Ditulis oleh Arif Voyager
Tulisan ini saya awali dengan menceritakan pengalaman yang saya dapat pada 2014 lalu kala masih menjadi mahasiswa Universitas Surya di Tangerang.Â
Pertama kali masuk dan mendapatkan matakuliah agama, saya diwajibkan untuk mempelajari enam agama; Budha, Hindu, Islam, Katolik, Khonghucu, Kristen.Â
Setiap minggu materi agama di ganti bergiliran dengan tujuan agar seluruh mahasiswa memiliki toleransi yang tinggi. Walau dengan perjanjian dosen agama tidak boleh membawa ayat suci saat mengajar agama, tentu kami sebagai mahasiswa selalu tertantang dalam diskusi, sehingga senang membahas agama sambil membawa ayat suci di agama kami masing-masing.
Dinamika diskusi kami sangat lah cair. Saat mata kuliah Agama Budha, kami mempersoalkan apakah agama budha itu sebenarnya 'Agama' atau bukan? Kami membahas kelahiran Tuan Sidarta Gautama di mana semasa hidup, dia selalu berintrospeksi yang membuat dia mengambil keputusan untuk meningalkan keduniawian, membahas karunia yang dia miliki, sampai mendiskusikan keputusan Sidarta yang mengajarkan ajaran hidup yang ia pahami ke manusia lain.Â
Hingga satu kesimpulan yang mengejutkan kami semua dan itu disimpulkan oleh rekan rekan Bhudis kami yang menyatakan Budha bukan lah 'Agama' yang disepakati selama ini; ada kitab suci, nabi, dan tuhan yang diimani. Budha adalah ajaran hidup. Walaupun akhirnya ada kitab, tapi secara nilai budha adalah ajaran hidup. Diskusi tidak berhenti sampai di sana.Â
Saya mempelajari lebih dalam ajaran Budha karena satu alasan. Saya membutuhkan ketenangan dan cara tenang di ajaran Budha sangat membuat saya ingin menguasai nya.
Lain hal nya Katolik dan Kristen, dua agama yang selalu di claim bagi orang awam adalah agama yang sama. Hal yang paling menarik saat saya mempelajari dua agama tersebut di Surya adalah para Mahasiswa Kristen dan Katolik selalu berbeda pandangan dan sesekali terjadi konflik.Â
Ya, di saat itu terjadi saya berpikir, lho, ternyata bukan hanya islam saja yang selalu ada konflik. Banyak sekali wawasan yang saya dapat terkait Kristen dan Katolik di mulai dari simbol peribadatan mereka yang berbeda, penyebutan dalam peribadatan yang berbeda, sampai cara mereka mengukuhkan diri mereka juga berbeda.Â
Tentu jika di tarik garis ke belakang dan menelisik kembali sejarah, sebenarna Kristen (Protestan) dan Katolik berpusat dalam satu ajaran yaitu katolik.
Namun pada masa itu ada seorang tokoh bernama Martin Luther yang semasa hidup nya dilewati dengan melakukan banyak perenungan yang berpandangan bahwa manusia dapat memahami makna kehidupan hanya dengan membaca Alkitab dan disertai dengan iman. Sedangkan pada zaman itu, Gereja Katolik menggunakan sakramen-sakramen dan pelayan-pelayan gereja untuk menyalurkan rahmat keselamatan.Â
Luther juga melihat banyak penyimpangan yang dilakukan oleh otoritas gereja seperti penyogokan untuk memperoleh status social yang tinggi, penyalahgunaan sakramen suci yang membuat umat katolik lebih percaya terhadap simbol-simbol peribadatan ketimbang Tuhan, perilaku amoral dari Paus Alexander VI yang sampai dia memiliki enam orang anak dari perbuatan nya itu di mana kita semua tau bahwa seorang paus tidak boleh menikah atau berhubungan seksual agar bias focus memberikan pelayanan, dan yang paling miris adalah penjualan surat pengampunan dosa.Â
Atas pemikirang yang diangkat oleh Luther, ia akhirnya mendapatkan banyak kepercayaan dan dukungan oleh masyarakat yang kemudian pengikut Luther inilah yang dinamakan Protestan. Sehingga kini, Katolik dan Protestan merupakan dua agama yang berbeda.Â
Wajar saja kalau keduanya memiliki banyak persamaan karena dulunya berasal dari satu agama. Namun jangan salah, walaupun begitu, Katolik dan Protestan tetap tidak bisa disatukan.Â
Terdapat beberapa perbedaan mendasar antara keduanya. Kemudian, dalam hal Alkitab, yaitu bahwa Katolik mengakui Kitab Deuterokanonika sedangkan Protestan menganggap bahwa kitab tersebut adalah kitab yang tidak diwahyukan oleh Allah. Selanjutnya, dalam hal penafsiran. Dalam gereja Katolik, yang boleh menafsirkan Alkitab adalah ahli-ahli teolog yang berpusat di Roma saja, sedangkan dalam Protestan semua orang boleh menafsirkan Alkitab.
Mengulas pemisahan Kristen dan Katolik tak lengkap jika tidak mengulas agama saya sendiri yaitu Islam. Bagi saya islam jauh lebih kompleks. Namun saya tidak akan membahas sejarah islam (kenapa islam hadir di dunia).Â
Saya ingin mengulas dengan perspektif lain. Pada mata kuliah Bahasa Indonesia sewaktu di Surya, kami diberikan tugas oleh dosen untuk melakukan kajian lebih dalam terhadap dua pertanyaan, "Apakah sila pertama di pancasila dapat di ganti dan seorang presiden dapat di pilih dari agama selain islam?"Â
Kami melakukan kajian terebut secara individu dan keluaran nya dengan menerbitkan makalah. Banyak hal menarik dalam proses kajian yang saya lakukan.Â
Saya mendapati banyak fakta yang mengukuhkan jawaban saya kalau sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maaha Esa tidak bisa diganti dan seorang presiden berhak diduduki dari agama mana pun.Â
Ya, saya mengulas dari Animisme dan Dinamisme sebagai keyakinan pertama yang dimiliki bangsa ini, yang kemudian masuk agama Hindu dengan versi empat teori yaitu Kesatria (Bangsawan) dikemukakan J.L Moens yang mengemukakan, pada abad ke 4-5, India tengah mengalami kekacauan politik, sehingga menyebabkan para bangsawan pergi dan mendirikan kerajan mereka di negara lain, khususnya Indonesia.Â
Kemudian versi Waisya (Pedagang) yang diperkuat oleh Dr. N. J Krom. Dimana menurutnya, para pedagang India yang singgah di Indonesia ketika menunggu angin musim, mereka bermukim di Indonesia untuk sementara, sampai tidak sedikit dari mereka yang menikah.Â
Melalui pernikahan inilah, Agama Hindu disebarkan. Lalu teori Brahmana oleh J.C van Leur mengatakan bahwa bahasa pertama Indonesia yang digunakan yakni bahasa Sangsekerta. Sedangkan bahasa sangkserta di India hanya terdapat dalam kitab suci, digunakan ketika upacara Hindu berlangsung dan dikuasai oleh kaum Brahmana.Â
Dan yang terakhir adalah teori Sudra yang dikemukakan oleh van Feber. Dasar yang memperkuat teorinya adalah bahwa kalangan kasta sudra yang merupakan kalangan orang-orang yang sangat rendah status sosialnya, ingin memperbaiki diri mereka dengan cara bekerja di daerah-daerah lain, sehingga kemungkinan pada akhirnya mereka sampai ke Indonesia. Selain mendapat pekerjaan, kalangan Sudra juga mendapatkan kedudukan yang lebih baik daripada India.
Setelah itu saya mengulas kerajaan yang akhir nya muncul dari Hindu (Kerajaan Kutai & Tarumanegara) dan kemudian Budha (Kerajaan Sriwijaya dan Mataram) yang kemudian Islam dimana datang sekitar abad 11 sampai 14 dari para pedagang Gujarat (India), Persia dan Arab yang memutuskan tinggal selama berbulan bulan di Nusantara karena mereka nunggu angin musim yang baik untuk kembali berlayar kembali ke tempat asalnya. Karena hal tersebut mereka akhir nya bermukim cukup lama, sehingga mereka dapat banyak berinteraksi ke masyarakat setempat, bahkan sampai ke bangsawan  nusantara, yang akhir nya kesempatan itu digunakan mereka untuk menyebarkan Agamaa Islam.
Yang terakhir adalah pengesahan Konghucu sebagai agama yang penuh perjuangan panjang untuk diakuin resmi di Indonesia. Dulu sebelum dianggap resmi, penganut Konghucu dianggap Budha oleh masyarakat. Semua berawal dari para pedagang Tiongkok (Tionghoa & juga imigran yang hadir sekitar abad ke 3 Masehi).Â
Secara De Facto kala itu Konghucu tidak diakui oleh pemerintah  dan pengikutnya wajib memilih agama lain; Kristen atau Budha untuk menjaga kewarganegaraan mereka. Jika mereka tidak mau mengganti agama, mereka digolongkan Agama Budha.Â
Setelah reformasi tahun 1998, saat KH Aburahman Wahid (Gus Dur) baru jadi presiden yg ke empat, beliau mencabut intruksi presiden No. 14/1967 dan keputusan Menteri Dalam Negeri tahun 1978, yang akhirnya menjadikan Konghucu sejak saat itu sebagai agama dan resmi di Indonesia.Â
Budaya Tionghoa dan segala aktivitas apapun sudah diizinkan untuk dipraktekkan yang membuat akhirnya Tahun Baru Imlek menjadi hari libur keagamaan resmi.
Dari kilasan sejarah tersebut adalah mustahil bagi Bangsa Indonesia mengubah atau menghapus sila pertama. Tentu jika kita tarik sejarah dari proses kemerdekaan, kita semua mengetahui kenapa Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjadi keputusan final untuk dimasukkan ke dalam Pancasila.
Masuk dalam pembahasan ekstrimisme, saya mengawali dengan kutipan Panji Pragiwaksono "Itu lah kenapa saya resah banyak umat muslim di Indonesia saat ini yang senang dakwah dengan cara yang keras. Padahal tidak ada islam yang radikal. Islam itu sesungguh nya ajaran agama yang damai, salam nya adalah doa untuk orang tersebut. Yang benar adalah, ada orang radikal, kebetulan Islam."
Pendekata dalam menyebarkan agama dengan keras selalu tidak akan berhasil dan pasti akan menimbukan dendam. Saya ambil contoh Andalusia (Spanyol) dalam sejarah, Andalusia yang semua penduduk nya Kristen ditaklukan oleh islam dan berubah nama menjadi Al-Andalus dan mewajibkan semua penduduk nya pindah ke islam. Kemudian, Al-Andalus ditaklukan lagi oleh Kristen dan membuat semua penduduk nya kembali ke Agama Kristen.
Namun, jika mendekati secara cerdas, tanpa mengggunakan kekerasan atau ajaran yang keras, maka akan diterima dengan cepat. Saya ambil contoh kisah penyebaran agama islam yang dilakukan oleh Wali Songo (Sembulan para wali) yang menyebarkan agama islam salah satu nya Sunan Kali Jaga dengan budaya seni melalui wayang dimana kala itu wayang erat dengan kultur budaya Agama Hindu.
Beragama seharus nya dibarengi sikap progresif (Orang yang belajar agama tapi tidak anti Sains). Kondisi sekarang kesan nya dikotomis sekali; kalau percaya yang agama katakan, kita tidak percaya yang sains katakan.Â
Sebaliknya kalau percaya apa yang sains buktikan, cenderung tidak percaya agama. Padahal tidak harus seperti itu. Kita bisa percaya dengan agama dan sains sehingga progresif. Contoh kasus adalah teori evolusi.Â
Ratusan tahun sebelum Charles Darwin, cendekiawan muslim Ibnu Khaldun, Ibnu Miskawaih dan Alfarabi melakukan penelitian dan menyatakan "Kemungkinan besar, manusia terjadi dari semacam proses evolusi".
Dulu orang beragama dan progresif secara pemikiran. Mengapa demikian, di Alquran ketika ditelisik penciptaan manusia dulakukan tiga kali; dibuat dengan bahan tanah yang berarti mineral, bahan nya disempurnakan yang berarti ada proses, dan dihembuskan nyawa oleh Allah SWT.
Poin nya adalah menjadi orang beragama, harus nya membuat kita menjadi orang yang lebih baik apapun agama kita. Bukan membuat orang merasa paling benar. Karena ketika kita merasa paling benar, kita cenderung mengoreksi yang menurut kita salah, dan ketika kita mengoreksi yang menurut kita salah, di situlah terjadi perpecahan. Salah satu masalah terbesar manusia adalah ketika dia merasa paling benar dimana dia akan merasa boleh melakukan segalanya kepada yang menurut dia salah.
Kemudian yang terakhir adalah remaja. Bagi saya selain bonus demografi yang sedang dialami oleh Indonesia remaja juga menjadi sasaran untuk mempengaruhi menjadi pribadi yang radikal sehingga dapat menjadi ekstrimisme. Hal itu dikarenakan kondisi remaja yang masih bertumbuh dan berkembang; masih membutuhkan banyak ilmu untuk membuat dirinya cerdas.Â
Belum selesai dengan ilmu, remaja dihadapkan dengan rea teknologi yang menjadikan diri nya dapat mengakses segala hal secara instan sehingga jangkauan remaja dalam suatu hal bias saja sangat lah dangkal (Hanya di permukaan) sehingga membuat remaja tak dapat menghindari sikap ekstrimisme terhadap suatu persoalan. Untuk itu perlu ada satu rencana konkrit untuk mrngatasi persoalan remaja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H