanpa memandang orientasi seksualnya, apakah itu heteroseksual, homoseksual, biseksual, atau aseksual. Setiap individu memiliki hak untuk memenuhi kebutuhan seksualnya tanpa mengalami diskriminasi. Negara dan masyarakat seharusnya ikut berperan serta dalam menjamin pemenuhan hak ini serta memperjuangkan prinsip kesetaraan tanpa diskriminasi.[4] Namun, dalam menyuarakan hak-hak seksual ini, Musdah menyoroti beberapa tantangan yang dihadapi. Pertama adalah tantangan kultural dan budaya yang masih memperkuat paradigma heteronormatifitas di masyarakat, menilai orientasi seksual lainnya sebagai sesuatu yang negatif, tidak biasa, dan melanggar norma. Kedua, tantangan struktural dalam kebijakan publik dan hukum yang cenderung mendiskriminasi individu yang memiliki orientasi seksual yang berbeda dari heteroseksual. Ketiga, tantangan dalam interpretasi ajaran agama yang seringkali kaku dan tidak mengakomodasi kelompok dengan orientasi seksual yang beragam.[5]
Dalam konteks homoseksualitas dan kisah kaum Nabi Luth, Musdah menilai bahwa banyak kesalahan dalam menginterpretasi ayat-ayat Al-Quran yang berujung pada pemaksaan kesamaan antara orientasi seksual homo dengan perbuatan sodomi. Baginya, "liw" atau "lui" dalam Al-Quran bukanlah mengacu kepada homoseksualitas, tetapi juga bisa terjadi di kalangan kelompok heteroseksual.[6] Ia menyatakan pengalaman pribadinya yang melihat laki-laki heteroseksual juga terlibat dalam sodomi dan menemui kelompok homoseksual yang menolak dan menganggap sodomi sebagai perbuatan menjijikkan serta tidak mewakili seluruh komunitas mereka.
Tujuan Musdah dalam membawa topik seksualitas, terutama terkait homoseksualitas, ke ruang publik adalah untuk memberikan pemahaman yang lebih luas kepada masyarakat dan memperjuangkan hak-hak seksual kelompok minoritas, termasuk kalangan homoseksual, yang sering kali mendapatkan perlakuan diskriminatif. Dia percaya bahwa keberagaman manusia seharusnya memperkuat keyakinan akan kebesaran Tuhan, yang pada gilirannya, harus memunculkan sikap saling menghargai dan menghormati sesama manusia, tanpa adanya stigma, prasangka, diskriminasi, atau eksploitasi terhadap kelompok yang berbeda, terutama kelompok minoritas dan tertindas. Dan Musdah juga berusaha untuk melakukan interpretasi ayat-ayat Al-Quran yang ramah dan inklusif terhadap kelompok minoritas, seperti homoseksual, agar dapat mengakomodasi keberagaman orientasi seksual.
Pikiran Terpokok
Penulis berupaya menyusun secara terstruktur Penafsiran Musdah Mulia mengenai homoseksualitas dalam kisah umat Nabi Luth yang tercatat dalam Al-Quran menjadi enam poin utama untuk memberikan kerangka pembahasan yang lebih terorganisir.
- Orientasi seksual sebagai bagian dari kodrat manusia, sementara perilaku seksual merupakan suatu pilihan
Orientasi serta perilaku seksual merupakan bagian dari kompleksitas seksualitas yang seringkali salah dipahami oleh beberapa individu, termasuk di lingkungan akademis. Musdah mendefinisikan orientasi seksual sebagai kemampuan alami yang terkait dengan rasa emosional, ikatan kasih, dan interaksi seksual yang dimiliki oleh masing-masing individu. Baginya, orientasi seksual bersifat takdir dari Tuhan yang tidak bisa diubah.[7]
Manusia memiliki berbagai macam orientasi seksual, seperti heteroseksual, homoseksual, biseksual, dan aseksual. Namun, dia mempertimbangkan kemungkinan adanya jenis orientasi seksual lain seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Musdah menegaskan bahwa Orientasi seksual yang dimiliki setiap individu adalah bagian dari kehendak takdir Tuhan, tidak merupakan hasil dari pengaruh lingkungan atau keinginan pribadi.[8] Oleh karena itu, dia berpendapat bahwa menjadi homoseksual bukanlah pilihan atau hasil dari pengaruh lingkungan, melainkan bagian dari takdir yang sudah ditentukan Tuhan. Dalam pandangannya, kaum homoseksual harus diterima tanpa penilaian terhadap orientasi seksual mereka. Dia menolak pandangan bahwa kaum heteroseksual adalah satu-satunya yang normal dan alami, sementara seringkali kaum homoseksual dianggap sebagai orang yang berdosa yang berisiko mendapatkan hukuman dari Tuhan.
Perilaku seksual menurut Musdah adalah cara individu mengekspresikan aktivitas seksualnya, sangat dipengaruhi oleh norma budaya, tafsir agama, tradisi, serta norma masyarakat. Musdah melihat perilaku seksual sebagai hasil dari proses sosial yang terkonstruksi, bukan bawaan kodrati, dan tentunya dapat dipelajari. Baginya, perbedaan yang signifikan antara perilaku seksual dan orientasi seksual dan seringkali disalahpahami oleh banyak pihak. Sebagai contoh, perilaku seksual seperti sodomi atau liw, yang merujuk pada penetrasi alat kelamin pria ke dalam anus, baik itu anus pria maupun wanita. Oleh karena itu, dalam pandangan Islam, hukum yang berlaku berkaitan dengan perilaku seksual, bukan dengan orientasi seksual, karena hukum berhubungan dengan pilihan manusia dan bukan hal yang menjadi kodrat.
- Homoseksualitas tidak sama dengan praktik liw
Musdah menjelaskan bahwa homoseksualitas berbeda dengan konsep liw. Baginya, Al-Quran hanya mengakui dua identitas gender: laki-laki dan perempuan. Dalam perbincangan fiqih, terdapat empat jenis identitas gender yang menjadi topik pembahasan, yaitu perempuan, laki-laki, khuntha, dan mukhannith atau mukhannath. Namun, pada konteks fiqih, istilah-istilah ini tidak terkait dengan orientasi seksual gay atau lesbian. Khuntha adalah salah satu istilah yang paling dikenal, sementara dalam bahasa Arab, tidak ada istilah yang tepat untuk menggambarkan orientasi seksual homoseksual. Musdah menekankan bahwa khuntha berkaitan dengan identitas gender, sementara homoseksualitas berkutat pada orientasi seksual.
Dalam perspektif hukum fikih, Musdah menilai bahwa fikih membicarakan hukuman untuk perilaku seksual liw/sodomi, bukan pada orientasi homoseksual. Ini karena, tidak hanya kelompok homoseksual, tetapi juga kelompok heteroseksual melakukan sodomi. Bahkan, banyak dari komunitas homoseksual yang menolak tindakan sodomi dan menganggapnya tidak manusiawi serta kekerasan.[9] Menurutnya, istilah "liw" atau "lui" mengacu pada tindakan sodomi yang merupakan bentuk deviasi seksual yang dinisbahkan kepada kaum Sodom, yang membuat Islam mengaitkan ungkapan "liw" dengan "sodom". Pemahaman terkait hal ini bisa dilihat pada surah al-A'rf ayat 80-81.
80. Dan (kami juga telah mengutus) Lut (kepada kaumnya). (ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?"Â
81. Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampauiÂ
Musdah Mulia menggunakan interpretasi yang disampaikan oleh Imam Ibnu Jarir at-abari untuk mengungkapkan makna dari perkataan Nabi Luth kepada kaumnya sebagaimana berikut:
"Kalian telah melakukan hubungan seks secara keji dengan laki-laki melalui anus mereka dan bukannya dengan perempuan sebagaimana yang dihalalkan Allah."Â
Musdah Mulia menjelaskan bahwa menurut interpretasi Imam Ibnu Jarir at-abari, istilah "liw" atau "lui" merujuk pada perbuatan sodomi. Dengan demikian, dipahami bahwa liw bukanlah homoseksualitas. Homoseksualitas adalah orientasi seksual yang mengarah pada ketertarikan kepada individu sejenis, sedangkan liw (sodomi) adalah perilaku seksual yang melibatkan penetrasi ke anus bukan ke vagina.
Musdah juga mengulas tentang hukum terkait perilaku seksual homoseksual. Ada perbedaan pandangan di antara para ahli fikih pada periode klasik. Melalui penelitiannya, Musdah menyimpulkan bahwa sedikit ulama yang mengungkapkan pandangan khusus mengenai masalah ini, dan hanya Imam asy-Syafi'i yang menegaskan bahwa sanksi hanya diberlakukan untuk perilaku homoseksual yang terbuka di ruang publik.[10]
Fakta sejarah tidak mencatat adanya eksekusi terhadap pelaku penyimpangan seksual saat zaman Rasulullah Saw. Namun, catatan sejarah menyebutkan bahwa pada masa Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, pasangan homoseksual pertama kali dihukum mati. Selanjutnya, pada periode kekhalifahan Umar bin Khattab, ada instruksi untuk membakar pasangan homoseksual dalam keadaan masih hidup, namun tindakan tersebut menuai kritik yang kuat sehingga hukuman dibalik menjadi rajam. Musdah menyampaikan bahwa hukuman tersebut tidak didasarkan pada Alquran atau hadis, melainkan hanyalah hasil ijtihad yang bisa berubah seiring perkembangan masyarakat.
Kaum Nabi Luth memiliki ketertarikan pada kedua jenis kelamin (biseksual)
Musdah menyimpulkan bahwa Kaum Nabi Luth memiliki ketertarikan pada kedua jenis kelamin (biseksual). berdasarkan interpretasinya terhadap sebuah ayat Alquran yang menggambarkan kelakuan kaum tersebut. Ayat tersebut menunjukkan bahwa lelaki dari kaum Nabi Luth telah meninggalkan istri-istri mereka dan kemudian mendatangi tamu Luth untuk melakukan perbuatan keji dan tercela. Ini tercantum dalam QS. asy-Syu'ar' (26): 165-166. Â Menurut Musdah, perubahan arah orientasi seksual kaum tersebut ditunjukkan saat mereka meninggalkan hubungan sebelumnya dengan istri mereka untuk kemudian terlibat dalam hubungan seksual yang keji dan tercela dengan sesama jenis. Ini menurutnya mengindikasikan adanya biseksualitas, menandakan bahwa perilaku seksual tersebut mengandung kekerasan serta eksploitasi terhadap jenis kelamin yang sama.
Perbuatan tercela yang dilakukan oleh Kaum Nabi Luth tidak hanya berasal dari golongan homoseksual
Alquran menyebutkan, ada beberapa istilah yang merujuk pada perbuatan tercela terkait cerita kaum Nabi Luth, yaitu al-fisyah, as-sayyit, al-khab'ith, dan al-munkar. Musdah Mulia menekankan bahwa empat istilah ini hanya muncul dalam empat surat Alquran berbeda, dengan spesifikasi tertentu dalam setiap ayat, yaitu: al-fisyah (QS. al-A'rf/7: 80), as-sayyit (QS. Hd/1: 78), al-khab'ith (QS. al-Anbiy'/21: 74), dan al-munkar (QS. al-'Ankabt [29]: 29).[11]
Menurutnya, istilah-istilah tersebut memiliki cakupan global, yang berlaku secara universal, tidak hanya terkait dengan golongan homoseksual, akan tetapi dapat berlaku bagi heteroseksual, biseksual, dan aseksual. Ini menunjukkan bahwa setiap orang, tanpa melihat orientasi seksualnya, memiliki potensi untuk melakukan tindakan pelanggaran seksual. Ini mengindikasikan bahwa siapa pun, tanpa memandang orientasi seksualnya, berpotensi melakukan tindakan kejahatan seksual. Dia menegaskan bahwa cerita kaum Sodom dalam Alquran menyoroti Perbuatan kekerasan dalam ranah seksual yang dilakukan oleh mereka, yang diingatkan dan diberi sanki oleh Allah Swt. Namun, cerita ini tidak secara khusus melarang homoseksualitas. Oleh karena itu, cerita ini tidak dapat dijadikan dasar untuk menolak kaum homoseksual.
Allah Swt memiliki hak mutlak dalam Memberikan Hukuman (Azab)
Musdah menekankan bahwa hukuman (azab) yang diberikan kepada kaum Sodom bukanlah hanya diakibatkan oleh aktivitas homoseksual, akan tetapi lebih terkait dengan perilaku mereka yang sudah melampaui batas. Mereka terlibat dalam tindakan kekerasan seperti pembunuhan, perampokan, dan lainnya sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, yang menyebabkan kemarahan Allah dan turunnya azab. azab yang diberikan kepada kaum Sodom ditujukan pada bermacam-macam tindakan dosa yang melampaui batas, baik dikerjakan oleh pelaku homoseksual ataupun heteroseksual, tidak hanya terfokus kepada aspek seksualitas seperti homoseksual atau biseksual. Hal ini juga terjadi pada umat dari nabi-nabi lainnya, seperti azab yang sangat dahsyat kepada umat Nabi Nuh yang hampir membinasakan semua makhluk, kecuali beberapa pengikut Nabi Nuh yang tetap teguh memegang keimanan, meskipun tidak ada informasi yang menyatakan bahwa umat Nabi Nuh terlibat dalam homosexualitas. Musdah menyimpulkan bahwa Tuhan akan memberikan azab kepada setiap umat yang melampaui batas-Nya.
Selanjutnya, Musdah menyoroti bahwa istri Nabi Luth juga terkena azab, namun Alquran tidak secara eksplisit menyebutkan jika ia terlibat dalam sodomi atau homoseksualitas. Musdah mengacu pada QS. al-'Ankabt (29): 21 yang menegaskan jika Allah mengetahui siapa saja yang layak menerima rahmat-Nya dan siapa yang layak menerima azab-Nya.[12]
- Pernikahan Bisa Terjadi antara Individu dengan Orientasi Seksual yang Sama (homoseksual) dan Kesetaraan Hak Asasi bagi kelompok Homoseksual
Menurut Musdah, Pernikahan adalah ikatan yang kuat antara dua orang yang bertujuan menciptakan keluarga yang harmonis, penuh dengan kedamaian, kasih sayang, dan rahmat. Menurutnya, pernikahan tidak hanya terbatas pada ucapan ijab qabul, tetapi lebih pada kesepakatan dan kerelaan dari kedua belah pihak.[13] Â Al-Quran membahas kehidupan berpasangan (tercantum dalam QS. ar-Rm: 21, QS. adh-Dhariyt: 49, dan QS. Ysn: 36), namun dalam pandangan Musdah, istilah "berpasang-pasangan" yang digunakan dalam Al-Quran tidak secara spesifik mengacu pada jenis kelamin biologis, melainkan pada gender atau jenis kelamin sosial. Menurutnya, hubungan romantisme tidak perlu terbatas pada pola heteroseksual, melainkan dapat juga termasuk hubungan homoseksual atau lesbian. Menurut Musdah, Allah menciptakan manusia dengan beragam orientasi seksual, yang sayangnya tidak banyak dipahami oleh manusia. [14]
Musdah juga berpendapat bahwa ajaran agama yang menekankan heteronormativitas menghilangkan pilihan bagi individu. Menurutnya, adanya koordinasi pernikahan hanya untuk pasangan dengan jenis kelamin yang berbeda menyisakan kurangnya koordinasi untuk pernikahan pasangan dengan jenis kelamin yang sama. Musdah menekankan jika Pernikahan sejenis yang penuh dengan keselarasan, kasih sayang, dan harmoni jauh lebih baik daripada pernikahan heteroseksual yang diwarnai oleh eksploitasi, kekerasan, dan masalah lainnya.
Epistemologi Penafsiran Musdah Mulia prihal homoseksualitas dalam Kisah kaum Nabi Luth
1. Sumber Penafsiran
Musdah Mulia dalam penafsirannya lebih dominan menggunakan sumber tafsir bi al-ra'yi, yang berfokus pada penalaran dan ijtihad yang dilakukan oleh para ahli tafsir, setelah mempelajari bahasa Arab, dalil hukum, serta berbagai isu terkait penafsiran, seperti asbab an-nuzul dan nasikh wal mansukh.[1] Sumber penafsiran yang digunakannya dapat dijelaskan dalam lima poin sebagai berikut
a. Ayat Alquran dan hadis
Ayat Alquran menjadi sumber referensi utama yang digunakan musdah dalam penafsirannya, contoh-contohnya dapat dilihat pada pembahasan sebelumnya yang tersebut di atas. Adapun hadis menjadi penyokong utama dalam penafsirannya setelah al-Quran, berperan untyk memperkuat hasil interpretasinya terhadap ayat-ayat yang dilakukannya. Akan Tetapi dalam penjelasannya, Musdah hanya merujuk pada penutur hadisnya tanpa memasukkan teks utuh dari hadis tersebut.
b. Penafsiran Ulama Tafsir Terdahulu
Musdah juga mengacu pada hasil interpretasi para ulama Tafsir sebelumnya yang memperkuat pandangannya. Ia mengutip penafsiran dari Ibnu Jarir At-abari terhadap Surah al-A'rf (7) ayat 80-81, Hanya At-abari, mufassir klasik, yang menjadi sumber utama yang dijadikan acuan oleh Musdah dalam menafsirkan mengenai homoseksualitas dalam kisah kaum Nabi Luth.
c. Pandangan dari para cendekiawan hukum Islam (fuqaha) serta data-data Sejarah
Dalam penafsiran hukuman terkait homoseksual, Musdah mengambil pandangan Imam asy-Syafi'i [16] hanya imam ini yang mewakili ulama mazhab yang fatwanya dijadikan acuan oleh Musdah dalam membahas isu homoseksual. Ini karena, menurut risetnya, Musdah tidak menemukan banyak pandangan ulama yang relevan dengan topik ini.
Sementara itu, dalam konteks fakta sejarah terkait penafsirannya tentang hukuman atas perilaku homoseksual, Musdah menyebut kejadian eksekusi terhadap pelaku homoseksual pada periode kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab. baginya, langkah-langkah yang diambil oleh dua orang khalifah itu merupakan hasil dari proses ijtihad (penalaran) semata, tidak memiliki dasar yang tegas dari Alquran atau hadis, sehingga tetap bisa beradaptasi mengikuti perkembangan arah panduan sosial masyarakat.
d. Rasio/akal
Musdah dalam penafsirannya mengakui peran penting akal untuk mengonfirmasi isi ayat Alquran. Menurutnya, akal memiliki peran signifikan. Proses pemahaman terhadap ayat-ayat Alquran memerlukan kritik yang cermat, diikuti dengan analisis hubungannya dengan ayat lain yang terkait dalam suatu tema, seperti pendekatan tafsir mauu'i. Tujuannya adalah untuk meraih makna keseluruhan dari ayat tersebut, karena pemahaman yang komprehensif tentang sebuah ayat memerlukan pemahaman yang luas terhadap konteksnya.Â
Oleh karena itu, kesimpulan tidak boleh diambil hanya dari satu ayat saja, terutama jika hanya sebagian kecil dari ayat tersebut. Musdah menekankan pentingnya untuk menyatukan dan membandingkan semua ayat dengan situasi sosial dan juga politik pada saat diturunkan, serta mempertimbangkan kedalaman pengetahuan, kemajuan sosial dan peradaban manusia. Ia juga menekankan perlunya mengkaji ayat-ayat tersebut dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Musdah menggarisbawahi bahwasanya pemahaman yang tepat terhadap makna ayat-ayat Alquran seringkali memerlukan kontribusi dari akal untuk dapat diinterpretasikan dengan baik.
e. Pengalaman (Empiris)
Musdah menggunakan pengalamannya sendiri sebagai dasar pengamatan empiris untuk mendukung argumennya. Dia menunjukkan bahwa sumber-sumber pengalaman konkret ini mendukung setiap sudut pandang yang dia kemukakan. Sebagai contoh, ketika dia mengevaluasi pandangan masyarakat di Indonesia terhadap kelompok homoseksual, dia mengkritik asumsi umum bahwa semua orang dalam kelompok ini secara otomatis terlibat dalam praktik sodomi. Musdah, berdasarkan pengalamannya, menemukan bahwa banyak dari mereka menolak sodomi dan menganggapnya sebagai bentuk kekerasan seksual.[17] Selain itu, dia juga memenuhi undangan pernikahan pasangan homoseks yang dilaksanakan oleh seorang ulama terkemuka, Imam Hendrik Muhsin, di Cape Town pada tahun 2011. Imam Hendrik, yang merupakan anggota organisasi gay, menunjukkan bahwa tidak semua individu dalam komunitas ini mengamalkan praktik sodomi.
f. IPTEK
Inovasi terkini dalam ilmu pengetahuan dan teknologi turut juga berperan dalam membentuk pandangannya mengenai homoseksualitas. Musdah menyampaikan bahwa dengan progres ilmu pengetahuan dan teknologi, terdapat potensi penemuan orientasi seksual yang lebih beragam selain dari empat jenis yang sudah dikenal. Sebagai contoh, Musdah mengutip hasil penelitian Alfred Kinsey, seorang ahli biologi, yang menunjukkan variasi orientasi seksual dalam manusia. Hasil penelitian tersebut menegaskan bahwa tidak ada individu yang secara mutlak 100% heteroseksual atau homoseksual, tetapi terdapat gradasi dalam orientasi seksual.[18]
2. Metode PenafsiranÂ
Musdah Mulia menerapkan pendekatan tafsir tematik Alquran dalam menafsirkan isu homoseksualitas di kalangan kaum Nabi Luth. Ini dilakukan melalui proses yang melibatkan langkah-langkah tertentu, sebagai berikut:
a. Menentukan topik pembahasan
b. Saat mengeksplorasi homoseksualitas dalam bukunya "Mengupas Seksualitas; Mengerti Arti, Fungsi dan Problematika Seksual Manusia Era Kita," Musdah Memilih fokus pada tema "Islam dan Perilaku Seksual," yang terdiri dari dua subtopik, yaitu menegaskan bahwa homoseksualitas bukanlah liw dan menekankan pentingnya membangun kearifan dalam interaksi sosial. Di sisi lain, dalam karyanya "Membangun Surga di Bumi; Kiat-kiat Membina Keluarga Ideal dalam Islam," Ia mengangkat tema "Menyamai Kearifan Melalui Pemenuhan Hak Seksual," yang terdiri dari tiga subtopik: konsep seksualitas, pandangan Islam terkait seksualitas, dan penafsiran ulang terhadap kisah Nabi Luth.
c. Mengumpulkan ayat Alquran dan hadis terkait dengan isu homoseksual.
d. Keseluruhan ayat dianalisis dengan mempertimbangkan hubungan antar ayat, melakukan perbandingan, dan sejenisnya
e. Evaluasi temuan tersebut agar sesuai dengan prinsip-prinsip yang umum dalam Alquran. Pastikan juga relevansinya dengan kemajuan terbaru dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini penting karena banyak penelitian sebelumnya yang dianggap pasti, namun ditantang oleh penemuan terbaru dalam sains dan teknologi, menurut pendapat Musdah.
3. Corak (pendekatan)Â
Terdapat dua pendekatan dalam penafsiran Musdah Mulia, yaitu:
 a. Pendekatan IlmiahÂ
Berbagai pendekatan ilmiah dalam bidang sains dan teknologi cukup banyak mewarnai cara Musdah Mulia menafsirkan ayat al-quran, seperti yang telah diuraikan sebelumnya.
b. Pendekatan sosio-kultural (al-adabi wa al-ijtima'i)
Corak al-adabi wa al-ijtima'I adalah warna yang digunakan dalam menginterpretasi Alquran lebih condong dan fokus pada struktur sosial dan tata nilai budaya dalam masyarakat.[19] Pendekatan ini tercermin dalam penafsirannya, yakni ia berusaha memahami dimensi sosiologis dalam Islam serta upaya agama dalam memberikan solusi terhadap beragam masalah yang timbul dalam kehidupan masyarakat pada zaman modern sekarang ini.
Penutup
Siti Musdah Mulia, seorang intelektual Muslim di Era kontemporer yang cukup tertarik pada isu homoseksualitas, menyimpulkan bahwa orientasi seksual yang bersifat homoseksual merupakan bagian dari takdir yang diberikan oleh Tuhan. Dia menjelaskan bahwa istilah "liw" sebenarnya bukanlah merujuk kepada homoseksualitas, melainkan mengacu pada perilaku sodomi yang bisa dilakukan oleh siapa pun, termasuk orang heteroseksual. Musdah mengaitkan kaum Nabi Luth dengan biseksualitas, dan mengatakan bahwa azab Allah pada mereka bukan disebabkan oleh homoseksualitas, melainkan karena perilaku keji dan dosa-dosa seksual yang melampaui batas. Musdah menyatakan bahwa dalam konteks pernikahan sesama jenis, hubungan tersebut dapat menjadi bagian integral dari kehidupan pasangan. Dia menggunakan metodologi berpikir berdasarkan bi al-ra'yi dan mengadopsi metode tafsir tematik. Serta dua macam pendekatan yang digunakan yaitu, pendekatan ilmiah, dan sosio-kultural (al-adabi wa al-ijtima'i).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H