Musdah menekankan urgensi dalam mendiskusikan isu seksualitas yang, meski kita sudah hidup di abad ke-21 dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi, masih dianggap sebagai topik tabu. Ini mengakibatkan minimnya pemahaman bahkan di kalangan terpelajar, yang membuat kurangnya partisipasi dalam melindungi hak-hak seksual sebagai bagian integral dari hak asasi manusia (HAM).
Musdah menegaskan bahwa hak seksual adalah bagian tak terpisahkan dari HAM yang dimiliki setiap individu tanpa memandang orientasi seksualnya, apakah itu heteroseksual, homoseksual, biseksual, atau aseksual. Setiap individu memiliki hak untuk memenuhi kebutuhan seksualnya tanpa mengalami diskriminasi. Negara dan masyarakat seharusnya ikut berperan serta dalam menjamin pemenuhan hak ini serta memperjuangkan prinsip kesetaraan tanpa diskriminasi.[4] Namun, dalam menyuarakan hak-hak seksual ini, Musdah menyoroti beberapa tantangan yang dihadapi. Pertama adalah tantangan kultural dan budaya yang masih memperkuat paradigma heteronormatifitas di masyarakat, menilai orientasi seksual lainnya sebagai sesuatu yang negatif, tidak biasa, dan melanggar norma. Kedua, tantangan struktural dalam kebijakan publik dan hukum yang cenderung mendiskriminasi individu yang memiliki orientasi seksual yang berbeda dari heteroseksual. Ketiga, tantangan dalam interpretasi ajaran agama yang seringkali kaku dan tidak mengakomodasi kelompok dengan orientasi seksual yang beragam.[5]
Dalam konteks homoseksualitas dan kisah kaum Nabi Luth, Musdah menilai bahwa banyak kesalahan dalam menginterpretasi ayat-ayat Al-Quran yang berujung pada pemaksaan kesamaan antara orientasi seksual homo dengan perbuatan sodomi. Baginya, "liw" atau "lui" dalam Al-Quran bukanlah mengacu kepada homoseksualitas, tetapi juga bisa terjadi di kalangan kelompok heteroseksual.[6] Ia menyatakan pengalaman pribadinya yang melihat laki-laki heteroseksual juga terlibat dalam sodomi dan menemui kelompok homoseksual yang menolak dan menganggap sodomi sebagai perbuatan menjijikkan serta tidak mewakili seluruh komunitas mereka.
Tujuan Musdah dalam membawa topik seksualitas, terutama terkait homoseksualitas, ke ruang publik adalah untuk memberikan pemahaman yang lebih luas kepada masyarakat dan memperjuangkan hak-hak seksual kelompok minoritas, termasuk kalangan homoseksual, yang sering kali mendapatkan perlakuan diskriminatif. Dia percaya bahwa keberagaman manusia seharusnya memperkuat keyakinan akan kebesaran Tuhan, yang pada gilirannya, harus memunculkan sikap saling menghargai dan menghormati sesama manusia, tanpa adanya stigma, prasangka, diskriminasi, atau eksploitasi terhadap kelompok yang berbeda, terutama kelompok minoritas dan tertindas. Dan Musdah juga berusaha untuk melakukan interpretasi ayat-ayat Al-Quran yang ramah dan inklusif terhadap kelompok minoritas, seperti homoseksual, agar dapat mengakomodasi keberagaman orientasi seksual.
Pikiran Terpokok
Penulis berupaya menyusun secara terstruktur Penafsiran Musdah Mulia mengenai homoseksualitas dalam kisah umat Nabi Luth yang tercatat dalam Al-Quran menjadi enam poin utama untuk memberikan kerangka pembahasan yang lebih terorganisir.
- Orientasi seksual sebagai bagian dari kodrat manusia, sementara perilaku seksual merupakan suatu pilihan
Orientasi serta perilaku seksual merupakan bagian dari kompleksitas seksualitas yang seringkali salah dipahami oleh beberapa individu, termasuk di lingkungan akademis. Musdah mendefinisikan orientasi seksual sebagai kemampuan alami yang terkait dengan rasa emosional, ikatan kasih, dan interaksi seksual yang dimiliki oleh masing-masing individu. Baginya, orientasi seksual bersifat takdir dari Tuhan yang tidak bisa diubah.[7]
Manusia memiliki berbagai macam orientasi seksual, seperti heteroseksual, homoseksual, biseksual, dan aseksual. Namun, dia mempertimbangkan kemungkinan adanya jenis orientasi seksual lain seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Musdah menegaskan bahwa Orientasi seksual yang dimiliki setiap individu adalah bagian dari kehendak takdir Tuhan, tidak merupakan hasil dari pengaruh lingkungan atau keinginan pribadi.[8] Oleh karena itu, dia berpendapat bahwa menjadi homoseksual bukanlah pilihan atau hasil dari pengaruh lingkungan, melainkan bagian dari takdir yang sudah ditentukan Tuhan. Dalam pandangannya, kaum homoseksual harus diterima tanpa penilaian terhadap orientasi seksual mereka. Dia menolak pandangan bahwa kaum heteroseksual adalah satu-satunya yang normal dan alami, sementara seringkali kaum homoseksual dianggap sebagai orang yang berdosa yang berisiko mendapatkan hukuman dari Tuhan.
Perilaku seksual menurut Musdah adalah cara individu mengekspresikan aktivitas seksualnya, sangat dipengaruhi oleh norma budaya, tafsir agama, tradisi, serta norma masyarakat. Musdah melihat perilaku seksual sebagai hasil dari proses sosial yang terkonstruksi, bukan bawaan kodrati, dan tentunya dapat dipelajari. Baginya, perbedaan yang signifikan antara perilaku seksual dan orientasi seksual dan seringkali disalahpahami oleh banyak pihak. Sebagai contoh, perilaku seksual seperti sodomi atau liw, yang merujuk pada penetrasi alat kelamin pria ke dalam anus, baik itu anus pria maupun wanita. Oleh karena itu, dalam pandangan Islam, hukum yang berlaku berkaitan dengan perilaku seksual, bukan dengan orientasi seksual, karena hukum berhubungan dengan pilihan manusia dan bukan hal yang menjadi kodrat.
- Homoseksualitas tidak sama dengan praktik liw
Musdah menjelaskan bahwa homoseksualitas berbeda dengan konsep liw. Baginya, Al-Quran hanya mengakui dua identitas gender: laki-laki dan perempuan. Dalam perbincangan fiqih, terdapat empat jenis identitas gender yang menjadi topik pembahasan, yaitu perempuan, laki-laki, khuntha, dan mukhannith atau mukhannath. Namun, pada konteks fiqih, istilah-istilah ini tidak terkait dengan orientasi seksual gay atau lesbian. Khuntha adalah salah satu istilah yang paling dikenal, sementara dalam bahasa Arab, tidak ada istilah yang tepat untuk menggambarkan orientasi seksual homoseksual. Musdah menekankan bahwa khuntha berkaitan dengan identitas gender, sementara homoseksualitas berkutat pada orientasi seksual.
Dalam perspektif hukum fikih, Musdah menilai bahwa fikih membicarakan hukuman untuk perilaku seksual liw/sodomi, bukan pada orientasi homoseksual. Ini karena, tidak hanya kelompok homoseksual, tetapi juga kelompok heteroseksual melakukan sodomi. Bahkan, banyak dari komunitas homoseksual yang menolak tindakan sodomi dan menganggapnya tidak manusiawi serta kekerasan.[9] Menurutnya, istilah "liw" atau "lui" mengacu pada tindakan sodomi yang merupakan bentuk deviasi seksual yang dinisbahkan kepada kaum Sodom, yang membuat Islam mengaitkan ungkapan "liw" dengan "sodom". Pemahaman terkait hal ini bisa dilihat pada surah al-A'rf ayat 80-81.