Harusnya, dipepeti kesimpulan bahwa madzhab moderat dan progresif ketika menyangkut isu iklim, mereka mementaskan iklim, menjadi dua hal, yakni, antara; pemanasan yang menghancurkan dan pemanasan yang membawa bencana. Â
Ketika mengharapkan kondisi atau solusi kebijakan iklim yang bertumpu pada rasionalitas, maka sudah barang tentu, harus distratifikasi tingkat ambisi yang diperlukan untuk memecah masalah (solusi).
Sehingga pada tingkatan ambisi tertentu, di waktu yang tidak menentu ke depan, akan ada langkah nyata untuk menghabisi para pengusaha batubara dan energy fosil, karena menjadi terdakwa, lamanya waktu pendistribusian energy bersih, di dunia.
Wal hasil, perangkat retoris, yang menjadi alat retorika iklim, madzhab moderat adalah Undang-undang, yang sengaja menjadi factor Delusif terhadap Undang undang iklim.
Ada yang paling mungkin terjadi, ketika ada Undang undang yang menjadi factor Delusif, bagi undang undang iklim, yakni, para politisi, yang kadung mempunyai harapan di bisnis batubara dan energy fosil, dan para pemimpin Negara yang sengaja memperlambat transisi menuju energy bersih.
Sehingga kesamaan pendapat kedua madzhab di atas, jika dibeberkan, terjadi pada, realitas dan urgensi bahwa memang Bumi sedang hangat, namun keduanya kembali bergumul dalam perdebatan ketika menilik strategi terbaik untuk menghentikan proses pemanasan global.
Jakarta, 19 Oktober 2021
Penulis
Asghar Ali Tuhulele
Divisi Hukum dan Korwil Forum Komunikasi Generasi Muda Nahdlatul Ulama (FKGMNU)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H